Perspektif

Perbedaan Antara Syari’ah dan Fikih

3 Mins read

Oleh: Zainal Arifin

Ada perbedaan antara Syari’ah dan Fikih dalam kajian Islam. Pemahaman masyarakat muslim seringkali keliru membedakan antara wilayah Syari’ah dan Fikih. Sehingga muncul konflik yang seharusnya bisa saling menghargai ketika perbedaan terjadi pada wilayah fikih.

Perbedaan antara Syari’ah dan Fikih

Abu Ameenah Bilal Philips menjelaskan bahwa Syari’ah merupakan (1) hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan As-Sunnah, (2) pasti dan tidak berubah, dan (3) sebagian besar bersifat umum. Sedangkan Fikih adalah (1) hukum yang disimpulkan dari Syari’ah yang merespon situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung dibahas dalam hukum Syari’ah, (2) berubah-ubah dengan situasi dan kondisi di mana diterapkan, dan (3) Fikih cenderung spesifik, yang menunjukkan prinsip-prinsip dasar Syari’ah bisa diaplikasikan sesuai dengan keadaan.

Menurut Yusuf al-Qaradhawi, Syari’ah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama atau diperintahkan oleh Allah yang berupa ibadah atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Jatsiyah [45]: 18: “Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” Sedangkan Fikih merupakan seperangkat ilmu pengetahuan hukum Islam hasil pemahaman (penafsiran) dari al-Qur’an dan hadis. Fikih juga dikenal sebagai “yurisprudensi Islam” (Sunarta). Demikian perbedaan antara Syari’ah dan Fikih menurut beberapa pakar.

Nash Qath’i dan Zhanni

Nadirsyah Hosen membedakan antara Syari’ah dengan Fikih, bahwa dalam konteks hukum Islam, makna syariat adalah Aturan yang bersumber dari nash yang Qath’i. Sementara itu, fikih adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang Zhanni. Apa yang dimaksud dengan Nash Qath’i dan Zhanni?

Baca Juga  Peganglah Fatwa Kolektif para Ulama Kredibel, Bukan Fatwa Medsos!

Nash Qath’i dibagi dua, yaitu: (1) Qath’i al-Tsubut (datangnya bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan), contohnya al-Qur’an itu Qath’i al-Tsubut karena diriwayatkan secara Mutawatir. Nash Qath’i al-Tsubut kedua adalah hadis Mutawatir, karena diriwayatkan oleh orang banyak dan tidak dimungkinkan melakukan kebohongan secara berjamaah, dan (2) Qath’i al-dilalah (makna lafalnya sudah pasti dan tidak mengandung kemungkinan makna atau penafsiran lain. Contohnya, lafal tentang kewajiban shalat, yaitu “aqimush shalah”, semua ulama sepakat akan kewajiban shalat karena dalil tersebut.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa semua ayat al-Qur’an dan hadis Mutawatir adalah Qath’i al-wurud, sedangkan tidak semua ayat al-Qur’an dan Hadis Mutawatir lafalnya Qath’i al-dilalah (Nadirsyah Hosen).

Bagaimana Pengertian Zhanni?

Lebih lanjut Nadirsyah Hosen menjelaskan bahwa Zhanni ada dua, yaitu (1) Zhanni al-Wurud (datangnya belum pasti). Selain al-Qur’an dan Hadis Mutawatir, hadis lainnya bersifat Zhanni al-Wurud. Artinya, boleh jadi ada satu ulama yang memandang sahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu sahih. Ini wajar saja terjadi karena sifatnya adalah zhanni al-wurud. (2) Zhanni al-dilalah (maknanya belum pasti). Artinya ayat Al-Qur’an maupun Hadis ada yang lafalnya membuka peluang beragam penafsiran. Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah (asing, bukan mahram) dalam keadaan wudu, kata “aw lamastumun nisa” dalam Al-Qur’an terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafal “quru” (QS Al-Baqarah [2]: 228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan Zhanni al-dalalah.

Untuk memudahkan pembahasan ini, Nadirsyah Hosen mencontohkan perbedaan antara Syari’ah dan Fikih ditinjau dari Qath’i dan Zhanni, baik al-wurud maupun al-dalalah.

  1. Kewajiban puasa Ramadan (Nash-nya qath’i dan ini syariat.)
  2. Kapan mulai puasa dan kapan Ramadan? (Nash-nya zhanni dan ini fikih.) Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, tetapi kata “melihat” mengandung penafsiran.
  3. Membasuh kepala saat berwudu itu wajib (Nash qath’i dan ini syariat.)
  4. Sampai mana membasuh kepala itu? (Nashnya zhanni dan ini fikih.)
    Catatan: kata “bi” pada wamsahuu biru’usikum terbuka untuk ditafsirkan.
  5. Riba itu diharamkan. (Nash qath’i dan ini syariat.)
  6. Apa bunga bank itu termasuk riba? (Ini fikih.)
    Catatan: para ulama berbeda dalam memahami unsur riba dan ‘illat (ratio legis) mengapa riba itu diharamkan.
  7. Menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan. (Nash qath’i dan ini syariat.)
  8. Apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (Ini fikih.)
    Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak adalah pertanyaan yang keliru. Hal itu karena yang wajib adalah menutup aurat (apakah mau ditutup dengan jilbab atau dengan kertas koran atau dengan kain biasa). Masalahnya, apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya.
Baca Juga  Sumpah Pemuda: Momen Perubahan ala Pemuda Muslim
***

Itulah perbedaan antara Syari’ah dan Fikih. Seringkali perselisihan itu terjadi di wilayah Fikih, bukan Syari’ah. Padahal, Fikih adalah wilayah penafsiran terhadap Syari’ah yang bersumberkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Maka, hukum fikih akan selalu berkembang dan berubah sesuai dengan konteks, dalam Kaidah Ushul Fikih disebutkan, “Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat dan situasi (kondisi).” Imam Syafi’i sendiri juga memiliki ijtihad yang dikenal dengan Qaul Qadim (ijtihad lama ketika beliau di Baghdad/ Irak) dan Qaul Jadid (ijtihad baru ketika beliau di Kairo, Mesir) (Mukhsin Nyak Umar)

Maka, pada masa pandemi Covid-19 ini dibutuhkan ijtihad-ijtihad fikih baru, bahasa Amin Abdullah sebagai fresh Ijtihad karena kondisi darurat, misalnya bagaimana pelaksanaan sholat Jum’at dilakukan secara virtual karena untuk menghindari kerumunan, di mana para jamaahnya berada di rumah masing-masing sedangkan imamnya berada di masjid. Penulisnya sendiri mendapatkan pertanyaan dari mahasiswi, boleh tidak menjadi imam di keluarganya sedangkan di rumahnya, sang Ayah tidak lancar membaca al-Qur’an dan dia tidak memiliki kakak (adik) laki-laki… dan seterusnya.

Dan pada akhirnya, ketika kita sudah memahami perbedaan antara Syari’ah dan fikih, maka sikap menghargai perbedaan yang kita harus dahulukan, bukan saling menyesatkan, apalagi mengkafirkan. Penulis ingat judul buku Jalaludin Rakhmat yang menggambarkan etika menyikapi perbedaan dalam fikih, yaitu “Dahulukan Akhlaq di atas Fiqih.” Artinya dalam menyikapi perbedaan masalah fikih, kita mendahulukan akhlaq untuk saling menghormati, menghargai, dan tidak saling menyesatkan.

Selengkapnya klik di sini

Editor: Arif

Admin
185 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds