Saya terperanjat kaget ketika membaca berita yang mengabarkan bahwa seorang suami dan istri bercerai di usianya yang sudah sepuh, 70 tahun! Sebenarnya kan mereka menikah tahun 1960 atau 1970an. Artinya, sudah setengah abad mengarungi bahtera rumah tangga! Bahkan mungkin sudah memiliki cucu-cucu yang lucu-lucu.
Masalahnya ada di mana? Belajar memahami satu sama lain dalam bingkai perkawinan (tasa’alu), ternyata belum tentu mampu menemukan apa itu cinta (arham). Bahkan, mereka yang tidak bercerai sekalipun sampai akhir hayatnya, tidak memiliki jaminan bahwa mereka memahami hakikat cinta.
Bagaimana jika menikah ketika masih bau kencur (belasan tahun), lalu juga sudah biasa mengumbar dan terumbar kata-kata romantis “I love you?” bahkan sebelum menikah? Saya kira agak sulit membedakan antara nafsu (birahi dan memiliki) dengan jatuh cinta setengah mati (isyq; cinta buta, rindu, dendam). Cinta itu, eksistensial. Tidak gampang diraih secara sembarangan.
Yang sembarangan adalah tiba-tiba menyebut bahwa alasan menikah adalah untuk mengindari zina. Artinya, sejak awal sudah “nawaitu” untuk meledakkan gejolak seksual yang dimiliki. Nah, bagaimana kalau tetap tidak puas dan malah jelalatan? Ini benar-benar masalah rumit.
Yang dilihat para pria muda hanyalah wajah cantik nan menawan, bodi aduhai, dan kepribadian yang lumayan. Akan menjadi nilai plus jika memiliki status sosial yang baik. Hal ini pula yang menjadi penilaian para wanita (wani pranata) muda, ketika melihat lawan jenisnya. Sama-sama berorientasi pada dorongan libidinalitas dan asesoris sosialnya.
Lantas bagaimana dengan tujuan pernikahan untuk meraih ketenangan lahir batin, cinta, dan kasih sayang? Apakah kawula muda sudah cukup matang dan siap untuk itu semua? Belum tentu.
***
Karena itulah, wahai para perempuan sejati, janganlah galau dan dimabuk kepayang jika mendapat gombalan dahsyat dari para lelaki yang belum merasai pahit manis kehidupan. Niscaya mereka itu (para lelaki) sebenarnya tak paham atas apa yang diucapkannya. Atau, mengklaim dirinya paham, padahal sebenarnya gemar terburu-buru dan bersikap agak ceroboh. Kalau sudah keliru, mereka akan bilang, “Maklum anak muda.” Hati-hati, buaya darat dan ular pemangsa, sama-sama ganasnya.
Jika orang-orang tua yang merasakan asam garam hidup ini dianggap “masih belajar bersikap bijaksana”, bagaimana dengan mereka yang usianya masih terlalu belia? Apakah mereka mampu berteguh demi meraih sakinah, mawaddah, wa rahmah? Tentu umumnya masih jauh dari hikmah; dari itu semua. Yang ditonjolkan lebih merupakan dorongan nafsu, emosi, dan ego diri yang keras bak batu.
Nabi Muhammad Saw. pernah menasehatkan bahwa, “Wahai para pemuda (dan pemudi tentu saja), tatkala engkau sudah cukup matang dan mampu (bijaksana), menikahlah. Sesungguhnya hal itu menundukkan pandanganmu dan mengendalikan birahimu. Namun, apabila engkau merasa belum memenuhi kriteria, maka berpuasalah (kekanglah hawa nafsumu).”
Nasehat Nabi tersebut, tidak ada hubungannya dengan “daripada berzina.” Nasehat Nabi sangat berat kaitanya dengan mempersiapkan kematangan diri dan kemampuan bersikap bijaksana. Terutama pada kata-kata “… Apabila engkau merasa belum memenuhi kriteria, maka berpuasalah.”
Artinya, kita disarankan untuk menempa diri dan berlatih sungguh-sungguh, hingga pada saatnya nanti kita benar-benar siap dan mampu.
Rasulullah sendiri sebenarnya menikah di usianya yang cukup matang. Beliau, pada pernikahannya yang pertama, dengan Sayyidah Khadijah justru terbimbing. Ketika itu, usia Rasulullah lebih muda ketimbang usia istrinya yang jauh lebih matang. Artinya, keduanya sebagai suami dan istri, saling mengisi satu sama lain, sehingga kehidupannya menjadi lebih sempurna. Tidak heran, dalam konteks ini, pernikahan dianggap sebagai separuh agama, atau penyempurna agama.
***
Titik tekan dari sejarah kehidupan Nabi dan nasehat beliau mengenai perkawinan, adalah kematangan psikis, mentalitas positif yang kuat, dan kepribadian yang unggul. Ketiganya adalah modal untuk memupuk kebijaksanaan. Dan kebijaksanaan, adalah jalan menuju saling pengertian, komunikasi terbaik dari hati ke hati dan pada akhirnya, menjadikan hidup lebih seimbang, tenang, dan damai. Segala pencapaian tersebut, semakin lama akan menumbuhkan pohon kasih sayang, dedaunan cinta, dan buah kebahagiaan sejati.
Sebenarnya, zina tidak mengenal status apakah seseorang telah menikah atau belum. Zina memungkinkan terjadi pada mereka yang sudah menikah maupun yang belum. Zina, dalam hal ini, lebih berkaitan dengan masalah keteguhan menahan diri. Atau, kemahiran menghentikan segala dorongan syahwat. Dan orang-orang yang bijaksana, tentu terjauhkan dari segala pikiran dan perbuatan nista tersebut. Sebagaimana kata Alquran, “Jauhilah perbuatan zina. Karena hal itu adalah jalan yang buruk.”
Jika kita menikah muda, lantas tetap tidak mampu mengendalikan diri, maka zina bisa saja terjadi. Bahkan, hal yang buruk ini bisa membawa kepada jurang perceraian. Perceraian yang menyakitkan merupakan hal yang sangat tidak diinginkan oleh siapapun yang membina rumah tangga. Kata Nabi, Allah sendiri meskipun memperkenankan perceraian, hal itu sangat dibenci.
Apa yang seharusnya kita lakukan adalah mempersiapkan diri agar memiliki kematangan jiwa, kesiapan finansial, dan kebijaksanaan. Ketika itu semua sudah kita miliki, maka kita sudah siap untuk menikah. Di dalam pernikahan kita nanti, mahligai rumah tangga yang kita bina harus mendatangkan segala hal yang membahagiakan di bawah naungan agama Allah yang luhur ini.
***
Bagi kawula muda yang merasa memiliki kesiapan, sebaiknya mematangkan terlebih dahulu persiapan yang dimiliki. Hal ini akan menciptakan kondisi yang lebih baik. Tidak perlu ngotot menyatakan bahwa pernikahan yang terburu-buru lebih baik daripada zina. Atau menyebut bahwa nikah muda adalah perisai zina. Hal itu sesungguhnya tidak dapat dibenarkan.
Ketika pada pernikahannya yang berikutnya, Nabi memiliki kesiapan yang lebih matang. Nabi memiliki kebijaksanaan yang lebih tinggi karena usianya sudah tidak lagi muda, tetapi pas. Karena itu, Nabi bukan sekadar berperan sebagai suami bagi Aisyah, namun juga pembimbing yang bijaksana. Dalam hal perkawinan, maka teladan terbaik adalah Nabi.
Persiapan yang lebih konkrit yang harus dimiliki oleh para pemuda adalah memiliki kematangan jiwa, kebijaksanaan, memiliki pekerjaan yang mengamankan keperluan finansial, dan akan menjadi nilai tambah jika memiliki tempat bernaung (rumah). Syukur alhamdulillah jika memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, sehingga wawasannya luas dan mendalam. Dengan begitu, akan membantu dalam menjalin komunikasi rumah tangga.
Saya yakin, para calon mertua lebih memilih para pemuda atau pemudi yang matang, mapan, dan memiliki kesiapan merajut rumah tangga. Karena mereka ingin anak-anak mereka diserahkan ke tangan yang tepat. Yakni, tangan yang mampu membahagiakan di dunia dan akhirat.
Sebagai penutup dari tulisan ini, alangkah baiknya jika kita menahan diri mengklaim bahwa menikah muda menghindarkan kita dari zina. Hal yang lebih penting lagi adalah kita yang belum berumah-tangga sebaiknya mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh segala hal yang diperlukan untuk menikah. Ketika mempersiapkan diri, hal yang lebih utama bagi siapa saja yang belum menikah adalah berpuasa.