Tanwir Muhammadiyah yang baru saja selesai diselenggarakan secara daring pada 19 Juli 2020 memutuskan untuk menunda penyelenggaraan Muktamar ke-48 tahun 2020 menjadi tahun 2022 meskipun dengan catatan memungkinkan di 2021 jika situasi sudah aman. Melalui artikel ini, penulis ingin menyampaikan satu hal, bahwa penundaan Muktamar di Muhammadiyah secara historis pernah terjadi tiga kali sejak awal kelahirannya hingga kini. Fakta penundaan Muktamar bukanlah hal yang baru di Muhammadiyah.
Hanya saja sebagian kita masih banyak yang belum tahu, bahwa hal ini pernah terjadi meski dengan latar belakang dan penyebab yang berbeda. Jadi, tidak usah heran atau kecewa atas penundaan tersebut. Tidak usah pula dipandang secara politis. Semua tentu ada baik dan buruknya. Ketiga penundaan muktamar itu pernah terjadi di era 1940-an, 1980-an, dan 2020-an. Penjelasan spesifiknya berikut ini.
Penundaan Muktamar Muhammadiyah Pertama: Perang Dunia II, Penjajahan Jepang, dan Revolusi Fisik
Penundaaan Muktamar (atau Kongres sebutan saat itu) pertama adalah Kongres Muhammadiyah ke-30 yang akan diselenggarakan di Purwokerto pada 07-12 Januari 1941. Penundaan atau pembatalan tersebut terpaksa dilakukan karena terjadinya Perang Dunia II yang mengakibatkan situasi nasional saat itu tidak aman. Pada saat itu juga, Jepang sedang menguasai Indonesia dan terlibat dalam Perang Dunia II melawan sekutu.
Kondisi yang demikian itulah yang menyebabkan para delegasi kongres tidak bisa berkumpul di Purwokerto. Sebagai jalan keluar, diadakan pertemuan antarcabang se-Jawa tahun 1941 di Yogyakarta. Langkah ini dilakukan sebagai jembatan untuk mengadakan kongres darurat yang menjadi ruang untuk silaturahim antarcabang dan ranting Muhammadiyah se-Jawa dan Madura (Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 2010: 133). Pertemuan antarcabang Muhammadiyah se-Jawa pada 1941 menetapkan Mas Mansur untuk yang kelima kalinya sebagai ketua HB Muhammadiyah (Hoofdbestuur Moehammadijah, 1941: 5).
Posisi Mas Mansur sebagai ketua HB Muhammadiyah hanya berlangsung hingga tahun 1942. Setelah itu, posisinya dilanjutkan oleh Ki Bagus Hadikusumo. Di bawah pendudukan Jepang, Muhammadiyah masih belum bisa mengadakan kongres sehingga diadakan silaturahmi Cabang-cabang se-Jawa-Madura dan Sidang Tanwir Muhammadiyah pada tahun 1944 di ASRI Yogyakarta sebagai jalan tengah atas tidak bisanya diadakan kongres.
Terpilihnya KH Ki Bagus
Hasil pertemuan tersebut menetapkan kembali Ki Bagus Hadikusumo sebagai ketua. Pada periode ini, ada tiga nama baru yang masuk ke jajaran HB Muhammadiyah. Mereka adalah H. Mochadi, dr. Soekiman Wirjosandjojo (wakil ketua PII pertama), dan R. Wiwoho Purbohadijoyo (ketua PII pertama).
Sebagai catatan tambahan, bahwa kedudukan organisasi Muhammadiyah secara hukum menjelang Kongres Muhammadiyah ke-30 tahun 1941 sebenarnya belumlah kuat di hadapan rezim Jepang. Barulah pada tahun 1943, Jepang memberikan status hukum pada Muhammadiyah serta cabang-cabangnya di Jawa. Sementara cabang-cabang di luar Jawa masih belum diakui status hukumnya oleh Jepang (Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 2010: 133).
Meskipun Indonesia sudah merdeka pada 1945, situasi di Muhammadiyah yang sudah diporak-porandakan oleh Jepang masih belum juga siuman sehingga tidak memungkinkan bagi Muhammadiyah mengadakan kegiatan dalam skala nasional. Setahun setelah kemerdekaan, situasi nasional Indonesia kembali di bawah serangan Belanda dalam fase Revolusi Fisik sejak 1946 hingga 1949. Salah satu langkah yang diupayakan oleh Muhammadiyah untuk terlibat dalam Revolusi Fisik ini adalah mengeluarkan Komando atau semacam Resolusi Jihad. Ini juga untuk pertama kali bagi Muhammadiyah mengeluarkan seruan Resolusi Jihad.
Menurut laporan Suara Muhammadiyah (1950: 21), pada masa sulit ini Muhammadiyah mengakui sedang menghadapi berbagai kesukaran dan kekurangan. Banyak rumah, gedung-gedung Muhammadiyah yang rusak, roboh, dan sampai ada juga yang hancur rata dengan tanah. Semua itu ditempuh dengan satu semangat yang menggelora yaitu Merdeka. Karena itu, Muhammadiyah mengimbau kepada Cabang dan Rantingnya untuk kembali bangkit memperbaiki aset-aset yang dimilikinya.
Rentetan situasi yang demikian, sejak Perang Dunia II, penjajahan Jepang, dan Revolusi Fisik, menyebabkan penundaan Muktamar hampir satu dekade (terakhir Kongres adalah tahun 1940 dan Muktamar selanjutnya baru berlangsung pada 1950). Ini adalah fase penundaan Muktamar terlama sepanjang sejarah Muhammadiyah.
Penundaan Kedua: Asas Tunggal Pancasila
Muktamar ke-40 tahun 1978 adalah muktamar terakhir sebelum penundaan Muktamar yang kedua kalinya dalam sejarah Muhammadiyah. Muktamar yang seharusnya berlangsung tiga tahun berikutnya pada 1981 batal akibat terjadi gonjang-ganjing nasional terkait dengan pembahasan asas tunggal Pancasila. Di awal tahun 1980-an, karena pemerintah belum memberikan kepastian terkait pembahasan asas tunggal tersebut, Muhammadiyah terpaksa harus menunda pelaksanaan muktamar.
Barulah pada tahun 1983, berdasarkan TAP MPR tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pemerintah berencana melahirkan UU yang mewajibkan semua Ormas menggunakan asas tunggal Pancasila. UU itu bernama UU Organisasi Kemasyarakat. Itu semua berdampak pada kelangsungan hidup Muhammadiyah.
Setelah AR Fakhruddin berulang kali bertemu dengan Menag Munawir Sjadzali, akhirnya ketua PP Muhammadiyah tersebut ditemani oleh Menag sendiri bertemu langsung dengan Presiden Soeharto pada 22 September 1983. Inti dari pembicaraan tersebut adalah permintaan Presiden kepada Muhammadiyah untuk menjadikan Pancasila sebagai asas Muhammadiyah (PP Muhmammadiyah, 1985: 105-106).
Setelah PP Muhammadiyah mempelajari hasil pertemuan AR Fakhruddin dan Presiden Soeharto, maka PP mengadakan rapat pleno di Yogyakarta pada 08 Oktober 1983. PP memutuskan, bahwa Muhammadiyah dapat menerima masuknya Pancasila dalam Anggaran Dasar dengan pengertian tidak sebagai asas. Kemudian, PP Muhammadiyah mengundang ketua-ketua wilayah seluruh Indonesia untuk menghadiri rapat pleno selanjutnya yang diadakan di Yogyakarta pada 22 Oktober 1983.
Dalam rapat pleno tersebut, diputuskan, bahwa Muhammadiyah menerima masuknya Pancasila dalam AD Muhammadiyah dengan tidak menghilangkan asas Islam. Karena itu, Muhammadiyah tetap menjalin kerjasama dengan pemerintah. Faktor tidak kunjung munculnya UU yang mengatur pelaksanaan TAP MPR terkait GBHN adalah penyebab mundurnya Muktamar ke-41. Hingga akhirnya terlaksana di penghujung tahun 1985 di Surakarta (PP Muhammadiyah, 1985: 106).
***
Mengingat UU tersebut telah diundangkan pada 17 Juni 1985, maka rapat pleno PP Muhammadiyah 14 Juli 1985 di Jakarta memutuskan, bahwa Muktamar Muhammadiyah ke-41 berlangsung pada 07-11 Desember 1985 di Surakarta. Menjelang hari H Muktamar, PP Muhammadiyah juga mengadakan rapat pleno bersama ketua-ketua PWM se-Indonesia di Yogyakarta pada 30 Agustus-01 September 1985. Keputusan pleno ini adalah, bahwa Muhammadiyah akan menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan UU No. 8/1985 pada Muktamar ke-41 di Surakarta (PP Muhmammadiyah, 1985: 114).
Kehadiran UU Ormas tersebut tetap membuat goncangan hebat di kalangan warga Muhammadiyah di akar rumput. Ada sebagian yang setuju, tetapi tidak sedikit mereka yang menolak kebijakan tersebut. Bahkan Buya Malik Ahmad, salah satu ketua PP Muhammadiyah saat itu, sempat mengancam akan keluar dari Muhammadiyah jika Pancasila menjadi asas Muhammadiyah.
Pro dan kontra di internal PP Muhammadiyah terkait asas tunggal ini belum selesai juga hingga menjelang Muktamar 1985. Akhirnya, ketua PP Muhammadiyah AR Fakhruddin dan anggota PP lainnya menghadap Presiden Soeharto untuk meminta beliau membuka Muktamar (Adhy, 2010: 19-21).
Soeharto menjawab, bahwa dia bersedia mengabulkan permintaan tersebut dengan satu syarat: Muhammadiyah bersedia menerima Pancasila sebagai asasnya. Sebelum berpisah, AR Fakhruddin mengatakan kepada Presiden dalam bahasa Jawa: kulo ajeng-ajeng sanget lho rawuhipun (saya tunggu kehadirannya. Spontan Soeharto menjawab: inggih menawi Muhammadiyah saged nampi Pancasila (ya kalau Muhammadiyah bisa menerima Pancasila). Lalu dialog pun terjadi.
Politik Helm
Soeharto mengatakan, bahwa sebenarnya tidak menjadi persoalan jika Muhammadiyah mencantumkan asas Pancasila, tidak ada pengaruhnya juga pada perjuangan dalam menegakkan akidah Islam. Apa kalau menerima asas Pancasila, kita jadi sekuler? Wong saya juga menerima asas Pancasila tetapi saya juga shalat. Apa kalau saya menerima Pancasila, saya tidak jadi Muslim lagi? Demikian sejumlah pertanyaan diajukan Presiden kepada AR Fakhruddin (Adhy, 2010: 21-22; Sukriyanto, 2017: 115-116).
Ketua PP Muhammadiyah itu lalu merespon: “Apa bisa kalau Pancasila itu diumpamakan sebagai helm yang harus dipakai saat melewati jalur helm?” Lalu dijawab Soeharto demikian: “ha, kinten-kiten inggih mekaten….” (lha kira-kira begitulah). Atas dasar itulah, kemudian AR Fakhruddin mengatakan pada pembukaan Muktamar 1985: “Muhammadiyah menerima Pancasila karena berada di jalur helm”.
Ibarat jika seorang Muslim akan ke masjid untuk shalat Jumat mengendarai motor dan memakai helm, maka memakai helm itu tidak akan merubah akidah keislaman dan kepribadiannya. (Adhy, 2010: 22; Sukriyanto, 2017: 116). Itulah asal mula munculnya istilah “politik helm” yang dipopulerkan oleh AR Fakhruddin. Pancasila diibaratkan sebagai sebuah helm yang harus dipakai oleh Muhammadiyah agar tetap bisa menjalankan dakwahnya secara aman ketika berhadapan dengan pemerintah (Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 2010: 278-279).
Inilah alasan di balik penundaan Muktamar Muhammadiyah yang seharusnya terjadi pada 1981 tetapi mundur empat tahun kemudian. Dan barulah Muktamar berlangsung di penghujung 1985 di Kota Surakarta.
Penundaan Ketiga: Covid-19 dan Dampaknya
Penundaan Muktamar yang ketiga terjadi pada 2020 akibat wabah Covid-19 yang mulai menyebar ke Indonesia sejak awal Maret 2020 hingga entah kapan akan berakhir. Muktamar lima tahuan yang seharunya terjadi pada Juli 2020 di Surakarta, terpaksa diundur. Keputusan PP Muhammadiyah awalnya mengundur Muktamar ke penghujung tahun 2020.
Namun, melihat situasi yang tidak segera membaik, apalagi WHO menetapkan virus ini tidak akan hilang dari kehidupan. Maka Tanwir Muhammadiyah pada 19 Juli 2020 memutuskan, bahwa Muktamar ditunda hingga 2022 setelah pelaksanaan ibadah haji. Dengan catatan memungkinkan dilaksanakan pada tahun 2021 dengan catatan melihat maslahat dan madharatnya serta kemudahan dalam pelaksanaannya.
Sebenarnya ada sejumlah opsi yang muncul dari kalangan warga Muhammadiyah terkait pelaksanaan Muktamar. Opsi pertama, muktamar diselenggarakan tetap tahun 2020 tetapi secara daring dan menggunakan aplikasi tertentu. Opsi kedua, muktamar diselenggarakan secara fisik terbatas dan tetap pada tahun 2020. Artinya, muktamar hanya dihadiri oleh kalangan tertentu saja alias muktamar elit. Opsi ketiga, muktamar diselenggarakan secara fisik seperti sebelumn-sebelumnya.
Akhirnya opsi ketiga lah yang dipilih oleh peserta Tanwir. Hal ini juga mempertimbangkan serta menghargai jerih payah panitia lokal di Kota Surakarta yang sudah menyiapkan segalanya dengan baik. Tentu selain itu, muktamar bukan hanya sekadar ajang penetapan pengurus baru ataupun menetapkan keputusan-keputusan organisasi. Tetapi arena muktamar juga digunakan sebagai ajang untuk saling silaturahmi antar-sesama kader dan juga berputarnya roda ekonomi umat selama pelaksanaan muktamar.
Jika dilihat dari segi waktu, perbedaan penundaan pertama, kedua, dan ketiga seperti grafik menurun. Jika penundaan pertama terjadi hampir satu dekade (kurang lebih 10 tahun), penundaan kedua setengah dekade (kurang lebih lima tahun), maka penundaan ketiga seperempat dekade (kurang lebih 2,5 tahun dengan catatan di penghujung 2020). Jika penundaan pertama diakibatkan karena pertarungan fisik penjajahan, penundaan kedua disebabkan faktor pertarungan ideologis, maka penundaan ketiga dikarenakan pertarungan dengan wabah virus dunia.
Dua Kali Penundaan di Surakarta
Sementara itu, jika dilihat dari segi lokasi pelaksanaan, penundaan Muktamar tiga kali tersebut selalu terjadi di Jawa Tengah. Penundaan pertama terjadi di Purworkerto, penundaan kedua dan ketiga terjadi di kota yang sama, yaitu Surakarta. Ada apa dengan Surakarta? Mengapa dua kali penundaan terjadi di kota yang sama. Mungkin ilmu kriptologi bisa membantu dalam menjelaskan hal ini.
Demikianlah, semoga tulisan ini cukup membantu kita dalam memahami penundaan Muktamar Muhammadiyah serta alasan-alasan di balik kejadian tersebut. Secara lebih detail, penjelasan artikel ini juga bisa ditemukan dalam buku saya yang berjudul Paradigma Politik Muhammadiyah: Epistemologi Cara Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis (IRCISOD, 2020). Tetaplah optimis dan penundaan muktamar tersebut tidak dipandang dari kacamata politis, karena penundaan pernah terjadi tiga kali dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tabik.
Editor: Yusuf