Muhammadiyah Tidak Anti Kebudayaan
Kebudayaan – Ketika menuliskan esai ini, saya membaca berita perihal pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pak Haedar Nashir, yang menyampaikan agar “anggota, kader, mubaligh, dan pimpinan Muhammadiyah terus memperkaya wawasan kebudayaan.”
Beliau juga menegaskan agar “kader dan elite Muhammadiyah tidak boleh anti terhadap kebudayaan, sebab menurut Fatwa Majelis Tarjih kebudayaan bukan suatu yang diharamkan.”
Pernyataan Pak Haedar Nashir tersebut seiring-sejalan dengan pokok pikiran yang akan saya sampaikan di bagian penutup serial tulisan ini.
Penggunaan Sastra untuk Gerakan Dakwah Bukan Hal Baru
Sebelum itu, saya perlu mengatakan bahwa penggunaan sastra bagi gerakan dakwah tentu saja bukan hal baru. Sejak berabad-abad lalu, ulama di seluruh belahan dunia telah menggunakan sastra secara khusus dalam menyebarkan ajaran agama.
Namun begitu, pembicaraan tentang pentingnya sastra dalam gerakan dakwah di zaman ini semakin mendesak untuk diketengahkan justru di tengah situasi ketika gelombang anti-kebudayaan semakin tinggi di dalam kultur beragama masyarakat kita.
Gelombang kebudayaan ini tak hanya melanggeng pemahaman yang keliru dalam memandang kebudayaan, tetapi juga memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat Islam dalam berhubungan sosial sesamanya.
Salah satu bentuk tindakan anti-kebudayaan adalah sikap yang mengusung pemahaman teks-teks agama secara harfiah dan tunggal serta sikap yang menghambat adanya tafsir lain.
Sebaliknya, sastra—dalam bentuk terbaiknya—adalah salah satu bentuk seni yang melatih manusia untuk bisa menggali yang tersirat (tersembunyi) di balik yang tersurat (tampak) dan memaknai suatu teks sesuai konteks. Dan untuk bisa melakukan itu, seorang pembaca harus menjadi pembaca yang aktif menggali makna. Bukan yang pasif menerima saja.
Suatu sifat aktif akan mengasah perasaan dan pikiran jadi tajam dan peka, sedangkan sikap pasif hanya membuat perasaan dan pikiran jadi tumpul dan kaku.
Ajakan Membaca Karya-Karya Sastra Kebudayaan
Terakhir, bagian penutup ini saya gunakan sekaligus sebagai ajakan kepada umat Islam, terutama sesama generasi muda, untuk membaca kembali karya-karya sastra yang ditulis oleh para ulama kita di masa lalu.
Bagi umat Islam yang sudah terbiasa membaca karya sastra para ulama, tentu saja ajakan ini tidak diperlukan lagi. Oleh sebab itu, secara khusu saya mengajak umat Islam yang selama ini terlanjur memandang sastra secara sempit dan mungkin keliru.
Bagaimana pun juga, ketika ulama memilih menulis karya sastra, hal itu tidak semata-mata untuk tujuan “hiburan” atau sekadar “hobi” saja. Sejauh yang saya pahami, para ulama mempunyai pertimbangan yang matang ketika memilih berdakwah menggunakan karya sastra.
Salah satu pertimbangan itu, setidak-tidaknya, adalah agar umat Islam tidak malas menggali dan menggali segala hal yang tak selamanya bisa dipahami lewat kelima indera belaka.
Dan dari karya sastra para ulama (salah satu contohnya puisi-doa karya Gus Mus ini) kita jadi semakin paham bahwa menyampaikan dakwah itu tidak sebatas memberikan batas kaku perihal mana yang baik dan mana yang buruk.
Editor: Yahya FR