Fikih

Perkembangan Mazhab Fikih dalam Lintas Sejarah

3 Mins read

Mazhab adalah Jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan Hadis. Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber hukum, para ulama telah merumuskan suatu metode cara pengambilan hukum yang proses tersebut kemudian disebut dengan Uṣhul Fiqh.

Hasil penggalian hukum melalui ilmu Uṣhul Fiqh kemudian melahirkan sebuah petunjuk pelaksanaan suatu ibadah secara praktis yang kemudian dikenal dengan fikih. Perbedaan pelaksanaan fikih ibadah yang terjadi di tengah-tengah umat merupakan seuatu yang tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan hukum Islam.

Pembagian Mazhab

Pengkajian dalam hukum Islam kemudian melahirkan beberapa mazhab fikih yang merupakan salah satu bentuk luasnya khazanah ilmu-ilmu Islam. Secara umum, mazhab terbagi dua, yaitu Mazhab Sunni dan Mazhab Syi’ah.

Di kalangan Sunni terdapat empat mazhab yang terkenal, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Adapun di kalangan Syi’ah terdapat dua Mazhab fikih yang terkenal, yaitu mazhab Zaidiyah dan Ja’fariah. Namun, yang masih berkembang sampai saat ini hanyalah Mazhab Ja’fariah dan Syi’ah Imamiyah.

Lahirnya mazhab fikih ini merupakan bentuk respons dalam menjawab kebutuhan umat untuk memahami hukum Islam. Hukum-hukum tersebut disiapkan sebagai langkah mengantisipasi berbagai permasalahan baru yang ada dalam kehidupan umat Islam.

Kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh Imam-imam Madzhab, awalnya hanya memiliki tujuan untuk memberikan upaya dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapi. Bukan hanya itu saja, berbagai persoalan hukum yang belum ditemukan jawabannya dalam Al Qur’an dan As-Sunnah juga berusaha dipahami oleh para imam.

Perbedaan di tengah-tengah umat dalam memahami ajaran Islam yang sebenarnya sudah terjadi sejak masa para sahabat. Hal tersebut terjadi karena pengetahuan para sahabat dalam memahami hadis tidak sama, pandangan dalam memahami dasar penetapan hukum berbeda.

Baca Juga  Sastra dalam Fikih Islam, Halal atau Haram?

Para sahabat pun sudah menyebar ke berbagai negeri, sehingga kesempatan untuk bermusyawarah dalam satu majelis mengalami kesulitan. Kemudian, masa tersebut dilanjutkan dengan masa tabi’in dan setelah itu munculah masa Tabi’ut al-Tabi’in.

Dalam periwayatan sejarah dijelaskan bahwa masa Tabi’ut al-Tabi’in dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, saat pemerintahan Islam dipegang oleh Bani Abbāsiyyah.

Periode Bani Abbāsiyyah dikenal sebagai periode kegemilangan ilmu Pengetahuan, termasuk dalam fikih Islam. Kelahiran berbagai mazhab fikih dengan pola dan karakteristik masing-masing menyebabkan timbul perbedaan pendapat dan beragamnya hasil hukum yang digalinya.

Para Imam seperti Abū Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan yang lainnya. Tentu masing-masing menawarkan berbagai macam teori, kaidah-kadiah ijtihad, dan metodologi yang menjadi pijakan mereka dalam menentukan suatu hukum.

Mazhab dalam Perkembangan Zaman

Seiring perkembangan zaman, adanya mazhab-mazhab fikih dalam Islam menimbulkan problematika di kalangan orang awam yang fanatik terhadap mazhabnya sendiri. Sehingga timbul kerenggangan sesama umat Islam yang dilandasi karena perbedaan mazhab.

Berkaitan dengan hal tersebut, timbul juga dari beberapa kalangan untuk menyamakan satu mazhab dalam satu wilayah, termasuk dalam satu negara.

Apabila ditelurusi melalui sejarah, sebenarnya ide lahirnya mazhab fikih negara telah disampaikan oleh Ibn al-Muqaffa pada masa Abbāsiyah. Dia Menyampaikan ide tersebut kepada kepada Khalifah Abū Ja’far al-Manṣur dalam suatu risalah yang disebut Risālah al-Ṣahabah.

Dalam risalah tersebut dijelaskan latar belakang perlunya taqnin dalam bidang hukum Islam karena keprihatinan akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan mazhab yang dapat menimbulkan perpecahan.

Saran tersebut direspons oleh Ja’far dengan meminta kesediaan Imam Malik bin Anas untuk menyusun kodifikasi hukum Islam dan memberlakukannya untuk semua umat Islam.

Baca Juga  Abid Al-Jabiri: Tiga Problem Besar dari Khilafah

Permintaan yang pertama akhirnya dikabulkan oleh Imam Malik dengan Menyusun kitab al- Muwaṭṭa, sedangkan permintaan yang kedua ditolaknya secara halus. Permintaan tersebut kemudian diulangi lagi oleh khalifah berikutnya yaitu Harun al-Rasyid, tetapi sang Imam tetap pada pendiriannya.

Berdasarkan sikap Imam Malik tersebut dapat dipahami, bahwa beliau sangat memahami betul dalam memahami ajaran Islam tidak mesti dipaksakan oleh satu pemahaman. Sebab, perbedaan yang ada di tengah-tengah umat merupakan salah satu bentuk rahmat dan khazanah kekayaan ilmu-ilmu Islam.

Tahapan Perkembangan Fiqih

Abu Ameenah Philips dalam bukunya membagi perkembangan Fikih secara tradisional dibagi dalam enam tahap: (1) Masa Fondasi, (2) Masa Pembentukan, (3) Masa Pembangunan, (4) Masa Perkembangan, (5) Masa Konsolidasi, (6) Stagnasi dan Kemunduran. Masa-masa tersebut mempunyai ciri khasnya masing-masing.

Tahapan masa yang tertulis di atas, menjelaskan bahwa sebenarnya mazhab ini berhubungan dengan fikih, pada masa pertama Nabi Muhammad Saw dan masa kedua, istilah fiqih belum begitu dikenal perbedaaannya dengan ‘ilmu, meski dalam masa pra-Islam, fikih berbeda dengan ilmu.

Dalam arti yang luas, kedua kata ini dapat dipertukarkan pemakaiannya. Namun fikih tidak pernah kehilangan intelektualnya.

Editor: Fakhri Ilham S

Khuriyatul Aqliyah
3 posts

About author
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *