IBTimes.ID – Perubahan mendasar dunia global adalah sebuah keniscayaan karena temuan sains dan teknologi. Konsekuensinya adalah tren keilmuan dunia menjadi multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Transdisiplin mengandung suatu mandat bahwa Universitas harus bekerjasama dengan industri.
Kerjasama ini sudah berjalan dengan baik di luar negeri, namun di Indonesia belum banyak karena Indonesia tidak memiliki industri besar. Entah Karena tidak ada trust atau karena birokrasi yang rumit, beberapa industri justru membuat Universitas sendiri.
Hal ini disampaikan oleh Prof. Sulistyowati Irianto, guru besar Universitas Indonesia dalam peluncuran & bedah buku Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin karya Prof. Amin Abdullah pada Kamis (15/10). Bedah buku yang diselenggarakan oleh Center for Islamic Thoughts & Muslim Societies (CITMS), Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan IBTimes.ID ini dilaksanakan secara daring.
Sulistyowati Irianto menyebut bahwa ada keraguan dalam benak masyarakat untuk merespon tren pengetahuan global yang multi, inter, dan transdisiplin. Keraguan ini disebabkan oleh birokratisasi dan administrasi yang begitu rumit dari kementerian sehingga Universitas menjadi seperti kantor. Sehingga rektor menjadi hanya seperti kepala kantor.
“Buku ini menjadi sangat penting karena membuat kita mulai berpikir bagaimana merestrukturisasi atau bahkan mereformasi sistem pendidikan secara keseluruhan, khususnya pendidikan tinggi,” jelasnya.
Ia menyebut buku karya Amin Abdullah tersebut memecah kebuntuan terutama ketika pemerintah menggaungkan kampus merdeka. Buku ini menjelaskan sangat detail bagaimana pertemuan antar ilmu bisa terjadi dalam tiga hal.
Tiga pertemuan antar ilmu ini adalah saling menembus (semi-permiable), keterujian intersubjektif, dan imajinasi kreatif, termasuk konsekuensi metodologisnya. Dijelaskan dengan sangat detail bagaimana sains bertemu dengan humaniora, sains humaniora bertemu dengan ilmu agama, dan seterusnya.
“Saya setuju era monodisiplin harus diakhiri. Tembok-tembok departemen dan program studi harus tidak ada lagi. Saya terpukau karena buku ini betul-betul progresif dan cukup revolusioner,” imbuhnya.
Dalam pemaparannya, ia mengatakan bahwa ilmu agama harus dipisahkan antara agama sebagai suatu sistem keyakinan dengan agama sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan. Agama sebagai sistem keyakinan harus berada pada ranah privat dan diajarkan melalui tempat ibadah dan lembaga keluarga.
Sedangkan agama sebagai sistem ilmu pengetahuan kurang lebih sama dengan sistem ilmu sosial atau humaniora. Melihat agama sebagai ilmu yang bercerita tentang peristiwa sejarah, kultur, sosial, dan bagaimana manusia bisa membuka kunci-kunci misteri relasi dengan manusia sesama, alam raya, dan Tuhan.
Sayangnya, menurut Sulistyowati, para ilmuwan agama susah memisahkan antara keduanya. Masih banyak yang mencampuradukkan agama sebagai sistem keyakinan dan agama sebagai sistem pengetahuan dan memasukannya kedalam kurikulum agama di berbagai jenjang pendidikan.
“Buku ini membantu kita mengatasi ketercampuran itu. Sehingga kita bisa bicara tentang ilmu agama yang bertemu dengan ilmu sosial, bahkan dengan sains dan teknologi,” jelasnya.
Reporter: Yusuf