Falsafah

Perbedaan Konsep Masyarakat Madani dan Civil Society

5 Mins read

Oleh: Zainal Arifin

Konsep Masyarakat dalam Al-Quran

Menurut M Quraish Shihab (2013: 421), masyarakat merupakan kumpulan sekian banyak individu yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama. Al-Quran untuk menunjuk kepada masyarakat menggunakan istilah qaum, ummah, syu’ub, dan qabail. Al-Quran menguraikan hukum-hukum yang mengatur lahir, tumbuh, dan runtuhnya suatu masyarakat atau disebut dengan sunnatullah.

Salah satu hukum kemasyarakatan terdapat dalam firman Allah: “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) suatu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka…” (QS. Al-Ra’d [13]: 11).

M Quraish Shihab ((2013: 425), dalam bukunya, Membumikan Al-Quran, menjelaskan bahwa ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah. Kedua, perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetap-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih kasih atau membedakan antara satu masyarakat/kelompok dengan masyarakat/kelompok lain.

Ayat yang senada dengan ayat di atas adalah firman Allah: “Yang demikian itu (siksaan yang terjadi terhadap Fir’aun dan rezimnya) disebabkan karena Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan kepada satu kaum, sampai mereka sendiri mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka…” (QS.al-Anfal [8]: 53).

Dalam Tafsir al-Misbah, M Quraish Shihab (2017: 232-233) menggarisbawahi dua ayat (QS. Al-Ra’d [13]: 11 dan QS.al-Anfal [8]: 53), yaitu : (1) kedua ayat berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu, karena penggunaan kata (qaum) yang berarti masyarakat, (2) penggunaan kata (qaum) menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras, dan agama tertentu, tetapi berlaku umum, khususnya terkait kehidupan duniawi (sunatullah), bukan ukhrawi, (3)  kedua ayat menjelaskan dua pelaku perubahan, yaitu: pertama adalah Allah Swt yang mengubah sisi luar (lahiriyah) masyarakat, dan kedua adalah manusia (masyarakat) yang melakukan perubahan pada sisi dalam diri mereka, dan (4) kedua ayat ini menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan ini, mustahil terjadi perubahan sosial.

Baca Juga  Empat Teori Tindakan Menurut Max Weber

Masyarakat Madani Vs Civil Society

Konsep masyarakat madani dan civil society memang seringkali dipadankan. Civil society sebagai konsep yang memiliki akar dari proses sejarah Barat, bahkan berkembang dalam pembicaraan filsafat sosial pada abad ke-18 di Eropa Barat hingga abat ke-19. Istilah civil society pada prinsipnya merujuk pada negara (state), yaitu kelompok/kekuatan yang mendominasi kelompok masyarakat lain. Namun, dalam perkembangannya, negara dan civil society adalah dua entitas yang berbeda. Adam Ferguson dan Tom Paine termasuk filsuf era pencerahan (Enlightenment) di balik ide pemisahan tersebut (Suharno, 2007: 79).

Menurut Adi Suryadi Culla (dalam Sulthon), masyarakat madani sebenarnya salah satu istilah yang digunakan untuk menerjemahkanan civil society. Padanan kata lainnya, misalnya masyarakat warga (kewargaan), masyarakat sipil, masyarakat beradab (berbudaya). Sulthon menjelaskan istilah masyarakat madani dikenalkan di Indonesia oleh Anwar Ibrahim (wakil Perdana Menteri Malaysia).

Dalam ceramahnya pada Temu Ilmiah Festifal Istiqlal (1995), Anwar Ibrahim memandang tidak ada perbedaan konsep masyarakat Madani dan civil society. Menurut Dawam Rahardjo, Anwar Ibrahim menerjemahkannya dari bahasa Arab, mujtama’ madani yang diperkenalkan oleh Naguib al-Attas. (M Sulthon, 2013: 490) Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang didasarkan kepada prinsip moral yang menjamin kebebasan individu dan kestabilan masyarakat (Ihsan, 2012: 28).

Perbedaan Konsep Masyarakat Madani dan Civil Society

Ahmad Syafii Maarif (dalam Muslih, 2010: 133-134) memandang perbedaan konsep masyarakat Madani dan civil society. Civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah gerakan Renaisans. Yaitu, gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egaliter, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.

Konsep masyarakat madani atau disepadankan dengan istilah civil society menurut Nurcholish Madjid dapat dirunut dari makna Madinah berarti kota. Seakar dengan Madaniyah dan Tamaddun yang berarti peradaban (civilization). Maka, secara harfiyah Madinah adalah tempat peradaban, atau lingkungan hidup yang beradab (kesopanan/civility), dan tidak liar.

Baca Juga  Teori Kognitif Sosial: Berpikirlah Sebelum Berbuat!

Padanan kata Madaniyah dalam Bahasa Arab adalah “hadlarah” yang berarti pola hidup menetap di suatu tempat (sedentary). Pengertian ini amat erat kaitannya dengan istilah tsaqāfah, suatu padanan dalam bahasa Arab untuk budaya (culture), tapi sesungguhnya juga mengisyaratkan pola kehidupan yang menetap di suatu tempat tertentu (Budhy Munawar-Rachman (peny.), 2019: 849).

***

Menurut perspektif Islam, civil society mengacu pada penciptaan peradaban. Kata al-din (agama) memiliki kaitan dengan makna al-tamaddun (peradaban). Kedua kata ini menyatu dalam pengertian al-Madinah (kota). Makna civil society diterjemahkan sebagai masyarakat madani, mengandung tiga hal yakni agama, peradaban, dan perkotaan. Konsep ini dapat dipahami bahwa masyarakat madani berlandaskan agama sebagai sumbernya, peradaban sebagai prosesnya dan masyarakat kota adalah hasilnya (Masroer C Jb dan Lalu D., 2016: 44).

Konsep Madaniyah dalam konteks pola kehidupan di Jazirah Arabia saat itu, yaitu pola kehidupan badāwah, bādiyah atau badw. Yaitu bermakna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad) dan tidak teratur, khususnya pola kehidupan gurun pasir. Bahkan sesungguhnya istilah itu mengisyaratkan pola kehidupan primitif. Maka, dalam Bahasa Arab, orang yang hidupnya berpindah-pindah disebut dengan badāwī atau badawī (badui, dipinjam dalam bahasa Inggris menjadi bedouin). Kata badawī antonimnya hadlarī atau madanī (Budhy Munawar-Rachman (peny.), 2019: 850).

Madīnah sebagai tempat peradaban (tamaddun) dan ketundukan (dīn) disebabkan setiap peradaban itu salah satu unsurnya adalah tunduk kepada aturan. Jika menggunakan istilah civilization (peradaban) maka artinya tunduk pada aturan hidup bersama. Sekarang populer istilah civil society, dalam bahasa Arab disebut mujtama’ madanī. Di sini bisa disimpulkan, bahwa pindahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah membawa peradaban baru yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip Islam, yang kemudian dituangkan ke dalam beberapa dokumen politik.

Dengan demikian, Madinah itu sama dengan civil society, dalam bahasa Yunani disebut polis. Dari kata polis itulah diambil perkataan politik. Nabi mengubah nama Yitsrobah (Yatsrib) menjadi Madinah atau Madīnat al-Nabī (kota Nabi) (Budhy Munawar-Rachman (peny.), 2019: 4273).

Baca Juga  Akibat Hukum: Kebaikan dan Keburukan

***

Menurut Anis Matta (dalam Masroer dan Darmawan, 2016: 44), secara terminologi masyarakat madani adalah komunitas muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah dan diikuti oleh Khalifah Ar-Rasyidin. Masyarakat madani yang dibangun pada masa Rasulullah SAW tersebut identik dengan civil society, kerena secara sosio kultural mengandung substansi keadaban atau civility.

Menurut Anis Matta, penataan negara yang digagas Rasulullah ada empat langkah, yaitu: (1) membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utama, (2) menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda (Muhajirin dan Anshar) dalam satu agama, (3) membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama komunitas lain sebagai sebuah masyarakat yang pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, dan (4) merancang sistem negara dengan konsep jihad fi sabilillah (Masroer C Jb dan Lalu D., 2016: 46)

Pluralitas masyarakat Madinah diawali dari kedatangan Muhajirin dari Mekkah ke Madinah yang mengakibatkan muncul persoalan sosial, ekonomi, dan sistem kemasyarakatan. Rasulullah bersama semua unsur penduduk Madinah meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah dengan membuat “Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah), yang dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah kemanusiaan.

***

Dalam Piagam Madinah, pertama kali manusia dikenalkan wawasan kebebasan, terutama di bidang agama, ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik (pertahanan bersama-sama). Piagam Madinah juga menempatkan hak individu menjalankan kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan, perdamaian dan kedamaian, toleransi, keadilan, dan kemajemukan (Masroer C Jb dan Lalu D., 2016: 46-47). Dengan demikian, sudah jelas terdapat perbedaan konsep masyarakat Madani dan Civil Society.

Rasulullah mempersatukan mereka berdasarkan tiga unsur, (1) hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja bersama, (2) mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan kemashalahatan secara bersama dan (3) mereka menerima Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan dilengkapi dengan institusi Piagam Madinah yang berlaku bagi seluruh umat Madinah (Masroer C Jb dan Lalu D., 2016: 47).

* Dosen Prodi MPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selengkapnya klik di sini

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds