Pada tanggal 18 Oktober lalu, kalender Hijriyah sudah memasuki tanggal satu bulan Rabi’ul Awal. Sehingga, pada tanggal 29 Oktober 2020 nanti bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awal 1442 Hijriyah. Tanggal 12 Rabi’ul Awal, sebagaimana umat Islam ketahui, merupakan tanggal dilahirkannya Muhammad di muka bumi ini sebagai Nabi sekaligus Rasul terakhir pembawa rahmat bagi alam semesta.
Bulan Rabi’ul Awal juga sering disebut sebagai bulan Maulid Nabi (Kelahiran Sang Nabi), karena memang pada bulan tersebut Nabi Muhammad dilahirkan. Tentunya, bulan ini menjadi momen spesial bagi seluruh umat Islam untuk memperingati Maulid Nabi guna mengenang segala jasa dan perjuangannya.
Ketika bertepatan pada tanggal Maulid Nabi ini, sebagian umat Islam memperingatinya dengan mengadakan berbagai macam acara perayaan. Ada yang menyelenggarakan kasidahan, salawatan, dan lain sebagianya. Namun, sebagian umat Islam yang lain menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi merupakan suatu perkara yang sama sekali tidak ada tuntunannya, baik dalam Al-Qur’an maupun sunah. Lalu, sebenarnya boleh atau tidak sih merayakan Maulid Nabi itu?
Merayakan Maulid Nabi, Boleh atau Tidak?
Jika kita merujuk kepada fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, belum pernah ditemui dalil tentang perintah maupun larangan untuk menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Saw. Keterangan ini dapat dilacak dalam buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah jilid IV cetakan ketiga halaman 271-274 dan majalah Suara Muhammadiyah no. 1 tahun ke-93 1-5 Januari 2008.
Maka, Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang bahwa peringatan Maulid Nabi ini termasuk perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus larangan untuk melaksanakannya. Jika memang masyarakat memandang perlu penyelenggaraan Maulid Nabi tersebut, maka yang harus diperhatikan adalah agar jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang serta harus atas dasar kemaslahatan.
Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, perbuatan yang dilarang di sini misalnya adalah perbuatan-perbuatan bid’ah dan mengandung unsur syirik serta memuja-muja Nabi Muhammad Saw secara berlebihan, seperti membaca wirid-wirid atau bacaan-bacaan sejenis yang tidak jelas sumber dan dalilnya. Majelis Tarjih kemudian mengutip salah satu hadis Nabi Saw:
عَنْ عُمَرَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
[رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Umar ra, ia berkata: Aku mendengar Nabi Saw bersabda: Janganlah kamu memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada saya secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada Isa putra Maryam. Saya hanya seorang hamba Allah, maka katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Adapun kemaslahatan di sini, menurut Majelis Tarjih, adalah peringatan Maulid Nabi Saw yang dipandang perlu diselenggarakan tersebut harus memiliki nilai manfaat demi kepentingan dakwah Islam, meningkatkan iman dan takwa, serta mencintai dan meneladani sifat, perilaku, kepemimpinan, dan perjuangan Nabi Saw. Majelis Tarjih memberikan contoh seperti penyelenggaraan pengajian dan acara lain yang mengandung materi kisah-kisah keteladanan Nabi Saw.
***
Rasulullah Saw memang sebaik-baiknya teladan bagi umat Islam, sebagaimana yang Allah Swt firmankan dalam QS. Al-Ahzab: 21:
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَة لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Editor: Yahya FR