Nama Siti Walidah mungkin masih asing bagi beberapa orang. Sosoknya memang jarang diketahui, namun terdapat banyak hasil dari kerja kerasnya yang berperan penting untuk negeri ini. Nama Siti Walidah sangat melekat dengan Muhammadiyah, yang mana Kiai Haji Ahmad Dahlan-lah sang pendiri dan pencetus dari organisasi tersebut.
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H) di kampung Kauman, Yogyakarta. Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha Kiai Haji Ahmad Dahlan memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi oleh hal-hal mistik.
Pada awalnya kegiatan Muhammadiyah berupa pengajian Sidratul Muntaha, yang dilakukan untuk dakwah kepada kaum wanita dan para pemuda. Muhammadiyah juga berperan dalam pendidikan diIndonesia melalu pendirian beberapa sekolah dan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dan masih banyak lagi peran Muhammadiyah dalam bidang lain, seperti kesehatan dan sosial.
Biografi Siti Walidah
Siti Walidah lahir pada 3 Januari 1872 di Kauman, Yogyakarta. Beliau adalah seorang putri dari seorang ulama. Ayahnya bernama Kiai Haji Muhammad Fadli. Selain sebagai seorang ulama, ayahnya juga merupakan anggota Kesultanan Yogyakarta, yang merupakan daerah bertempatnya tokoh agama dari keraton.
Siti Walidah bersekolah di rumahnya sejak kecil sampai menginjak usia remaja dengan diajarkan berbagai aspek tentang Islam. Termasuk bahasa Arab dan Al-Qur’an, serta membaca Al-Qur’an dalam naskah Jawi. Beliau tidak merasakan pendidikan umum, karena pada zaman dahulu, pendidikan formal hanya untuk laki-laki.
Siti Walidah merasakan bahwa kaum perempuan mengalami keterbelakangan dalam dunia pendidikan. Sehingga beliau bertekad untuk mencarikan solusi agar kaum perempuan dapat memiliki masa depan yang lebih baik dan maju di kemudian hari.
Setelah menginjak usia dewasa, Siti Walidah menikah dengan sepupunya, yaitu Kiai Haji Ahmad Dahlan. Hal tersebut menjadi alasan mengapa Siti Walidah dijuluki sebagai Nyai Ahmad Dahlan. Dalam pernikahannya dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan, beliau dikaruniai enam orang anak.
Setelah beliau menikah, bukan berarti perjuangannya untuk memajukan kaum perempuan berhenti. Tetapi Siti Walidah semakin semangat untuk meneruskan tekadnya tersebut bersama suaminya, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Terlebih lagi ketika organisasi Muhammadiyah telah didirikan.
Siti Walidah dan Kiai Haji Ahmad Dahlan memberikan perhatian lebih kepada kaum perempuan, yaitu dengan mendirikan dua organisasi yang menjadi wadah untuk kaum perempuan. Di antaranya ada Sopo Tresno (Siapa Cinta) pada tahun 1914, Wal ‘Ashri, dan Maghribi School.
Siti Walidah, Penggagas Wadah Organisasi untuk Kaum Perempuan
Berdasarkan yang dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dinamakan Wal ‘Ashri karena untuk proses pengajarannya dilakukan waktu sesudah salat Asar, dan Maghribi School dilakukan setelah salat Magrib. Organisasi yang didirikannya tersebut dibentuk untuk memberikan pendidikan agama sekaligus pendidikan sosial, dan bagaimana cara berhubungan atau berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Sopo Tresno semakin berkembang pesat dan mengalami banyak kemajuan. Siti Walidah bersama suaminya, Kiai Ahmad Dahlan dan beberapa pemimpin Muhammadiyah lainnya, membahas mengenai peresmian Sopo Tresno sebagai kelompok perempuan.
Akhirnya, pada tanggal 21 April 1917, Sopo Tresno berubah menjadi organisasi bernama Aisyiyah. Nama tersebut merujuk kepada nama istri Nabi Muhammad saw., yakni Aisyah bin Abu Bakar.
Pada hari itu juga merupakan hari diresmikannya organisasi Aisyiyah, dengan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan sebagai kepala. Di mana Aisyiyah bisa menjadi wadah atau suatu organisasi para perempun yang cerdas serta dapat selalu berjuang dalam dunia pendidikan. Lima tahun kemudian, organisasi Aisyiyah menjadi bagian dari organisasi yang didirikan oleh suaminya, Kiai Haji Ahmad Dahlan, yaitu Muhammadiyah.
Melalui organisasi Aisyiyah, Siti Walidah mendirikan beberapa sekolah putri. Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Kiai Haji Ahmad Dahlan, yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah.
Selain itu, didirikan juga asrama putri serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi kaum perempuan. Semakin banyaknya tanggapan positif dari masyarakat terhadap organisasi Aisyiyah, Aisyiyah semakin menggiatkan amal usaha yang dilakukan untuk melayani dan memberikan pendidikan kepada masyarakat. Di antaranya, Aisyiyah mendirikan sekolah taman anak-anak pertama di Indonesia dengan nama Frobel pada tahun 1919.
Kemudian, Aisyiyah membuat program memberantas buta huruf pertama di Indonesia, baik huruf Arab maupun Latin pada tahun 1923. Selanjutnya pada tahun 1928, memelopori Kongres Wanita Pertama. Dan mendirikan sekolah dasar untuk perempuan dengan nama Volk School (sekolah dasar tiga tahun).
Tokoh Pejuang Emansipasi Wanita
Setelah Kiai Haji Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Beliau merupakan wanita pertama yang memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Aisyiyah, organisasi yang didirikan Siti Walidah membuat cabang-cabang lainnya di pulau-pulau lain di Nusantara.
Siti Walidah atau yang biasa dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan ini terus memimpin Aisyiyah sampai 1934. Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah meninggal pada pukul 01:00 siang di Kauman, Yogyakarta, 31 Mei 1946 pada umur 74 tahun. Dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta.
Nyai Ahmad Dahlan adalah wanita yang turut berjuang untuk memajukan negeri ini melalui pendidikan yang diberikan kepada kaum perempuan. Beliau juga sekaligus tokoh emansipasi wanita yang membebaskan kaum perempuan dari kebodohan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Selain itu, beliau juga telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 042/TK/1971, 22 September 1971. Dikutip dari situs aisyiyah.or.id, semasa aktif di Aisyiyah, Siti Walidah dikenal sebagai tokoh perempuan yang memiliki pergaulan luas dan terlibat di ranah publik.
Editor: Zahra