Oleh: Lia Nur Halimah*
Akademisi dan Kentingan Baru yang Terlupakan
Kentingan Baru merupakan suatu kawasan yang berada tepat di sebelah timur tembok Universitas Sebelas Maret, posisinya tepat disebelah Fakultas Kedokteran. Kentingan Baru dibagi atas 8 blok, luasnya sekitar 15.000 meter persegi.
Di sana bersebelahan langsung dengan Rusunawa Jurug, Solo. Di Kentingan Baru, tinggal ratusan orang yang bertahan hidup di atas penderitaan. Warga yang tinggal di Kentingan Baru kebanyakan hanya bekerja sebagai buruh harian lepas dan pedagang.
Sebenarnya, Kentingan Baru hanyalah seperti perkampungan biasa. Namun seringkali dicap sebagai kawasan kumuh, sarang preman, tempat penyamun, dan sebagainya.
Tanah Kentingan Baru tempat orang-orang itu tinggal dianggap sebagai tanah sengketa. Tanah itu diakui oleh pihak swasta. Sejak tahun 2000-an, pihak swasta sudah berusaha untuk mengusur warga di Kentingan Baru.
Namun, seringkali pengusuran itu gagal akibat hadangan warga dan mahasiswa. Sengketa tanah antara warga Kentingan Baru dan pihak swasta memang berlangsung cukup lama. Hingga saat ini belum ada solusi yang memenuhi kepentingan masing-masing pihak, baik swasta maupun warga Kentingan Baru.
Warga Kentingan Baru tinggal disana sejak era reformasi. Memang dari awal, tanah itu tidak berizin. Sejak Indonesia merdeka, tanah di Kentingan Baru sudah ditinggali oleh masyarakat.
Namun hingga saat ini, tanah tersebut belum mendapatkan sertifikat tanah, padahal tanah tersebut telah ditinggali lama oleh nenek moyang mereka. Di daerah pedesaan apabila tanah sudah ditempati lama dan turun menurun, maka akan dibuatkan sertifikat tanah.
Di desa biasanya disebut mutih atau pemutihan. Entah mengapa di Kentingan Baru ini tidak ada kegiatan mutih atau pemutihan yang dilakukan pemerintah.
Meskipun pada realitasnya, beberapa warga Kentingan Barusudah ada yang memiliki sertifikat tanah. Berarti dapat dipastikan ada sebagian tanah yang sudah legal dan sah dimiliki oleh warga Kentingan Baru.
Namun tetap saja pihak swasta beserta aparat pemerintah Solo selalu berusaha melakukan penggusuran. Setiap kali dilakukan penggusuran, mahasiswa beserta pelajar selalu meminta surat tugas ataupun surat izin penggusuran.
Pihak swasta dan aparat selalu tidak dapat menunjukan surat tersebut. Hal ini yang terus dikawal oleh mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat. Karena ini termasuk dalam hak-hak agrarian warga negara.
Dan pada akhir tahun 2019, pihak swasta dan aparat berhasil mengusur Kentingan Baru. Semua bangunan rata dengan tanah kecuali masjid yang berada tepat di depan pintu masuk Kentingan Baru.
Pada awal masa penggusuran, sama sekali tidak ada pemberitahuan resmi dari pihak swasta dan aparat terkait penggusuran. Tiba-tiba saat pagi hari, tepatnya pukul 07.00 WIB alat-alat berat sudah mengepung Kentingan Baru dan siap merobohkan rumah-rumah di sana.
Mahasiswa beserta pelajar dan warga telah menghadang serta wartawan berusaha meliput. Namun mereka dihadang dan beberapa mahasiswa dan pelajar ada yang ditangkap oleh polisi karena dianggap melakukan perlawanan. Bahkan aparat pada saat itu melakukan tindakan represif
Hal yang sangat disayangkan di sini adalah letak Kentingan Baru bersebelahan dengan Universitas Sebelas Maret. Di mana, di sana terdapat banyak profesor, doktor, guru besar, dan orang-orang hebat lainnya dalam bidang hukum, pertanahan, advokasi, dan lain sebagainya.
Namun, mengapa ketika ada kasus di Kentingan Baru yang letaknya hanya bersebelahan dengan Fakultas Kedokteran, sama sekali tidak ada tindakan yang dilakukan. Bahkan diskusi dan mimbar-mimbar bebas yang dibuat mahasiswa UNS juga tidak mereka hadiri.
Padahal, mahasiswa berusaha mencarikan jalan terbaik untuk kasus Kentingan Baru ini. Dan mahasiswa beserta pelajar berusaha sekeras mungkin membantu warga Kentingan Baru dengan memberikan akses. Termasuk akses terhadap haknya sebagai warga negara.
Sebagai seorang dosen dan akademisi di Universitas, ada suatu tanggungjawab sosial yang harus ditunaikan oleh mereka. Seharusnya, Kentingan Baru menjadi salah satu medan yang para akademisi perjuangkan, yaitu membebaskan tanah untuk warga Kentingan Baru.
Ini bukan hanya urusan agraria terkait legalitas tanah, tetapi ini juga urusan kemanusiaan. Karena pasca terjadi pengurusan, warga Kentingan Baru tidak memiliki tempat tinggal. Mereka tinggal di tenda-tenda yang dibangun oleh mahasiswa, tidur beralaskan tikar seadanya. Apakah hati dan pikiran yang sudah terdidik di dalam kampus sama sekali tidak tersentuh rasa kemanusiaanya? Sejak benar-benar digusur pada November 2019 hingga tulisan ini ditulis, sengketa tanah Kentingan Baru belum selesai. Hingga saat ini, mahasiswa UNS dan pelajar terus konsisten mengawal kasus Kentingan Baru bahkan hingga membentuk suatu komunitas Kentingan Baru yang konsen pada kasus tersebut.
Mahasiswa dan pelajar terus berusaha dan berharap agar tembok penderitaan pembatas antara rakyat dan mahasiswa itu segera hancur. Sehingga warga Kentingan Baru mendapatlkan hak-haknya sebagai warga negara.
Dan professor, akademisi, dosen, guru besar, dapat segera menunaikan tanggungjawab sosial mereka. Karena warga Kentingan Baru tidaklah orang-orang yang berpendidikan tinggi, mereka seringkali kesulitan mengakses apa yang seharusnya mereka dapatkan, termasuk untuk mengadvokasi tanah milik mereka sendiri.
Semoga dengan turunnya mahasiswa, dosen, akademisi, guru besar, dsb yang melakukan advokasi terhadap warga Kentingan Baru dapat segera menyelesaikan kasus Kentingan Baru. Dan warga Kentingan Baru dapat segera hidup dengan normal sebagai layaknya manusia lainnya.