Perspektif

Statemen Penghapusan 300 Ayat Al-Qur’an: Evaluasi untuk Umat Islam

3 Mins read

Penghapusan 300 Ayat Al-Qur’an | Beberapa hari lalu, sempat Viral pemberitaan di media mengenai pernyataan salah satu tokoh agama yang menginginkan dihapusnya 300 ayat Al-Qur’an yang berpotensi memunculkan ideologi radikal.

Saifuddin Ibrahim, seorang pendeta asal Nusa tenggara Barat (NTB), mengatakan hal demikian di laman media sosial miliknya. Sontak, hal ini menuai kontroversi dari pihak yang merasa terpukul atas pernyataan itu.

Saya sendiri sempat geram ketika melihat video tersebut di laman Youtube. Namun dari sana,  saya sedikit tersadar bahwa narasi islam rahmatan lil alamin beulm sepenuhnya terimplementasi.

Saya teringat pula obrolan singkat saya ketika masih kecil dahulu, sekitar tahun 2010 atau lebih. Kala itu sehabis bermain bola, saya dan teman-teman menyempatkan diri untuk rehat di depan rumah salah satu teman.

Terlontarlah kata-kata dari teman saya yang beragama Kristen Protestan, “Orang Islam suka nge-bom ya?”, lantas saya kaget dan merasa telah dihina saat itu. Sepulang dari sana, saya mengadu pada ibu. Lantas, ibu menjawab bahwa hal itu (meledakkan bom) tidak dilakukan oleh semua orang Islam namun hanya oknum tertentu yang mengatasnamakan dirinya Islam.

Statement 300 Ayat Al-Qur’an Dihapus, Ditolak atau Diterima?

Memang, statement dari Saifuddin Ibrahim  tidak bisa disalahkan seluruhnya dan juga tidak bisa dibenarkan seluruhnya. Melihat dari fakta di lapangan, bahwa memang banyak kaum yang mengatasnamakan dirinya muslim dan menjadikan Al-Qur’an sebagi pedoman dalam melakukan aksi terorisme.

Dilihat dari latar belakangnya, Saifuddin berasal dari keluarga muslim dan juga mempunyai jenjang pendidikan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Islam. Ia juga sempat mengajar di pondok pesantren yang otomatis dia bukanlah orang yang awam mengenai Islam.

Baca Juga  Ayat-Ayat Farmakognosi dalam Al-Qur’an

Mengapa saya bisa mengatakan statement di atas tidak bisa dibenarkan pula? Jadi, menurut saya,  tidak ada satupun agama di dunia ini yang menghendaki umatnya untuk melakukan intimidasi, radikalisme, pembunuhan, dan aksi-aksi ekstrem lainnya.

Saya kira, Saifuddin Ibrahim terlalu menggeneralisir bahwa seluruh umat Islam akan melakukan aksi terorisme diakibatkan 300 ayat tersebut. Nyatanya tidak. Ada orang-orang yang berprinsip damai dan tidak melakukan tindak kekerasan padahal pedomannya sama yaitu 300 ayat tadi yang diklaim akan memunculkan aksi terorisme dan radikalisme.

Jadi dari sini, bisa disimpulkan yang seharusnya diubah adalah pola pikir serta cara dalam menafsir dan mengartikan Al-Qur’an itu sendiri. Jikalau dilihat realitasnya, banyak aksi pembunuhan dan genosida yang dilakukan oleh agama-agama lain. Kita ambil contoh peristiwa genosida di Myanmar, radikalisme Hindu di India, dan lain sebagainya. Perlu ditegaskan lagi, tak ada satu agamapun di dunia yang menghendaki adanya kekerasan. Kesalahannya hanya terletak pada pola pikir serta cara kita menafsirkan apa yang Allah turunkan.

Tafsir Kontekstualis

Dilihat dari statement beliau, saya kira beliu terlalu tekstualis dalam memaknai Al-Qur’an. Padahal, ada banyak metode tafsir yang lebih ramah dan cocok dengan keadaan kita sekarang. Tafsir kontekstualis bisa menjadi salah satu alternatif dalam memahami Al-Qur’an.

Al-Qur’an yang diturunkan berdasarkan konteks sosial masyarakat saat itu, membuat para mujtahid dapat menyimpulkan apa hukum yang harus diambil dengan kondisi sosial yang terjadi saat ini.

Pendekatan kontekstualis erat kaitannya dengan asbabul nuzul dan juga asbabul wurud. Artinya,  turunnya ayat saat itu adalah sebagai jawaban dari realitas yang terjadi di masyarakat. Yang bisa disimpulkan bahwa beda kondisi bisa beda hukumnya, maka dari itu perlunya dibuka pintu ijtihad seluas-luasnya.

Baca Juga  Proses Pembentukan Janin Menurut Al-Qur’an

Revisi ayat juga tidak bisa dilakukan dengan semena-mena. Dalam Al-Qur’an, ada memang ayat-ayat yang direvisi. Hal itu diterangkan dalam materi naskh wa mansukh yang di mana suatu ayat hanya berlaku saat itu dan tidak bersifat kontinyu karna dihapus hukumnya oleh ayat lainnya.

Selain itu, menurut saya pernyataan yang dikeluarkan Saifuddin Ibrahim adalah tamparan untuk kita semua. Bahwa di negara yang mayoritas muslim ini, ia belum menemui wajah umat Islam yang rahmatan lil alamin. Banyaknya aksi-aksi yang mengatasnamakan Islam adalah salah satu kelalaian kita dalam merangkul saudara kita yang masih berfikiran keras.

Kita seharusnya lebih cermat dalam beragama. Kebenaran dalam Al-Quran bersifat mutlak. Namun yang menjadikan implementasinya salah adalah kita selaku manusia. Al-Qur’an yang diturunkan untuk manusia seharusnya mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan etika hidup manusia yang artinya tindakan separatis.

***

Pembacaan secara tekstualis seakan mengurung pemaknaan dalam satu koridor makna saja. Dan pada akhirnya, hal itulah yang berpotensi memicu intoleransi. Sekaan-akan, Al-Qur’an harus dimengerti sebagaimana ia mengerti Al-Qur’an.

Kita ambil contoh Abdullah ibnu Muljam, pembunuh Ali bin Abi Thalib ini adalah seorang huffaz yang hafalannya tidak diragukan lagi. Namun pada akhirnya, ia bergabung dalam golongan Khawarij dan ikut serta dalam percobaan pembunuhan 3 orang yang dianggap telah kafir dan harus di bunuh.

Ayat yang dipakai dalam pengkafiran itu adalah “la hukma illallah”. Seorang mutqin yang paham dengan Al-Qur’an saja, masih bisa melakukan tindakan sekeji dan sekejam itu karena salah memahami ayat. Jadi dari sini bisa disimpulkan bahwa yang harus dibenahi adalah cara kita memahami ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an.

Dalam buku Robert Spencer berjudul “Kebenaran tentang Muhammad: Pendiri Agama Paling Tidak Toleran di Dunia”, saya menangkap ada sedikit penyesalan di sana. Mengapa Islam yang ada dasarnya adalah agama yang ramah, namun disalahpahami oleh umatnya sendiri sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran radikal dan anarkis.

Baca Juga  Mencapai Kesehatan Otak dan Tubuh dengan Berdzikir

Kesimpulan

Agama islam yang rahmatan lil alamin harus segera diimplementasikan dalam kehidupan ini. Anggapan-anggapan mengenai Islam yang keras dan intoleran nampaknya perlu menjadi evalusi dalam tubuh umat Islam itu sendiri.

Jangan sampai, agama yang seharusnnya menjadi kubah perdamaian malah berubah 180 derajat menjadi tombak permusuhan dan gerakan-gerakan yang tidak humanis.

Sudah jelas sekali, bahwa diperlukan pemaknaan ayat-ayat secara kontekstualis sesuai dengan realitas yang terjadi pada kehidupan sosio-historis umat Islam.

Muhammad Iqbal
17 posts

About author
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta Kader PK IMM Hajjah Nuriyah Shabran 2020
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds