Feature

Perjuangan Hidup Melawan Modernitas

4 Mins read

Di suatu kunjungan ke Purwokerto, saya bertemu dengan aktivis yang memilih untuk menepi di ujung gunung, kemudian melakukan aktivisme sosial dari pedesaan. Mereka menghilang dari hiruk pikuk perkotaan, tidak mengikuti jejak aktivis yang lain yang berkerumun di sekitar istana, layaknya semut mengerumuni gula.

Seketika penulis teringat dengan perkataan Nabi bahwa di akhir zaman, yang paling aman bagi manusia adalah lari ke gunung kemudian menggembala kambing, dan makan dari hasil ternak tersebut. Entah disengaja atau tidak, yang jelas ada irisan antara perkataan Nabi diatas dengan kehidupan mereka.

Mereka kemudian mendirikan Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Organik, yang aktivitas utamanya adalah kegiatan intelektual dan pertanian. Pertanyaan yang langsung muncul dalam benak saya, melihat aktivisme seperti itu adalah bagaimana kita menghadapi kemajuan zaman yang begitu pesat.

Ketika Harari, Pinker, dan Renald Kashali sudah berbicara disrupsi, artificial intelligence, internet 5G, dan lain-lain, justru kita menepi ke gunung-gunung untuk membangun dari desa. Dan pembangunan yang dilakukan juga bukan pembangunan infrastruktur, namun pembangunan sumber daya manusia.

Merekapun mengenalkan bermacam-macam pandangan tentang modernisme. Apa yang dimaksud dengan modern, apa itu realitas, apa maksud pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya. Secara tidak langsung hal ini mengingatkan saya pada kritik Herbert Marcuse terhadap modernitas.

Masyarakat Teknologi

Modernitas tidak bisa lepas dari teknologi. Sedangkan masyarakat teknologi ini penuh dengan masalah. Menurut Marcuse, ciri-ciri masyarakat teknologi yang pertama adalah bahwa peran manusia tidak terlalu penting. Justru yang lebih penting adalah teknologi itu sendiri.

Teknologi tidak melayani manusia, namun manusia yang menjadi budak dari teknologi. Manusia modern melihat orang lain dari komoditas yang ia pakai. Nilai orang sekarang tidak lagi terletak pada pribadinya, namun terletak dari baju apa yang dipakai, kendaraan apa yang dinaiki, dan smartphone apa yang ia gunakan. Dan itu kita jadikan standar kemuliaan manusia yang lain.

Baca Juga  Samudera Keilmuan Gus Dur

Kedua, kemanusiaan kita menjadi teralienasi. Sisi kemanusiaan menjadi asing hari ini. Individualitas menggantikan keintiman, keakraban, ketulusan, dan nilai-nilai manusiawi yang lain. Dalam bahasa Kuntowijoyo, ini disebut dengan reifikasi, pembendaan manusia. Manusia tidak lagi dianggap sebagai manusia, namun hanya dianggap sebagai benda, sesuai dengan nilai komoditas yang dimiliki. Ciri kedua ini sekaligus menjadi akibat dari ciri yang pertama.

Ketiga, tujuan hidup manusia dikondisikan oleh teknologi yang menguasai kehidupan manusia. Teknologi mengarahkan tujuan hidup manusia. Tujuan hidup yang awalnya dilayani oleh teknologi, justru berubah. Tujuan hidup sekarang adalah memiliki teknologi itu sendiri.

Akibatnya, manusia tidak dapat lepas dari teknologi. Misalnya, ada seorang anak yang awalnya terbiasa hidup tanpa smartphone, kemudian ia dibelikan smartphone dan menggunakannya selama satu tahun. Setelah satu tahun, smartphone itu diambil dari dirinya.

Maka, dapat dipastikan bahwa ia akan merasa sangat kehilangan, karena ketergantungan terhadap teknologi sudah sedemikian tinggi, sekalipun fungsi komunikasi bagi dia sebenarnya tidak terlalu penting. Padahal, satu tahun sebelumnya, ia terbiasa hidup tanpa smartphone, dan ia bisa hidup dengan baik-baik saja, tanpa tertinggal info apapun.

Marcuse juga mengkritik Marx bahwa bukan kebutuhan nyata manusia yang menentukan proses produksi, melainkan kebutuhan itu sendiri diciptakan supaya hasil produksi laku. Kita membeli smartphone bukan karena kebutuhan akan fitur-fitur canggih yang ada di smartphone, melainkan fitur-fitur itu diciptakan dan dibuat seolah-olah kita membutuhkan, agar produk itu laku.

Termasuk kemudian produk-produk fashion, kendaraan, alat-alat kecantikan, alat-alat mandi, parfum, makanan, dan lain-lain. Kebahagiaan yang ditawarkan oleh industri ternyata adalah kebahagiaan semu, karena tidak membawa manusia kepada kebahagiaan dan kesenangan, melainkan membuatnya tergantung dari semakin banyaknya benda. Semakin banyak kita memproduksi barang-barang modern, semakin kita tergantung terhadapnya, bukan semakin bahagia dan tenang.

Baca Juga  Tiga Ciri Islam Berkemajuan Menurut Millenial

Manusia modern digerakkan oleh hasrat konsumtif, dan manusia mati-matian untuk memenuhi hasrat itu. Kebutuhan makan dan minum yang sebenarnya dapat kita penuhi dengan uang Rp. 10.000,- per porsi, karena hasrat konsumtif, harus kita penuhi dengan uang Rp. 100.000,- di kafe mewah. tas seharga Rp. 100.000,- dengan fungsi yang standar, atas nama hasrat konsumtif, tidak dibeli.

Manusia modern memilih tas dengan harga 30 juta. dan seterusnya. Padahal, secara fungsi, kedua barang atau makanan diatas kurang lebih sama. Sehingga, manusia modern bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan untuk memenuhi hasrat konsumtif.

Contoh lainnya begini. Karena bekerja merupakan hal yang melelahkan, akhirnya manusia butuh liburan. Sebagian uang hasil bekerja mereka habiskan untuk berlibur. Setelah mereka kehabisan uang karena berlibur, mereka mencari uang lagi dengan cara bekerja. Karena terlalu penat bekerja, mereka butuh berlibur. Setelah uang habis untuk berlibur, mereka bekerja lagi. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Rasio Reflektif & Instrumental

Manusia modern juga menjadi manusia yang rasional dalam detail, irrasional dalam hal umum. Detail-detail teknologi adalah hal yang sangat rasional. Namun, dalam makna kehidupan, tujuan hidup, dan visi hidup, manusia modern menjadi irrasional.

Teknologi dirumuskan oleh ilmuwan dengan rasio instrumental, yaitu rasio yang berpijak pada pertanyaan “bagaimana?”. Perkembangan teknologi yang begitu masif ditopang oleh rasio ini. Karena pertanyaannya adalah bagaimana, maka jawabannya selalu bersifat teknis.

Sedangkan rasio reflektif, yang berada diatas rasio instrumental, berpijak pada pertanyaan “apa?” dan “mengapa?”. Manusia modern tidak terlalu akrab dengan pertanyaan ini karena kontraproduktif dengan pencapaian ekonomi dan kemajuan teknologi. Karena itu, filsafat dan ilmu-ilmu keagamaan yang ciri khasnya menggunakan rasio reflektif tergusur dalam peradaban modern. Contoh sederhananya, perusahaan besar mana yang membuka lowongan untuk lulusan Fakultas Filsafat & Fakultas Agama?

Baca Juga  Pilpres 2019, Umat Islam sebagai Penentu?

Padahal, rasio reflektif adalah ciri khas manusia, yang menjadikan hidup manusia menjadi bermakna. Di sinilah dapat kita lihat dengan jelas bahwa manusia modern mengalami penurunan berfikir karena tidak memiliki rasio reflektif yang baik, sekalipun ekonomi & teknologi berkembang dengan pesat. Rasional dalam detail, irrasional dalam umum.

Maka, menjadi penting bagi manusia modern untuk melakukan refleksi diri. Bahwa banyak sekali yang salah dari peradaban kita. Kini sudah saatnya untuk melakukan perbaikan di muka bumi dengan cara menolak pembangunan infrastruktur yang merusak lingkungan dan alam.

Betapa mengerikan banjir dan longsor yang terjadi di berbagai daerah, yang diakibatkan oleh pembangunan yang rakus. Sehingga, merawat bumi dengan cara kembali ke alam adalah suatu hal yang sangat rasional untuk memperpanjang usia bumi.

Agar anak cucu kita tidak makan batu, namun tetap makan beras dari sawah-sawah yang kita rawat. Perjuangan yang dilakukan oleh Padepokan Filosofi & Pondok Tani Organik adalah perjuangan kemanusiaan. Mereka sangatlah rasional, dimana rasional adalah salah satu ciri modernitas.

Editor: Yahya Fathur R
Avatar
113 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds