Fikih

Pernikahan Sekufu’ dalam Perspektif Habaib dan Ulama’

3 Mins read

Pernikahan merupakan ikatan janji suci yang memiliki nilai sakral yang kuat. Bisa jadi menikah dilakukan hanya sekali seumur hidup dengan sah secara agama maupun negara. Di sisi lain harus matang dalam sisi mental, spiritual, dan finansial untuk melangsungkan pernikahan tersebut. Pernikahan sekufu’ juga penting untuk diperhatikan.

Pernikahan juga bukan untuk mendapatkan hasrat sex sesaat saja, tetapi untuk hidup berdampingan hingga akhir hayat. Oleh karena itu, seorang yang akan melakukan perkawinan agar memilih pasangan hidupnya dengan secara hati-hati dilihat dari sisi kualitas dan kuantitas.

Pernikahan Sekufu

Dalam pandangan Islam, ketika memilih pasangan dianjurkan dengan melihat beberapa sisi, yakni dilihat dari lima sisi: pertama, Agama. Kedua, Nasab. Ketiga, Fisik dalam artian kecantikan dan kegagahan. Keempat, dapat menghasilkan keturunan. Kelima, Harta kekayaannya.

Di antara kriteria tersebut yang paling utama ialah dari segi keagamaanya. Karena dalam Islam tentunya kita diharuskan menikah dengan satu keyakinan atau seagama, seperti yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwasanya, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya”.

Kafa’ah merupakan sifat yang ada dalam diri manusia yakni, moral yang baik, bukan karena nasab atau tingkat sosial. Misalnya, seorang laki-laki shalih dari golongan bawah berhak menikah dengan perempuan shalihah dari golongan atas, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi jika laki-lakinya tidak berakhlak al-karimah berarti tidak sekufu’ atau tidak setara dengan perempuan shalihah.

Menurut kompilasi hukum Islam pada pasal 61 mengatur tentang pencegahan perkawinan yang berbunyi: “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien”.

Namun, yang dimaksud dari pasal KHI diatas ialah tidak sekufu’ karena ikhtilaafu al dien bukan karena Akhlak al karimah, tapi akhlak bisa juga menjadi pertimbangan yang kuat karena setiap orang harus memliki nilai moral yang bagus. Seperti pepatah orang jawa mengatakan “wong kui kudune ngewongke wong” yang artinya, orang itu harus meng-orangkan seseorang. Meng-orangkan seseorang di sini ialah setiap orang itu harus memiliki nilai moral/adab yang bagus kepada orang lain.

Baca Juga  Fikih Haji Lansia: 3 Argumen Rukhshah Salat di Hotel

Perspektif Habaib

Perlu kita ketahui, Habib dan Syarifah adalah Asma Laqab (nama sebutan baik/gelar) yang turun-temurun diberikan secara khusus terhadap keturunan Nabi Muhamad SAW, melalui cucu dari Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan dua anak laki-laki dari Fatimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.

Panggilan Habib, sayyid/syarif biasanya diberikan untuk putra dari seorang habib, dan Syarifah juga panggilan dari putrinya habib. Sedangkan non sayyid/syarif dan syarifah yaitu seseorang laki-laki dan perempuan yang selain dari kalangan habaib (non habaib).

Pernikahan dalam kalangan habaib, Mempunyai aturan tersendiri bagi kalangannya, yakni: Seseorang dari habib hendak menikahkan putra/putrinya sebaiknya dinikahkan dengan seorang putra/putri dari habib juga.

Di sisi lain, para habaib juga mempunya perbedaan pendapat mengenai pernikahan sekufu’, yakni: pertama, memperbolehkan suatu perkawinan dengan alasan syarat dan rukun sudah terpenuhi menurut fikih, kedua, tidak memperbolehkan dengan alasan harus kafa’ah atau kesetaraan nasab karena untuk menjaga keutuhan nasab yang mulia.

Pandangan Ulama

Terdapat dua khilafiyah/perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai kafa’ah dalam perkawinan, yakni:
Pertama, Jumhur ulama seperti: Syafi’iyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah tidak termasuk syarat keabsahan dalam pernikahan hanya merupakan keutamaan saja. Dengan menggunakan dalil QS. Al Hujurat ayat 13 :

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Kedua, Sebagian ulama termasuk satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu termasuk syarat sahnya perkawinan. Dalil yang digunakan adalah sepotong hadis dhoif (lemah) yang diriwayatkan oleh Al-Dar Quthniy yang berbunyi :

Baca Juga  Lafaz Ijab Qabul Berbahasa Arab

“Janganlah kamu mengawinkan perempuan kecuali yang sekufu dan jangan mereka dikawinkan kecuali dari walinya”.

Biasanya, terjadinya pernikahan antara kalangan habaib dengan non-habaib yaitu karena ada rasa saling cinta dengan mempertimbangkan kuatnya agama dalam pandangan masing-masing.

Namun, ketika pernikahan antara habaib dengan non habaib tentunya akan memiliki dampak bagi keduanya. Dari sisi non-habaib pernikahan tersebut merupakan suatu anugerah baginya karena telah mendapatkan pasangan dari nasab yang mulia, hal ini belum tentu dapat terjadi pada setiap orang.

Dari sisi habaib, dampak yang terjadi ketika menikah dengan seseorang yang bukan habaib akan berakibat kurang baiknya dalam kehidupan sehari-hari karena berbagai alasan. Hal ini disebabkan pandangan umum yang telah disebutkan.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Muhammad Ryzqi Izza Maulidi, Jepara 25 Juni 1999, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Syari'ah dan Hukum
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds