FeaturePerspektif

Perempuan, Seksisme, dan Media Patriarki

3 Mins read

Tertangkapnya dua aktris perempuan tidak hanya menggemparkan jagat dunia maya, melainkan juga membenarkan prostitusi terselubung, yang melibatkan sejumlah selebriti Indonesia. Sebelumnya, kita hanya mendengar hal tersebut dari desas-desus dan gosip semata. Namun, tertangkapnya dua aktris tersebut memunculkan pertanyaan terkait dengan penyebutan nama mereka oleh pihak Polda Jawa Timur; mengapa harus mengungkapkan nama sebenarnya bukan inisial? Sebaliknya, mengapa nama pengusaha yang memesannya justru menggunakan inisial R dan tidak diungkapkan jati dirinya sama dengan dua nama sebelumnya? 

Di sisi lain, alih-alih berusaha untuk mengimbangi dan menutupnya, media online kita justru memberitakan apa yang disampaikan oleh pihak Polda Jawa Timur apa adanya tanpa ada proses untuk menyaring informasi tersebut. Akibatnya, informasi yang sampai di publik tidak adil bagi dua perempuan tersebut, melainkan juga melakukan praktek seksisme, yang meminggirkan dan memarjinalkan derajat perempuan. 

Ini bukan hanya terjadi sekali. Jauh sebelumnya, tepatnya saat beredar video adegan intim salah satu mahasiswi perguruan tinggi ternama di wilayah sekitaran Jakarta, pada akhir Oktober 2017, media online meliput nama perempuan dalam video tersebut. Padahal, dirinya adalah korban. Yang seharusnya diliput dan dilakukan proses investigasi adalah orang yang menyebarkan video tersebut. 

Sebaliknya, ramai-ramai media online kemudian menyebutkan nama perempuan tersebut yang menjadi korban, tanpa menyebutkan sedikitpun pasangan mainnya dalam video tersebut. Di sini, lagi-lagi, karena itu adalah laki-laki maka tidak sebersitpun dari awak media online untuk mencari tahu identitasnya tersebut. Bagi saya, praktik seksisme yang dilakukan oleh media online ini bukan sekedar ketidaktahuan, apalagi ketidaksengajaan. 

Buramnya Batas Privat dan Publik

Lebih jauh, hal itu memiliki latarbelakang sejarah dan sosial yang panjang, membentuk ideologi tersendiri di masyarakat Indonesia dan juga awak media, sehingga meliput dengan menyudutkan perempuan sebagai objek seksisme sebagai sesuatu yang dianggap normal. Meskipun, di tengah meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia, adanya akses pendidikan bagi kaum perempuan yang memungkinkan mereka masuk ke dalam industri kerja tindakan seksisme itu seharus jauh lebih berkurang. 

Baca Juga  Pembelajaran Online vs Pembelajaran Offline

Setidaknya, saya melihat hal ini terjadi adalah dikarenakan buramnya batas privat dan publik. Meskipun secara politik kita memiliki sistem demokrasi terbuka dan langsung, yang memungkinkan setiap individu berhak untuk menyuarakan protes, keluhan, dan kritikannya di ruang publik, dalam persoalan keseharian, banyak dari masyarakat kita sulit untuk membedakan batasan mana publik dan privat. Dua hal itu seringkali bercampurbaur dan tidak bisa dibedakan. Ketidakjelasan ini berdampak terhadap banyak hal. 

Salah satu yang terlihat dari ketidakjelasan wilayah tersebut adalah munculnya acara-acara gosip di sejumlah televisi yang menyoroti secara seksama keseharian para aktris Indonesia secara personal. Bagi aktris yang terkait, hal tersebut bisa mengangkat namanya sehingga lebih populer. Namun, bagi masyarakat menonton mereka merasakan semacam sensasi keintiman di ruang publik, yang seharusnya menjadi ruang privat untuk aktris sendiri.

Kondisi ini bertambah buruk seiring dengan munculnya media sosial, khususnya dengan munculnya akun Lambe Turah di Instagram yang menghancurkan batas privat dan publik dengan menjadikan para aktris sebagai buruan informasinya. Meskipun, Lambe Turah menganggu privasi para aktris, tidak sedikit dari kita yang menikmati informasi yang disuguhkan. Praktik-praktik inilah yang menormalkan masuknya ranah privat untuk konsumsi publik yang dianggap biasa saja.  

Dominasi Patriarki di Ruang Publik

Faktor kedua yang tak kalah penting adalah kuatnya budaya maskulinitas dengan dominasi patriarki di ruang publik. Kekuatan ini tidak hanya didukung oleh praktik kebudayaan yang membadan dalam masyarakat Indonesia, melainkan juga didukung oleh interpretasi keagamaan yang menopang struktur patriarki tersebut dengan penafsiran ayat-ayat suci yang Misoginis. Akibatnya, cara pandang yang bias ini berimbas dalam banyak ranah profesi, baik itu karyawan di perusahaan, guru di sekolah, dosen di perguruan tinggi, atlit dalam olahraga, dan juga wartawan di media, baik cetak maupun online.

Baca Juga  Kuntowijoyo Meramal Industrialisasi

Dalam konteks media online, paparan riset yang dikemukakan oleh Bertha Sri Eko Murtiningsih, Maria Advenita G.E, dan S. Ikom (2017) dalam artike jurnalnya yang berjudul Representation of Patriarchal Culture In New Media: A Case Study of News and Advertisment on Tribunenews.com, mengungkapkan dengan baik bagaimana ideologi patriarki itu masih tertanam kuat dalam diri wartawan melalui liputan pemberitaannya. 

Dengan mengambil Tribunenews.com sebagai studi kasus, mereka mengungkapkan dengan detail bagaimana media tersebut melakukan proses eksploitasi terhadap perempuan dengan lima kategori kasus yang diangkat; 1) perkosaan dan pelecehan seksual; 2) objek komersial iklan; 3) perempuan dan politik; 4) citra perempuan dalam pekerja asisten rumah tangga. Tidak hanya melalui judul yang bombastis, Tribunews.com juga menyuguhkannya melalui ilustrasi gambar yang mengundang orang untuk mengklik berita tersebut. 

Pada satu sisi, dengan cara praktik seksisme semacam ini, Tribunews memang menjadi yang terdepan yang banyak dibaca oleh masyarakat Indonesia. Banyaknya pembaca akan mengundang investor untuk datang beriklan. Namun, kondisi itu tidak memberikan ruang pembelajaran dan refleksi untuk masyarakat atas setiap berita yang disuguhkan. Ironisnya, pola pemberitaan semacam ini justru makin meminggirkan dan melanggengkan perempuan sebagai objek kekerasan, baik fisik ataupun simbolis. 

Dengan demikian, meminimalisir praktik seksisme sebenarnya tidak sulit, meskipun itu bukan pekerjaan yang mudah. Di tengah kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat Indonesia melalui beragam macam praktek dan contohnya, media online sebenarnya bisa memulai untuk membantu menghilangkannya, yaitu dengan cara membuat pemberitaan yang seimbang sebagaimana selama ini menjadi nafas advokasi tumbuhnya media dan memiliki kesadaraan dan kepekaan terhadap jender saat meliput dan membuat berita. 

Jika inisiatif ini tidak bisa dilakukan, lalu kepada siapa kita berharap di tengah kuatnya konservatisme agama yang meminggirkan perempuan sekaligus para politikus yang hanya mementingkan suara dalam pemilihan legislatif dan pilpres?

Baca Juga  “Berdamai dengan Covid-19” atau Bunuh Diri Massal?

[zombify_post]

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Feature

Sebuah Panduan Lengkap Bagi Kamu yang Ingin Nikah Beda Agama di Hongkong!

9 Mins read
“Kami bukan pasangan kaya raya dan berkecukupan. Tetapi, kebijakan negara yang diskriminatif untuk pasangan beda agama, menjadikan kami nekat dan bertekad menikah…
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds