Kedudukan Manusia adalah Sama
Perempuan dan anak adalah dua hal yang selama ini masih terasa eksklusif, kedudukan belum setara bila dihadapkan pada kedudukan laki-laki dan orang tua. Padahal dalam pandangan agama Islam, atau dalam agama lainnya, adalah sama.
Kedudukan manusia adalah sama dihadapan Allah SWT, demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mereka mempunyai hak asasi yang sama. Menjadi sebuah pekerjaan rumah bersama untuk membalikkan status perempuan dan anak yang eksklusif ini menjadi lebih inklusif.
Skenario Hidup Berbangsa
Risa Permanadeli, memaparkan bahwa skenario hidup berbangsa dalam kerangka ini kemudian menjelaskan banyak hal yang selanjutnya akan saya sebut sebagai elemen.
Pertama, pikiran tidak pernah menjadi mercusuar kehidupan bersama. Kedua, arus awal yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Indonesia selama puluhan abad, tetap hidup dengan cara dan wataknya sendiri dalam keseharian masyarakatnya.
Ketiga, kedatangan elemen baru seperti agama dan ilmu pengetahuan tidak menggugurkan hal kedua karena elemen-elemen tersebut tidak menemukan platform mental untuk menyusup menjadi bagian keseharian dan merumuskan kehadirannya sebagai common sense dalam masyarakat Indonesia.
Urban Care Semarang
Berbeda dengan Risa, dalam tulisannya Myra Diarsy mencontohkan sebuah gerakan yang dilakukan masyarakat Urban Care Semarang, yang memang didominasi oleh perempuan.
Komunitas Urban Care Semarang menggerakkan kesadaran bersama melalui gerakan membagikan bahan pangan dengan menggantungkannya di sekitar lingkungan tempat tinggal warga. Gerakan ini diberi nama Jogo Tonggo, yang dalam bahasa Indonesia berarti jaga tetangga.
Yayasan Wangsakerta Cirebon
Hal senada dituliskan oleh Wakhit Hasim , bahwa menurutnya perempuan dan anak merupakan isu yang bersifat universal. Tidak hanya di masa pandemi. Ia mencontohkan yang terjadi di Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Cirebon, Jawa Barat, berdasarkan pengamatan, memiliki situasasi sosial ekonomi dengan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Akibatnya semua aspek di dalam tatanan desa termasuk keluarga merasakan dampaknya.
Oleh karena itu, kehadiran Yayasan Wangsakerta Cirebon di tengah masyarakat desa Situpatok bertujuan untuk merevitalisasi fungsi desa melalui fungsi tanah yang dalam hal ini adalah pertanian.
Wangsakerta lebih aktif mengajak kaum laki-laki untuk kembali mengolah tanah, baik yang ditinggalkan pemilik, tanah yang bebas diolah, maupun tanah yang masih menjadi milik pribadi.
Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK)
Ema Husein, melalui tulisannya memaparkan pendapat berbeda, Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) merupakan sebuah gerakan yang lahir atas keprihatinan yang disampaikan oleh survei yang dilakukan KPK pada tahun 2012-2013 di kota Solo dan Yogyakarta.
Studi ini menyajikan fakta bahwa ternyata hanya 4% orang tua yang mengajarkan kejujuran pada anak-anaknya. Ibu sebagai basis pendidikan pertama bagi anak diharapkan mampu menanamkan nilai dan sikap kejujuran. Jika hal itu terjadi, maka akan terbentuk bibit generasi yang terbebas dari perilaku korup.
Oleh karena itu, SPAK memulai perubahan dari lingkungan terkecil yang kemudian nantinya akan berpengaruh pada lingkungan yang lebih luas. SPAK menjadi gerakan kolektif, yang menyasar perubahan cara berpikir dan pola perilaku generasi yang mulai dari lingkungan keluarga, melalui peran perempuan sebagai ibu.
Ia menggambarkan masyarakat desa Mallari, Bone, Sulawesi Selatan, memiliki kesadaran bahwa perubahan dapat dimulai dari desa.
Pemberdayaan dan Perlindungan Masa Depan Inklusif
Sementara menurut Hasan Aoni Aziz bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok rentan terdampak Covid-19 baik dari aspek kesehatan, sosial, maupun ekonomi.
Salah satunya dapat dilihat dari peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di masa pandemi. Laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Indonesia menyebut jika jumlah pengaduan kasus kekerasan meningkat lebih dari 51 persen.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online PPPA (Simfoni-PPPA), rentang 2 Maret hingga 25 April 2020, terdapat 275 kasus kekerasan perempuan dewasa dengan total korban 277 orang. Selanjutnya, terdapat 368 kasus kekerasan anak dengan korban sebanyak 470 anak.
Sehingga semestinya, pandemi Covid-19 bisa dijadikan momentum “paksa” untuk mengembalikan pasangan suami-isteri kerap berada di rumah, menata keharmonisan keluarga, dan berpeluang menjadi hari keluargaterlama sepanjang sejarah.
Anak yang selama ini dipandang sebagai objek pengaturan, dianggap belum dewasa, tidak memiliki ketrampilan dan kemampuan mandiri, terbukti mampu mengembangkan bakat dan menghasilkan berbagai kreasi di berbagai bidang.
Simpulan ini diperoleh berdasarkan pengalaman mengelola potensi dan minat anak serta ibu di Omah Dongeng Marwah (ODM) di Kudus, Jawa Timur.
Berdasarkan pengalaman di ODM, relatif berhasil melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, sekaligus berpeluang menyetarakan relasi perempuan terhadap laki-laki. Saatnya desa menjadi pusat pengembangan peradaban Indonesia di masa yang akan datang pasca pandemi Covid-19.
Kekerasan Seksual adalah Kejahatan Pandemi
Dalam tulisan yang lainnya, Diah Irawaty menekankan bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan pandemi (pandemic crime) dengan tingginya jumlah pelaporan kasus, antara lain disebabkan oleh dominasi patriarki, stigma, ketidakberdayaan ekonomi dan sosial, dan pelaku yang tidak dipersekusi.
Sistem hukum dan sosial yang tidak mendukung korban, semakin membuat korban terpuruk. Stigmasi, reviktimisasi (victim blaming), dan budaya tabu atau malu, membuat persoalan kekerasan seksual menjadi kompleks dan semakin sulit diurai.
Memberdayakan Masyarakat
Belajar dari pengalaman bersama Kalyanamitra Jakarta, saya menginisiasi program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan berbasis komunitas seperti pertemuan reguler RT, RW, arisan warga, pengajian rutin atau perkumpulan ibu-ibu, remaja masjid , dan kegiatan lainnya.
Tema yang kita didiskusikan beragam untuk memperkenalkan persolan ketidakadilan gender dan kekerasan seksual mulai kekerasan dalam masa berpacaran, kekerasan seksual, kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga sampai pada kekerasan terhadap perempuan secara umum.
Sudut pandang berbeda lagi disampaikan oleh Muniri Efektivitas Program Psikoedukasi Prevensi Intensi Pernikahan Dini lewat tulisan yang tertajuk “Efektivitas Program Psikoedukasi Prevensi Intensi Pernikahan Dini” memaparkan data terbaru 2019. Khusus Kabupaten Bangkalan, menunjukkan penurunan kurang lebih 4,33% setelah 8 tahun dengan jumlah persentase 19,8%.
Kelebihan dan Kelemahan Buku
Buku ini berisi pengetahuan untuk mencoba menjawab persoalan-persoalan perempuan dan anak, bagaimana peran dan anak dalam desa menuju tatanan Indonesia baru, strategi-strategi yang dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak di tengah pandemi Covid-19, dan strategi dan mekanisme pertahanan keluarga yang bisa dilakukan perempuan dalam rangka penanganan krisis finansial dalam keluarga akibat Covid-19.
Penggunaan bahasa yang terlalu ilmiah, barangkali bisa menjadi kelebihan dan kelemahan buku ini. Menjadi kelebihan karena dengan adanya istilah-istilah baru, pembaca dapat memperkaya kosa kata.
Sementara di lain sisi, kosa kata yang terlalu ilmiah membuat bingung bagi pembaca dari warga desa, karena mereka harus sibuk dengan mesin pencari atau harus membuka kamus.
Performa buku yang kurang mendukung konten buku pengetahuan sebagus itu, seperti kertas cover, dan kertas cetak, serta sistematika buku juga tidak tersusun dengan baik, tidak adanya bab per bab. Pendahuluan, isi atau konten, penutup merupakan kelemahan dari buku ini.
Editor: Yahya FR