Kembali bertemu bulan yang mulia, bulan Ramadhan yang selalu dicinta dan ditunggu tunggu oleh yang mengaku hamba dari Tuhan Yang Maha Esa, Allah ta’ala. Setelah 11 bulan menunggu untuk bertemu dengan bulan mulia ini, seluruh umat muslim dengan gegap gempita menyambutnya.
Kewajiban puasa Ramadhan disebutkan dalam firman-Nya:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَا مُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ۙ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 183)
Dari ayat ini dan beberapa ayat selanjutnya, menjadi dalil bahwa ketika bulan Ramadhan setiap Muslim diwajibkan untuk berpuasa. Kecuali 2 golongan yang dikecualikan, yakni yang sakit dan dalam perjalanan itupun harus menggantinya di lain hari sejumlah hari yang ditinggalkan dibulan Ramadhan atau membayar fidyah.
اَيَّا مًا مَّعْدُوْدٰتٍ ۗ فَمَنْ كَا نَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّا مٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَا مُ مِسْكِيْنٍ ۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَ نْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّـکُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Banyak sekali ritual keagamaan dalam bulan ini. Peningkatan ibadah dalam bulan Ramadhan mengalami kelonjakan tinggi karena dinilai bahwa ketika bulan Ramadhan, kadar pahala suatu ibadah akan dilipat gandakan. Tentu saja itu tidak salah jika orang-orang menjadi rajin beribadah, Ramadhan memang menjadi motivasi tersendiri bagi setiap muslim.
Bagaimana dengan Perempuan?
Sayangnya, ada saja yang menghalangi perempuan dalam peribadahan di bulan Ramadhan. Sebagian besar kaum perempuan tidak bisa merasakan dan memaksimalkan ibadah di bulan yang dirindukan ini. Hal ini dikarenakan sebagian besar perempuan mengalami yang namanya menstruasi atau haid. Perempuan yang baru saja melahirkan akan mengalami nifas. Perempuan yang masih menyusui juga kadang membuat perempuan meninggalkan kewajiban ibadah yang hanya satu tahun sekali ini dilakukan yakni puasa Ramadhan.
Hal ini menjadi pembahasan dalam Diskusi Online yang diadakan oleh Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta bersama Komnas Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dengan mengusung tema “Hak Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan; Ayat Ayat Al-Qur’an/Al-Hadist dan Kebijakan Nasional” pada hari Jum’at, 1 Mei 2020 dimulai pukul 14.00 (selengkapnya bisa dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=Cy0_FmnUk2I&feature=youtu.be)
Halangan Perempuan
Ketika peran reproduksi perempuan sedang terjadi seperti menstruasi, istihadah, mengandung, atau hamil kemudian melahirkan, nifas, dan menyusui, banyak perempuan merasa mengalami halangan dalam melaksanakan praktik ibadah di bulan Ramadhan. Seperti ketika membaca Al-Qur’an, shalat, tawaf, dan berpuasa serta yang lainnya.
Yulianti Muthmainah meyakini, tidak ada halangan perempuan haid dalam ibadah. Seperti dalam Putusan Tarjih Muhammadiyah di buku Tanya Jawab Agama Jilid II bahwa perempuan yang sedang haid tidak ada halangan dalam membaca Al-Qur’an. Pada kesimpulan dinyatakan bahwa larangan membaca Al-Qur’an bagi orang yang berhadas besar hanyalah berdasarkan etis dan kepatutan serta sebagai tanda memuliakan dan menghormati Kalamullah, karena tidak ditemukan hadits yang dapat dijadikan hujjah yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya.
Ketika shalat, jelas perempuan haid tidak boleh shalat, karena diwajibkan untuk suci dari hadas kecil dan besar. Maka sebelum mempelajari bab shalat, harus tau bab thaharah dahulu. Sedangkan tawaf adalah rukun haji yang tidak boleh dilaksanakan dalam keadaan haid sisanya bisa dilaksanakan. Dalam diskusi, dijelaskan tentang ini. Perempuan haid juga boleh berdiam diri di masjid.
Bolehkah Perempuan Haid Berpuasa?
Dalam pemahaman Yulianti Muthmainah, haid bukanlah darah kotor, namun sebagai darah sakit. Karena ketika perempuan sedang haid itu artinya dia sedang sakit. Ada perempuan yang sakit parah sampai pingsan dan lain-lain yang kadar sakitnya setiap perempuan berbeda-beda ketika mengalami haid.
Siklus haid perempuan memang berbeda beda. Maka, disimpulkan secara general bahwa jika darah di dinding rahim sudah luruh, kemudian selama 8 jam keluar terus menerus, maka itu disebut darah haid. Jika kurang dari itu atau lebih dari 15 hari dalam batasan fikih, maka darah itu dianggap sebagai darah istihadhah bukan darah haid. Jika yang keluar adalah darah istihadhah, maka perempuan itu wajib shalat dan berpuasa.
Dalam Hadis Aisyah dijelaskan perintah mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)
Dalam Hadist ini, banyak disimpulkan bahwa perempuan haid diperintahkan meninggalkan puasa dan shalat. Namun dalam puasa harus diganti. Hadis ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an tentang mengqadha puasa ketika meninggalkannya. Namun diperintahkan mengqadha juga tidak bisa diartikan perintah larangan, sebab kewajiban puasa Ramadhan sudah jelas dalam Al-Quran.
Merujuk Al-Qur’an jika dikategorikan dari 2 jenis orang yang dikecualikan dalam kewajiban berpuasa, maka haid masuk dalam kategori yang maridh atau sakit. Dalam dunia medis, perempuan haid perlu mendapatkan nutrisi yang lebih ketika darah luruh dari rahim. Islam menunjukkan rahmatnya dengan tidak mewajibkan perempuan haid berpuasa, dan itu diamini oleh seluruh ulama bahwa perempuan haid tidak wajib puasa. Ini adalah keringanan atau rukhsah perempuan dalam kewajiban berpuasa.
Dalam diskusi ini, disampaikan bahwa perempuan yang haid boleh berpuasa karena setiap perempuan memiliki kondisi yang berbeda -beda ketika mengalami haid. Ada yang sangat sakit sekali sampai harus cuti dan jelas tidak bisa berpuasa. Ada juga yang tidak sesakit itu bahkan ada yang tidak merasakan sakit sama sekali yang kalau puasapun kuat.
Dalam kewajiban puasa, ditekankan bagi setiap muslim dengan pengecualian 2 golongan, jelas bahwa tidak disebutkan pelarangan puasa kepada perempuan haid secara tekstual secara shahih. Hanya ada perintah mengqadha puasa, tidak disebutkan pelarangannya.
Hukum sholat memang benar-benar diharuskan suci. Sedangkan ketika puasa, boleh melakukan buang angin, buang air kecil dan besar, sedangkan dalam haid perempuan juga mengeluarkan darah yang luruh secara normal yang memiliki siklus sendiri.
Pendapat perempuan haid boleh melaksanakan puasa memanglah bukan pendapat yang mainstream diketahui, tapi bagus juga untuk dibahas, didiskusikan serta ditilik kembali tafsir yang sudah mapan.
Perempuan boleh puasa saat haid adalah pembacaan lain dari pembacaan yang sudah mapan, ini dianggap sebuah ijtihad. Karena berdasarkan istinbat hukum yang dasarnya dari Al-Qur’an dan hadist. Dan ijtihad sifatnya nafsi nafsi.
Karena sudah dalam ranah ijtihadi, kita tidak boleh mengatakan “saya yang paling benar” namun kita tau bahwa ketika benar, orang yang berijtihad mendapatkan 2 pahala, ketika salah mendapatkan 1 pahala karena telah berijtihad itu.
Penulis bersikap bahwa ini adalah ijtihad dari pemateri diskusi, tentu saja penulis tidak mengatakan ini salah dan ini benar, perbedaan dalam pembacaan teks tentu banyak terjadi dan itu adalah wajar. Wallahu a’lam bisowwab.