Upaya untuk menjadikan syariat Islam sebagai hukum tunggal di Indonesia tidaklah benar-benar berhenti dilakukan. Meskipun pada kenyataannya, upaya tersebut belum dapat dikatakan berhasil. Menjadikan syariat Islam sebagai hukum tunggal nasional bisa saja dilakukan. Akan tetapi, menjadi hal yang sulit jika kita melihat sejarah dan realita yang berkembang di Indonesia. Bila tetap diupayakan, dikhawatirkan akan memicu konflik antar sesama anak bangsa.
Hingga saat ini, Indonesia masih loyal menggunakan sistem hukum plural. Ketiga sistem itu adalah sistem hukum Adat, Islam dan Barat. Tiga sistem ini dianggap cocok dan pas diterapkan di negara ini jika melihat kondisi masyarakat yang beraneka ragam. Mengingat, Indonesia adalah negara yang didirikan bukan oleh satu golongan saja. Meski demikian, Islam adalah agama dengan penganut terbanyak bukan hanya di Indonesia, namun juga di dunia.
Pro dan Kontra Penerapan Hukum Islam
Barang kali dari kenyataan tersebut, timbullah keinginan dari sebagian kelompok agar syari’at Islam diberlakukan secara nasional. Argumen yang dibangun pun ternyata bervariasi. Mereka berdalil bahwa sudah semestinya Indonesia menerapkan syari’at Islam, terlebih bagi umat Islam yang mengaku taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Ada pula yang meyakini bahwa terdapat kelemahan pada penerapan hukum positif dan sebagainya.
Syariat Islam yang bersumber dari Allah sebagai tuhan dalam pandangan mereka pastilah memiliki nilai kebenaran dan keadilan yang tinggi. Sehingga, siapapun yang ingin memperoleh keadilan serta kebahagiaan yang hakiki, maka, mau tidak mau harus kembali kepada syariat Islam. Mereka yang ikut memperjuangkan disahkannya syariat Islam antara lain Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Parta Keadilan Sejahtera (PKS) dan lainnya.
Adapun kelompok yang berseberangan mempunyai argumen yang tidak demikian. Melihat fakta sejarah bangsa Indonesia yang berjuang bersama-sama dalam mencapai kemerdekaan. Di satu sisi, Buya Syafi’I Ma’arif dari ormas Muhammadiyah menilai, penerapan syariat Islam secara formal sebagai peraturan dapat menimbulkan kesan eksklusif bagi agama tertentu. Beliau menambahkan akan pentinya menjaga keharmonisan dengan agama lain.
Sependapat dengan beliau, Hasyim Muzadi selaku perwakilan dari Nahdhatul Ulama menolak adanya formalisasi syariat Islam di daerah. Beliau lebih mengutamakan semangat yang terkandung dalam syariat Islam dapat terintegrasi ke dalam tatanan hukum positif, bukan sekedar penerapannya secara formal.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan, agaknya dapat kita simpulkan dasar yang dipakai oleh kedua kelompok. Kelompok pertama cenderung menggunakan pemikiran secara tekstual dan normatif. Adapun pemikiran kelompok kedua tampaknya didasarkan pada realitas yang terjadi, sehingga argumen yang ditawarkan cenderung kontekstual. Dapat dikatakan kedua kubu memiliki dasar yang cukup kuat. Namun pada akhirnya, masing-masing tak mungkin memenangkan pendapatnya secara mutlak.
Mencari Titik Temu Perdebatan
Terlepas dari perdebatan yang terjadi di antara kedua belah pihak, nyatanya kita masih berpeluang untuk mencari titik temu. Kendati masih terdapat banyak perbedaan mendasar antara syariat Islam dengan hukum positif, namun secara prinsip, syariat Islam dengan hukum positif memiliki arah tujuan yang sama, yakni untuk menciptakan perdamaian dan kemashlahatan.
Masdar F. Mas’udi menjelaskan bahwa sepanjang gagasan peraturan itu sejalan dengan kemashlahatan, maka itu dapat dibenarkan. Demikianlah maksud yang hendak dicapai dari diturunkannya syariat Islam. Sebaliknya, jika semangat yang ditimbulkan dari rumusan peraturan itu lebih banyak mengundang kemudhorotan, maka jelaslah hal itu harus dihentikan.
Pendapat beliau cukup fair dan beralasan. Sebab, menggapai kemashlahatan adalah sejalan dengan prinsip Maqashid Syariah, yakni bagaimana perlindungan terhadap agama, diri, akal, nasab dan harta setiap orang harus terus diupayakan. Sehingga, apapun peraturan yang hendak diberlakukan, selayaknya juga mempertimbangkan aspek-aspek tersebut.
Meskipun saat ini syariat Islam belum dapat ditegakkan secara penuh di Indonesia, namun, dengan adanya Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang perdata Islam, sejatinya juga patut disyukuri. Ini membuktikan bahwa Umat Islam masih diberi ‘keistimewaan’ dalam perkara hukum. Keberadaannya pun dianggap mampu menjembatani kepentingan umat Islam sekalipun belum menyentuh ranah pidana.
Upaya untuk memperjuangkan syariat Islam memanglah berat dan berliku. Dibutuhkan kesabaran dan pengorbanan yang lebih tanpa harus mengesampingkan umat yang berbeda keyakinan dengan kita. Tanpa formalisasi syariat, bukan berarti kita tidak dapat menggapai cita-cita negara yang Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur.
Editor: Dhima Wahyu Sejati