Perspektif

Penolakan Jenazah Covid: Kekecewaan Pahlawan Tanah Air

4 Mins read

Sebelum membaca, penulis sarankan mendengarkan lagu Yessiel Trivena –Demi Raga Yang Lain-

“ Saat semua menghilang kau tetap setia menjaga. Kau berkorban tanpa suara demi senyum yang lain”

Kisah perlawanan Covid-19 di negeri ini belumlah usai, bak film horor yang mengeluarkan kejutan-kejutan ditengah alur ceritanya. Baru-baru ini, warganet dikejutkan dengan banyak pemberitaan di media sosial terkait stigma dan diskriminasi yang muncul di masyarakat. Baik kepada penderita, korban, jenazah, keluarga, bahkan kepada tenaga kesehatan menjadi sorotan publik di tanah air.

Terhitung per hari ini, data terbaru perawat yang gugur di tengah pandemi corona yang diumumkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebanyak 10 orang. Tidak hanya di Indonesia, seandainya mereka (baca: masyarakat) tahu betapa banyak korban tenaga kesehatan di dunia yang berjatuhan ketika bergabung di garis depan dalam perang tanpa asap ini.

Sebelum itu, penulis menyampaikan bela sungkawa sedalam-dalamnya dan memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada tenaga kesehatan yang gugur dalam pengabdian ini sebagai “pahlawan kemanusiaan”. Atas komitmen dan dedikasinya selama memberikan pelayanan kesehatan di garda terdepan. Yang mana, mereka saat ini sangat dibutuhkan masyarakat untuk melawan pandemik covid-19. Semoga pengabdian ini diterima oleh Allah SWT.

Namun sangat disayangnya, di saat tenaga kesehatan berjuang mati-matian  bertaruh nyawa hingga satu persatu harus gugur di tengah peperangan, banyak sekali pemberitaan tentang stigmatisasi dan diskriminasi terhadap tenaga kesehatan.

Penulis yang merupakan seorang mahasiswa profesi ners merasa sangat kecewa dan prihatin atas respon dan sikap berlebihan dari masyarakat. Hal tersebut seharusnya tidak sepantasnya dilakukan kepada seorang profesi yang telah mempertaruhkan nyawanya demi pelayanan kemanusiaan.  

Nasib Superhero di Tanah Air: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Sejak wabah covid-19 masuk ke Indonesia, tenaga kesehatan khususnya perawat, adalah profesi yang mau tidak mau dan penuh risiko tinggi menjalankan kewajiban perannya. Para tenaga medis berusaha melawan nasib sebagai profesi yang tetap melayani pasien covid-19. Saat yang lain bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribah di rumah.

Baca Juga  Kalender Islam Global di Mata Muslim Eropa

Namun, tenaga kesehatan khususnya perawat, harus hadir dan datang untuk merawat dan memberikan secercah harapan bahwa pasien yang akan dirawat hari ini akan sembuh dan kembali kepelukan keluarganya.

Jika perawat dan tenaga kesehatan Indonesia hanya egois memikirkan keselamatan diri sendiri, maka jelas mereka tidak akan berperang melawan sesuatu hal yang tak kasat mata dan penuh risiko mempertaruhkan nyawa.

Profesi ini sangat diagung-agungkan dan disematkan menjadi seorang pahlawan bak superhero yang akan menyelamatkan dunia. Dengan berbagai bentuk dukungan termasuk melalui media sosial, menjadikan suntikan semangat untuk mereka bersama-sama melawan musuh tak kasat mata ini.

Namun hal itu seketika menjadi pil pahit. Tatkala yang sedari awal menjadi superhero (baca: tenaga medis), harus jatuh tertipa tangga pula dengan menerima stigma, penolakan, dan pengusiran.

Di balik kesenyapan jalan-jalan karena social distancing, senyap pula hati nurani manusia. Berbagai pemberitaan di media memberitakan tenaga medis, khususnya perawat yang diusir dari kos karena dianggap membawa virus.

Lebih sangat disayangkan ketika muncul berita terbaru. Ketika seorang perawat asal Kabupaten Semarang yang meninggal karena positif corona yang akan dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU), harus berubah lokasi pemakaman karena penolakan sebagian warga. 

Hal ini sontak menggegerkan warganet khususnya teman sejawat. Tagar #SaveTenagaKesehatanIndonesia bermunculan di berbagai media sosial. DPP PPNI memberikan instruksi untuk mengenakan PITA HITAM untuk 5 hari ke depan sebagai aksi solidaritas

Jauhi Penyakitnya Bukan Orangnya

Jargon lama tentang jauhi penyakitnya bukan orangnya mungkin telah jauh-jauh hari dikampanyekan harusnya menjadi pegangan kita semua. Selain tenaga kesehatan, sejauh ini banyak sekali stigma dan diskriminasi yang dialami oleh penderita dan korban.

Baca Juga  Menyemai Islam Humanis Bukan Islam Fanatis

Penderita mendapat perlakuan buruk berupa pengucilan dan cemoohan, jenazah pun ditolak, dan keluarga korban menjadi sasaran stigmatisasi masyarakat awam. Stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negatif) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) itu dengan bentuk pengusiran , penghakiman, dan pengucilan. Jika hal tersebut terus dilakukan tersu menerus, akan menjadi tindakan yang sangat berbahaya.

Karena membuat siapapun yang muncul gejalanya akan enggan melapor dan memeriksakan diri. Jika mereka enggan melapor karena takut dihakimi, dicemooh, dan dikucilkan, yang terkena dampak negatif adalah kita semua. Virus jadi tidak terdeteksi sehingga menyulitkan pemutusan rantai penyebarannya.  

Mirisnya, stigma dan penolakan ini akan terus terjadi dan berlanjut pada tenaga kesehatan. Air mata penulis mulai berjatuhan ketika membayangkan mereka (baca: tenaga kesehatan) yang telah bekerja keras menyelamatkan nyawa, harus berhadapan dengan stigma dan penolakan.

Virus tidak mengenai batas, begitupun cinta dan kasih sayang manusia juga tidak mengenal batas. Tenaga medis juga orang biasa. Sebenarnya, mereka bisa saja menolak untuk menerima tugas-tugas yang berisiko tinggi ini semacam ini.

Bisa saja mereka meminta cuti atau mengundurkan diri dalam wabah pandemi ini. Sungguh sangat egois bukan jika hal itu dilakukan. Mereka memilih untuk tetap berjuang di garda terdepan berharap perang tanpa asap ini cepat usai. Maka bagi masyarakat, berhentilah egois! berhentilah memberikan stigma dan penolakan pada semua orang yang menjadi korban perang  ini.

Jenazah Covid: Jangan Ditolak!

Benar saja, beberapa minggu terakhir kesadaran masyarakat Indonesia dalam isu Covid-19 dinilai terus meningkat . Di satu sisi, kewaspadaan dan kesadaran covid mulai terbentuk. Namun kewaspadaan ini jangan sampai kebablasan, jaga jarak bukan berarti kita bebas mengusir orang atau menolak jenazah tidak seharusnya jaga jarak ini tidak memikirkan kemanusian.

Baca Juga  Pak Amien Rais, Sebaiknya Anda Jadi Negarawan!

Mari hentikan penolakan khususnya jenazah covid-19. Pengurusan jenazah pasien covid-19 sudah dilakukan dengan standar yang aman baik dari segi agama maupun medis.

Mulai dari pencucian secara syar’i kemudian dibungkus kantung plastik yang tidak tembus air hingga dimasukkan ke dalam peti. Seperti yang sudah ditegaskan para ahli kesehatan, ketika jenazah itu dikubur, secara otomatis virusnya akan mati karena inangnya juga mati. 

Penulis berharap tidak hanya kepada pemerintah, tetapi juga kepada para tokoh masyarakat, dan tokoh agama untuk lebih tegas dan lugas mengedukasi kepada masyarakat.  Karena saya rasa, penolakan tersebut tidak murni dari semua masyarakat. Ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang menjadi provokator yang menunggangi penolakan tersebut.

Aksi penolakan harus diusut tuntas untuk mencari siapa provokator di balik itu semua. Penulis secara tegas, setuju akan pernyataan sikap yang disampikan DPP PPNI. Yaitu mengecam stigmatisasi dan penolakan terhadap semua korban khususnya tenaga kesehatan yang gugur dalam pandemi covid-19. Kini menjadi tugas semua elemen masyarakat, bukan lagi hanya tugas pemerintah.

Mengutip pernyataan Najwa Shihab “Kini saatnya memperkuat solidaritas, jarak fisik memang harus direnggangkan, tapi ikatan sosial justru harus dirapatkan.  Kita tidak bisa sendirian mengatasi wabah ini. Hari ini soliter seharusnya solider. Jaga jarak dengan penyakit bukan dengan kemanusian”. 

Untuk yang membaca tulisan ini, tolong sampaikan kepada orang tuamu, anakmu, saudaramu, kekasihmu, tetanggamu, dan semua orang di sekitarmu. Sampaikan pada mereka lawan virusnya bukan manusianya.

Editor: Yahya FR
Avatar
2 posts

About author
Bendahara Umum PC IMM Surabaya, Mahasiswi Profesi Ners Universitas Muhammadiyah Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds