Islam Politik | Indonesia merupakan sebuah kepulauan di khatulistiwa yang terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa dan agama. Selama kurang lebih 400 tahun, kepulauan ini berada di bawah kolonial Belanda dan Jepang. Selama itulah Indonesia kehilangan kebebasan untuk menentukan ciri, arah, dan tujuannya sendiri.
Pada tahun 1928, para pemuda dan pejuang bangsa mencetuskan keinginan untuk merdeka, menentukan sendiri nasib bangsa, memiliki sebuah negara kesatuan dengan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Peristiwa yang dikenal dengan julukan “Sumpah Pemuda”. Berdasarkan semangat persatuan dan kesatuan itu, 17 tahun kemudian tepatnya 1 Juni 1945 lahirlah Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Keragaman bangsa diterima, diakui, dan dikembangkan dalam negara plural Pancasila. Dengan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia sebagai pengikat dan satu semangat persatuan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Tidak mudah menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa, mengingat berbagai perbedaan dan kepentingan setiap komponen bangsa harus diakomodir, sekecil apapun keberadaannya. Sebab, kita tidak bisa memungkiri kenyataan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia diperoleh juga melalui darah dan keringat semua elemen bangsa termasuk kaum minoritas.
Pancasila kemudian menjadi jalan keluar paling tepat untuk mempersatukan semuanya. Dalam Pancasila, ada kesatuan dari keberagaman unsur bangsa untuk kepentingan bersama, kesatuan arah, dan tujuan negara.
Sebelum Indonesia lahir, para pejuang kemerdekaan sudah mempertimbangkan kemungkinan Indonesia untuk menggunakan agama mayoritas yaitu Islam sebagai dasar negara.
Tokoh-tokoh besar dari kalangan Islam seperti Mohammad Natsir yang semula ingin mengubah negara Indonesia menjadi negara Islam melalui partai Masyumi. Namun akhirnya, beliau menerima Pancasila sebagai format yang ideal bagi bangsa Indonesia.
Hal ini dinyatakan langsung oleh Mohammad Natsir ketika berkunjung ke negara Pakistan. “Pakistan boleh mempunyai model negara Islam dan negara-negara lain boleh mendeklarasikan diri sebagai negara Islam, namun Indonesia adalah negara Pancasila yang telah disepakati oleh mayoritas penduduknya.”
Agama untuk Keutuhan Bangsa
Mohammad Hatta, Natsir, Mohammad Roem, dan beberapa tokoh Islam yang lain turut dalam diskusi persiapan kemerdekaan. Ketua Nahdlatul Ulama (NU) K.H. Wachid Hasyim yang saat itu turut dalam diskusi bahkan menyatakan bahwa, “Kebesaran agama Islam justru terlihat nyata ketika umatnya memberikan rahmat berupa kebebasan dan penghargaan bagi umat lain yang juga turut berjuang dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia.”
Islam sebagaimana semua agama adalah memebentuk masyarakat dan masyarakat ini yang membentuk negara. Bukan berlaku sebaliknya, agama langsung membuat negara, jika demikian yang berlaku maka akan menjadi negara agama. Negara agama akan berbahaya manakala mengusung pembenaran mutlak kepada satu agama.
Organisasi Islam lainnya yaitu Muhammadiyah juga mempunyai pendapat yang sama. Mempertahankan keutuhan bangsa lebih bernilai ketimbang menjadi organisasi politik.
Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan, “Muhammadiyah pernah mencoba menjadi partai politik pada era akhir pemerintahan presiden Soekarno, OTSOSPOL yakni organisasi sosial yang memiliki fungsi politik. Namun, hal itu ternyata menjadi bencana bagi Muhammadiyah dan akhirnya memutuskan untuk menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik, sementara para kadernya diberikan kebebasan sebagai warga negara untuk menyalurkan aspirasinya.”
Para pejuang bangsa Indonesia ketika itu sudah mampu membedakan antara konsep bernegara dengan keIslaman sebagai keyakinan. Walaupun sebagai seorang nasionalis, Soekarno yang merupakan presiden pertama Indonesia adalah pemimpin Muslim pertama di dunia yang melafazkan ayat-ayat suci al-Qur’an di mimbar sidang PBB pada tahun 1945.
Islam Moderat di Indonesia
Indonesia memang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam, tetapi tidak memilih untuk bernegara Islam, namun bernegara Pancasila. Hal inilah yang menjadikan Muslim di Indonesia menjadi berbeda dengan Muslim di negara Islam lainnya.
Muslim di Indonesia menjadi Muslim yang moderat, menghargai perbedaan, dan sangat toleran. Islam moderat adalah Islam yang ingin menjadikan Islam sebagai sebuah etika politik tanpa menjadi sebuah sistem politik, dan landasan nilai bagi sistem kenegaraan Indonesia sekaligus menjadi satu nilai bagi transformasi masyarakat yang mesti menerima gagasan-gagasan modernitas, dalam konteks politik adalah gagasan demokrasi dan civil society.
Jadi, Islam tidak perlu dibawa bajunya atau simbolnya, tetapi cukup dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kita telah menjumpai pasca era kemerdekaan telah muncul kelompok-kelompok yang ingin memperjuangkan negara Islam baik secara konstitusional maupun inskonstitusional melalui pemberontakan dan gerakan makar, namun pergerakan kelompok-kelompok tersebut mendapatkan penolakan dari mayoritas kaum Muslimin di Indonesia.
Mendirikan Negara Syariah Belum Tentu Punya Output Islami
Para pakar politik dan organsiasi senior pergerakan nasional berpendapat bahwa menformalkan negara syariah belum tentu akan melahirkan negara yang Islami. Namun justru mereduksi agama pada simbol-simbol kegamaan saja. Sehingga, tidak memberikan faedah yang menguntungkan.
Hal tersebut adakalanya masih menjadi perdebatan, apakah syariat Islam mesti diformalkan sebagai dasar negara atau cukup value diambil dan dicerminkan dalam kehidupan para politisi dan masyarakat umum.
Perdebatan dimulai pada tahun 1945 ketika kalimat dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang pada akhirnya dihapus.
Perdebatan tersebut akan selalu muncul ketika Indonesia mengalami masa transisi (baca: pemilu). Syariat yang diformalkan akan menimbulkan pereduksian agama pada simbol-simbol dan asosiasi dengan Arab.
Sebagai contoh pemberian nama jalan yang kearab-araban, penulisan lafaz suci yang berukuran besar. Padahal beragama bukan diletakkan pada simbol-simbol semacam itu, jika kita memahami tujuan hakiki agama.
Di antara penyakit akut yang dialami bangsa Indonesia pasca reformasi adalah munculnya upaya-upaya untuk menjadikan agama sebagai identitas, kemudian dari identitas bertransformasi menjadi ideologi, dan akhirnya face to face dengan agama-agama lainnya.
Jadi, gambaran bahwa perasaan sebagai satu bangsa yang kemudian digunakan identitas orang Indonesia akhir-akhir ini mengalami erosi yang besar karena ingin dipakai untuk identitas agama. Sehingga, yang dinomorsatukan adalah identitas agama.
***
Kemudian, direduksi lagi menjadi organisasi atau aliran tertentu. Islam dalam konsep teologis adalah satu. Tetapi, Islam sebagai ekspresi politik memiliki bentuk yang beragam (baca: banyak). Terdapat partai yang berasaskan Islam, partai yang berbasis umat Islam, dan banyak lainnya.
Tidak heran kemudian dijumpai yang dominan adalah hanya kepentingan jangka dekat. Para politisi yang membajak “Tuhan” demi nafsu-nafsu politik jangka pendek yang telah digunakan sebagai mata pencaharian para elite di tengah bangsa yang masih berusaha menemukan identitasnya.
Sebagai mayoritas, umat Muslim Indonesia perlu memiliki makna yang lebih dari sekedar memperjuangkan negara syariah (baca: khilafah). Apalagi untuk mengganti dasar negara melalui tindak kekerasan dan teror.
Isu ini telah diselesaikan oleh sesepuh agama dan pahlawan kemerdekaan Indonesia hampir 80 tahun yang lalu. Agenda politik umat Muslim Indonesia saat ini semestinya berjuang untuk memperbaiki nasib bangsa Indonesia demi masa mendatang yang lebih mencerahkan.
Tujuan utama seharusnya dalam bentuk usaha dalam mencerdaskan bangsa, mengendalikan dan memberantas keterbelakangan, menegakkan keadilan, dan mengentaskan kemiskinan.
Editor: Yahya FR