Cara kita dalam melihat sejarah memiliki dampak yang luar biasa terhadap bagaimana kita memperlakukan kehidupan. Jika kita melihat sejarah sebagai tropi kemenangan dan standar bagi keberhasilan di masa kini, maka tidak salah bila kita kemudian terjebak dalam masa lalu.
Kita menolak perubahan atau perbaikan di masa kini, dan menganggapnya sebagai inovasi yang haram. Selanjutnya, kita memaksakan hadirnya masa lalu ke masa sekarang.
Dampaknya, kita tidak akan mampu lagi melahirkan sejarah dan manusia baru. Sebab, segalanya selalu kita tarik kepada ukuran-ukuran yang dibuat oleh para pendahulu.
Kita merujuk kitab-kita lama, pemikiran dan ijtihad lama, ketimbang berpikir mengenai bagaimana menjawab tantangan di masa ini. Puncaknya adalah ketika kita kehilangan kontak dengan realitas dan terjebak dalam sejarah alternatif imajiner.
Kita menciptakan gambaran mengenai sejarah sebagai hantu-hantu. Kita takut dan mengutuknya, menganggapnya sebagai mimpi buruk yang akan segera lalu. Sementara, kita pulas, kezaliman mengukuhkan diri menjadi suatu kenormalan. Kita pun terbangun dan menganggapnya sebagai sejarah yang normal dan taken for granted.
Miskonsepsi Sejarah
Miskonsepsi sejarah juga melahirkan umat yang secara tidak sadar selalu merasa inferior. Bagi kita, yang baik adalah Timur Tengah, yang jaraknya ribuan kilometer itu. Bagi kita, yang benar adalah abad pertengahan, yang sudah terlewat seribu tahun itu.
Bagi kita, yang bijak adalah imam-imam, yang berkutat dengan masalah keumatan di zamannya itu. Kita lupa tanah yang kita pijak, kita lupa pada waktu yang sedang berjalan, dan kita mengingkari indera, akal, dan intuisi yang dikaruniakan Tuhan.
Pandangan terhadap sejarah semacam ini adalah pandangan yang berbahaya. Ia memenjara manusia dalam siklus keyakinan palsu dan kehilangan ragu. Manusia ini fanatik, tidak punya daya kritis apalagi daya transformasi.
Meski demikian, harus kita akui bahwa ia adalah pandangan yang dominan, yang menguasai alam pikiran kita sebagai individu maupun umat. Pandangan ini menegasikan bahwa produk pemikiran apa pun adalah jawaban atas permasalahan di konteksnya. Pandangan yang melupakan bahwa masa kini memiliki konteks yang berbeda, dan maka dari itu juga menuntut jawaban yang berbeda.
Kesalahan terakhir kita yang harus kita antisipasi berikutnya adalah melihat sejarah sebagai sebuah kepastian langkah maju peradaban.
Manusia diajari untuk melihat bahwa segalanya akan memperbaiki dirinya secara alami menuju totalitas dunia yang lebih baik. Padahal, sejarah adalah manusia itu sendiri. Tanpa manusia yang berjuang bagi sejarah, maka sejarah juga tidak akan melangkah ke mana-mana.
Pendidikan bagi Manusia yang Menyejarah
Hal yang paling pertama harus kita benahi adalah pemahaman mengenai esensi sejarah. Sebab, memahami esensi sejarah dengan benar akan membantu melahirkan sikap dan tindakan yang benar atas sejarah.
Bahwa sejarah sejatinya adalah produk sekaligus proses. Ia produk, karena dalam suatu makna, ia telah terjadi dan tercatat. Ia juga proses, karena melewati suatu urutan, sedang terbentuk, dan tidak tercipta dengan sendirinya. Terdapat manusia, sebagai tangan-tangan Tuhan yang material, yang bertindak, dan mencetak sejarah.
Rasul-rasul Tuhan adalah buktinya. Mereka diutus untuk bekerja dalam dunia yang material, melalui usaha-usaha yang bersifat material. Mereka melawan kezaliman yang nyata, dengan tindakan-tindakan yang nyata.
Dalam prosesnya, mereka dapat terluka fisik dan terancam nyawanya, atau berurai air mata karena kehilangan sekutu perjuangan kemanusiaan di sisinya. Semua itu karena mereka sadar, bahwa perubahan hanya terjadi oleh manusia-manusia yang menyejarah, serta melalui suatu tindakan sejarah.
Maka, pada babak berikutnya dalam pendidikan, manusia harus diajarkan mengenai peran sentral mereka dalam sejarah. Bahwa mereka sedang melanjutkan tugas para Rasul. Bahwa mereka dinobatkan Tuhan sebagai nakhoda yang memegang kemudi sebuah kapal besar bernama sejarah.
Mereka bukan hanya awak kapal yang termangu diam di kapal sementara ombak dan badai menerpa. Keselamatan jiwa dan raga mereka serta semua yang menumpang di atas kapal berada di tangan manusia.
Berangkat dari pemahaman itu, maka pendidikan bagi manusia haruslah sebuah pendidikan yang membangkitkan kesadaran sejarah dalam benak manusia yang belajar. Bahwa manusia adalah mahkluk yang menyejarah, dan sejarah merupakan sesuatu yang manusiawi.
Manusia menyejarah, karena mereka senantiasa bergulat dengan sejarah. Tidak seperti binatang dan tumbuhan yang tidak belajar dari masa lalu dan tidak pula berkepentingan atas masa depan.
Sejatinya, eksistensi manusia bukan ‘dalam’ sejarah, namun ‘dengan’ sejarah. Manusia dan sejarah terus bekerja dalam hubungan saling aksi-reaksi. Manusia terus mendefinisikan sejarah, demikian halnya sejarah juga terus mendefinisikan manusia.
Sedangkan sejarah adalah sesuatu yang sangat manusiawi, karena ia adalah segala sesuatu yang bermakna penting bagi manusia. Banyak hal yang terjadi yang dapat dicatat sejarah, namun hanya yang signifikan bagi kemanusiaan yang pada akhirnya masuk dalam lembaran sejarah.
Sejarah, Apakah jadi Notulensi Kepentingan Para Penguasa?
Karena manusia adalah makhluk yang berkepentingan, maka sejarah juga merupakan medium pertarungan kepentingan. Dalam sejarah, siapa malaikat dan siapa iblis semua ditentukan oleh penguasa.
Sejarah dengan demikian sangat mungkin penuh dengan bias dan pengaburan oleh karena keinginan yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Maka, pendidikan sejarah bagi manusia akan menampilkan suatu bagian dari sejarah sebagaimana apa adanya, yakni sebagai notulensi kepentingan para penguasa. Sejarah, dengan demikian, harus diselidiki untuk menemukan hal-hal faktual yang tersembunyi di balik apa yang ditampakkan di permukaan.
Bahwa di balik dunia yang terlihat ‘baik-baik saja’, sejatinya terdapat penindasan dan rekayasa kesenjangan sosial yang disengaja. Mata manusia dimampukan untuk melihat bahwa kerusakan dan kehancuran sedang berlangsung di balik tatanan dunia yang seolah harmonis.
Berikutnya, pendidikan ini harus membangkitkan optimisme manusia kepada masa depan, kepada sejarah yang sedang dan akan dibuat. Pendidikan yang memberanikan manusia untuk menyelami realitas dan mengubahnya. Pendidikan yang melahirkan manusia-manusia yang bertanggung jawab atas kemanusiaan mereka.
Hal ini selaras dengan sejarah para rasul yang tidak diam di hadapan ketidakadilan. Perbudakan kepada sesama manusia dan penindasan kepada wanita segera digantikan dengan pemerdekaan dan pemberian hak-hak yang setara di antara mereka.
Semangat kesukuan yang memecah-belah dan budaya pertumpahan darah digantikan dengan semangat persaudaraan dan kemanusiaan.
Selain itu, pendidikan tidak boleh malah membangun jarak antara manusia dengan sejarah. Pendidikan juga tidak boleh membuat manusia takut dengan kesejarahan. Pendidikan semacam ini akan menghilangkan sifat-sifat manusiawi dengan melahirkan manusia yang tercerabut dari pengalaman kesejarahan dan bahkan lari dari tanggung jawab kesejarahan.
Maka, tugas terakhir pendidikan bagi kemanusiaan adalah mengaktivasi manusia, bukannya mengobjektivikasi. Pendidikan yang memberdayakan, bukan membuat ketergantungan.
Sebab, hanya melalui kerja-kerja manusia yang kreatif, penuh kesadaran dan terlibat penuh dengan sejarah, maka manusia telah memenuhi tugas fitrah mereka, yaitu sebagai khalifah di muka bumi.
Editor: Lely N