Perspektif

Perempuan, Rokok, dan Stigma Masyarakat Kita

3 Mins read

Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila*

Keberadaan perempuan sejauh ini masih dibayangi dibawah kendali logika patriarki. Kondisi demikian mengakibatkan perempuan mudah mengalami diskriminasi dalam kelompok sosial. Belum lagi jika kita hendak melihat keberadaan perempuan dalam ruang politik, sebetulnya eksistensi mereka tidak diakomodasi secara pasti dan tepat.

Hal ini menjadi persoalan serius tatkala kekerasan di rumah tangga, kekerasan di tempat-tempat umum seringkali dianggap biasa. Sementara penindasan demi penindasan semacam itu telah melukai bahkan merenggut eksistensi mereka dalam ruang dimana seharusnya mereka disetarakan.

Dalam masyarakat modern, perkembangan perilaku setiap kelompok (laki-laki dan perempuan) akan mengikuti perkembangan dan dinamika perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Di tempat-tempat umum misalnya, kita seringkali melihat sebagian perempuan merokok sama seperti laki-laki. Hal ini harus diakui sebagai bentuk perubahan perilaku yang mana harus diterima sebagai sebuah kesetaraan dalam mengekspresikan gaya hidup (life style).

Namun, kondisi seperti ini malah menjadi sebuah persoalan baru bahkan mengalami penolakan dari masyarakat yang masih menggegam nilai budaya sebagai rujukan dalam membatasi perilaku setiap individu. Dalam konteks ini, perempuan sebetulnya diperhadapkan dengan budaya masyarakat yang secara pasti akan membatasi perilaku mereka dalam hal merokok.

Di sinilah justru persoalan menjadi lebih terang dan mengesampingkan eksistensi perempuan dalam menikmati perubahan modern. Dalam situasi demikian, stigma masyarakat terhadap perempuan yang merokok akan dengan mudah dianggap sebagai manusia yang melanggar nilai budaya dan harus dikucilkan.

Persoalan ini hampir pasti telah menempatkan perempuan sebagai objek dari nilai budaya yang dapat dengan mudah membatasi perilaku mereka. Justru eksistensi perempuan sebagai manusia mengalami penindasan dibawah logika patriarki yang sama sekali buram dan tidak tepat.

Baca Juga  Apakah Penyelenggara Pemilu Juga Termasuk Jihad?

Stigma Masyarakat

Dalam banyak kasus di masyarakat, persoalan yang berkaitan dan bersinggungan dengan eksistensi perempuan sama sekali absen dari perhatian semua pihak. Di satu sisi perubahan modern akan mempengaruhi perilaku setiap individu, namun di sisi lain justru perubahan modern hampir pasti mengesampingkan eksistensi dan hak-hak dasar dari perempuan. Perempuan dilarang merokok, merupakan bentuk nyata dari kekerasan simbolik yang menempatkan hanya laki-laki yang boleh merokok. Sementara perempuan dilarang keras bahkan distigma sebagai individu yang berdosa, tidak berbudaya dan patut dikucilkan.

Perempuan di bawah tekanan masyarakat yang konservatif di samping menguatnya budaya patriarki justru menempatkan perempuan tidak lebih sebagai manusia yang harus dikendalikan dibawah kepentingan sepihak kaum laki-laki. Merujuk pada pemikiran Piere Bourdieu, dominasi maskulin semakin nampak dalam hal menundukan perempuan. Pihak laki-laki dengan sikap arogan justru semakin membawa diri ketengah masyarakat sebagai kelompok yang paling kuat dan pantas menundukan perempuan. Di sana sebetulnya keinginan mendominasi perempuan sekaligus menempatkan perempuan sebagai kelas nomor dua semakin nampak.

Pada aras ini sebetulnya ketika kelompok perempuan melakukan upaya perlawanan terhadap bentuk penindasan semacam ini, di sana stigmatisasi terhadap perempuan sebagai kelompok pembangkang semakin menguat bahkan terus digencar oleh kelompok laki-laki.

Perempuan dalam kondisi seperti ini akan dengan mudah dianggap dan ditempatkan sebagai kelompok yang tidak taat budaya dan merusak keadaban masyarakat. Sebetulnya logika dan stigmatisasi semacam ini telah menempatkan perempuan sebagai kelompok yang harus menerima keadaan. Di sana sebetulnya perempuan akan sulit mendobrak tatanan masyarakat yang masih dibelenggu dengan budaya patriarki.

Merokok bagi perempuan sebagai bentuk pengaruh modern dianggap sebagai bentuk lain yang merujuk pada keburukan. Sementara di satu sisi laki-laki merokok dianggap sebagai hal biasa dan tidak disalahkan sebagai bentuk perlawanan nilai budaya. Mirisnya, ketika perilaku merokok dianggap tabu bagi perempuan dan hal biasa pada laki-laki, anehnya dominasi dan kekuasaan sepihak laki-laki tidak disalahkan ketika merokok di hadapan perempuan.

Baca Juga  Benarkah Gerakan Mahasiswa Islam Hari Ini Sudah Mati?

Di satu sisi kita melarang perempuan merokok, namun di sisi lain kita memperlakukan mereka sebagai perokok pasif ditempat umum. Sementara perokok pasif sangat berbahaya dan mengganggu kesehatan disbanding perokok aktif.

Hal ini dalam masyarakat modern saat ini tidak pernah didiskusikan sebagai sebuah masalah. Semua pihak mengganggap bahwa ini merupakan persoalan sepele namun justru persoalan semacam ini membawa ekses yang jauh lebih berbahaya. Kekerasan simbolik yang tidak kasat mata namun pengaruhnya sangat berbahaya jika tidak disikapi secara serius akan membawa dampak yang jauh lebih buruk terutama terhadap eksistensi perempuan.

Stigma terhadap perempuan akan terus melekat selama budaya patriarki menguat dan tidak pernah dipatahkan dalam lingkungan masyarakat.

Melampaui Logika Patriarki

Dalam kondisi tertekan dengan segala macam stigma masyarakat, sebetulnya perempuan harus diberikan ruang yang sama dengan kelompok laki-laki. Dalam ruang modern, semua harus diakomodasi dan ditempatkan dalam derajat yang sama.

Dominasi maskulin merupakan bentuk nyata arogansi kelompok laki-laki dalam menguatamakan haknya ketimbang memperhatikan hak dasar perempuan. Persoalan ini terus diperluas bahkan tidak pernah berakhir tatkala logika patriarki mulai menyasar dalam lingkungan masyarakat. Pada gilirannya, perempuan akan mudah dikendalikan dibawah kepentingan maskulin.

Untuk itu, dalam masyarakat modern saat ini perempuan harus bisa melampaui budaya patriarki yang selama ini terus mengendap dalam tubuh masyarakat. Minimnya pemahaman masyarakat serta kesadaran dalam menempatkan perempuan dalam ruang yang sama merupakan titik pangkal merenggutnya eksistensi perempuan.

Bagi saya, kondisi semacam ini harus dimulai dari kesadaran bersama sekaligus upaya perempuan untuk melampaui budaya patriarki. Budaya semacam ini sangat tidak relevan dengan konteks perkembangan modern saat ini.

Pada akhirnya, selama kita terus-terusan menempatkan perempuan dalam logika patriarki selama itu pula peradaban perempuan akan mati. Kita tidak bisa hanya memahami peradaban manusia melalui satu kelompok namun perempuan punya peran kunci dalam mengusahakan terbentuknya peradaban.

Baca Juga  Memaafkan Sesama adalah Bentuk Moderasi Beragama

*) Mahasiswa Prodi Administrasi Publik di Universitas Merdeka Malang. Saat ini aktif sebagai kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Malang–Komisariat Merdeka. Inisiator Komunitas Payung Literasi (Kopalter).

Editor: Nabhan

Admin
185 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds