IBTimes.ID, Hotel Arosa, Jakarta, Selasa, 19 Juli 2022 – Ketimpangan sudah berkelindan sejak masa Reformasi. Pembangunan ekonomi era Orde Baru menjanjikan kesejahteraan namun belum berhasil menggapai pemerataan. Runtuhnya rezim Soeharto meninggalkan warisan berupa ketimpangan sosial, ekonomi dan regional. Inilah yang kemudian berusaha untuk dikurangi.
Selama sepuluh tahun terakhir, penurunannya sangat kecil dan masih membutuhkan langkah panjang.
Babak baru muncul di tahun 2016 ketika Indonesia resmi mengadopsi agenda SGDs dengan harapan muncul terobosan-terobosan signifikan untuk menyelesaikan masalah ketimpangan. Namun, upaya ini mengalami beberapa kemunduran sejak pandemi. Pemutusan kontrak kerja secara masif, intensifikasi kekerasan seksual di ranah domestik, dan ketimpangan kualitas akses kesehatan antar adalah beberapa langkah mundur yang muncul selama pandemi.
Akan tetapi, ekspresi ketimpangan yang ditimbulkan pandemi lebih merupakan ekspresi lanjutan dari ketimpangan struktural yang telah ada sejak beberapa dekade silam. Di daerah, hal ini sangat terasa, salah satunya, dengan apa yang Joko Tri Haryanto dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI sebut sebagai intergovernmental fiscal transfer, yakni saat antar daerah saling melengkapi satu sama lain perihal perbedaan sumberdaya kapital yang dimiliki, baik dalam bentuk tenaga kerja, bahan mentah, jasa ataupun proses pengolahan.
Joko menjelaskan, “kalau kita berbicara ketimpangan, kita daat melihat di mana Jawa-Bali berkontribusi 58% dari GDP nasional. Sedangkan kontribusi dari Kalimantan, Sulwesi masih di bawah 10% dari GDP nasional. Di lain sisi, ketimpangan infrastruktur antara wilayah timur dan wilayah barat Indonesia masih dijumpai. Meskipun Jawa penyumbang GDP terbesar, namun Jawa juga memiliki tingkat pengangguran dan garis kemiskinan tertinggi, juga tentunya sebab tingginya populasi.
***
Salah satu jalur yang potensial untuk strategi pengurangan ketimpangan melalui bingkai SDGs adalah desa. Wilayah desa adalah wilayah pusat dan asal dari basis sosial dan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia untuk waktu yang lama. Desa mulai tergerus oleh urbanisasi dan industrialisasi saat program pembangunan ekonomi mengayun penuh di tahun 1980-an. Dampak sosial dan lingkungan amat terasa. Namun implikasi yang paling mendasar adalah munculnya ketimpangan akses sumberdaya pembangunan.
Hal ini, sebagaimana yang ditegaskan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional, Mickael Hoelman, “tidak bisa diselesaikan semata melalui redistribusi, melainkan harus melalui pemerataan kapasitas pengelolaan sumberdaya di masing-masing daerah, perlindungan kesehatan, pemerataan dan kontekstualisasi pasar tenaga kerja bagi suatu daerah.” Dengan kata lain, harus dengan pendekatan struktural.
Desa sebagai basis sosial-ekonomi masyarakat Indonesia pada dasarnya telah menerapkan prinsip-prinsip SDGs tanpa disadari. Listyowati dari Kalyanamitra menerangkan bahwa, “mandat-mandat SDGs itu telah dilakukan tanpa menyadarinya. kontribusi desa pada capaian SDGs di tingkat nasional juga tidak terekan dengan optimal. Di lain sisi, banyak pemerintah desa yang masih kebingungan dengan istilah SDGs meskipun telah dilakukan turun-temurun.”
Ada tiga poin prioritas SDGs terkait pembangunan desa, yakni pengentasan kemiskinan, kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi. Membicarakan SDGs tidak lepas dari masalah ketimpangan gender. Beberapa wilayah desa di Indonesia memiliki perempuan dengan etos kerja tinggi sehingga mereka menjadi penopang penting bagi ekonomi. Sedangkan di beberapa wilayah lain sebaliknya, dengan tambahan beban domestikasi, kekerasan rumah tangga ataupun kesengsaraan penghidupan.
Dalam konteks inilah, upaya-upaya dalam kerangka SDGs perlu untuk menyentuh masalah-masalah yang terjadi di akar rumput. Fitria Villa Sahara, Direktur Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), menggambarkan salah satu bentuk upaya yang mungkin dilakukan untuk menyentuh akar rumput misalnya, dengan mengakomodasi perempuan-perempuan korban KDRT dan janda pada kegiatan-kegiatan pemberdayaan dengan luaran sosial-ekonomi yang kongkrit.
Secara garis besar, pembangunan, ketimpangan dan perempuan saling terkait satu sama lain. Luluk Nur Hamidah menyoroti bahwa, “pembangunan infrastruktur belum tentu terhubung langsung dengan kepentingan-kepentingan perempuan dan pertumbuhan ekonomi belum tentu menyelesaikan permasalahan perempuan.”
Reporter: Ayunda N.Fikri & Tim INFID
Editor: Yahya FR