IBTimes.ID – Pada masa lalu, masyarakat selalu menghadapkan peace (perdamaian) dengan war. Padahal, perdamaian telah berkembang. Kini, peace adalah lawan dari peacelessness. Di masa lalu, peace atau war sangat berkaitan dengan konsep-konsep nation state. Berkaitan dengan bagaimana menjaga perbatasan dari invansi negara lain.
Pasca perang dingin, terjadi perubahan besar di dunia. Dulu, dunia menggunakan semboyan si vis pacem, para bellum (jika kamu mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi peperangan). Sementara sekarang semboyan itu berubah menjadi si vis pacem, para pacem (jika kamu mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perdamaian).
Menurut Habib Chirzin, damai itu dimulai dari diri kita masing-masing. UNESCO menyebut bahwa peace adalah state of mind.
“Lawan dari perdamaian bukan hanya perang, tetapi ketidakdamaian (peacelessness) dalam pengertian yang luas. Yakni kondisi kehidupan masyarakat yang menghalangi proses aktualisasi diri realisasi diri dan pembebasan diri insani secara penuh. Berupa kemiskinan, ketidakadilan sosial, perusakan lingkungan hidup, pemerosotan nilai-nilai kemanusiaan, pelanggaran hak asasi, tindakan kekerasan kultural, struktural dan teknis, maupun tidak berfungsinya lembaga-lembaga sosial politik secara semestinya,” ujar Habib Chirzin dalam penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (21/9).
Kondisi seperti itu, imbuhnya, sering disebut fenomena kekerasan institusional dan kultural. Dengan perubahan wawasan tersebut, kegiatan studi, penelitian, maupun program aksi perdamaian memperoleh perspektif yang lebih luas, dalam, dan kaya.
Habib Chirzin menyebut bahwa bentuk paling ekstrem ketidakdamaian dan kekerasan institusional adalah perang. Oleh karena itu perlucutan senjata nuklir merupakan prioritas utama di dalam isu perdamaian. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebut perang nuklir sebagai penyakit menular terakhir. Apabila hal itu terjadi, maka manusia akan musnah.
“Eskalasi perlombaan senjata menimbulkan pengurasan dan penyalahgunaan sumber-sumber pembangunan. Persiapan perang merusak lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia. Dari sudut pandang kependudukan dan lingkungan hidup, dampak lingkungan dari perang-perang antara lain berbuahnya pola pemukiman, perpindahan penduduk, perubahan praktik pertanian dan tata guna tanah,” imbuhnya.
Ia menyebut bahwa perlombaan senjata merupakan beban ekonomis bagi pembangunan. Hubungan pembangunan dengan perlombaan senjata merupakan hubungan yang kompetitif, khususnya dari sisi sumber daya.
Di sisi lain, yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah mengarusutamakan keamanan manusia. Di kawasan Asia, pengarusutamaan dilakukan dalam rangka merealiassikan keamanan yang selaras dengan nilai-nilai Asia. Dalam konteks Indonesia, hal tersebut dilakukan untuk menggali nilai-nilai luhur bangsa dalam mengembangkan dan menerapkan keamanan manusia di Indonesia.
Mahbubul Haq, seorang sarjana Asia menyebut tujuh komponen ketahanan manusia. Tujuh komponen tersebut antara lain (1) keamanan ekonomi (pendapatan dasar yang terjamin); (2) ketahanan pangan (akses fisik dan ekonomi ke makanan); (3) ketahanan kesehatan (kebebasan relatif dari penyakit dan infeksi); (4) keamanan lingkungan (akses ke pasokan air sanitasi, udara bersih dan sistem lahan yang tidak terdegradasi); (5) keamanan pribadi (keamanan dari kekerasan fisik dan ancaman); (6) keamanan masyarakat (keamanan identitas budaya); dan (7) keamanan politik (perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar).
“Keamanan manusia menyerukan pergeseran pemikiran keamanan dari keamanan negara ke keamanan manusia yang mencakup individu dan komunitas. Keamanan manusia telah mengalami sitasi krisis, di mana kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat beresiko tinggi,” imbuhnya.
Pada hari Rabu (21/9/2022), Habib Chirzin memperoleh gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Gelar kehormatan tersebut diberikan dalam rangka mengapresiasi dedikasinya dalam mengembangkan dan mengarusutamakan nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan sejak tauhn 1982 hingga sekarang.
Untuk diketahui, Habib Chirzin merupakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 1985-1989. Setelah lengser, jabatan itu diisi oleh Din Syamsuddin yang kemudian menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama dua periode.
Reporter: RH