Belakangan ini, isu terkait absennya kesadaran keberagaman identitas dan toleransi menjadi isu yang cukup hangat. Amartya Sen, seorang ekonom pemenang nobel pernah menulis buku pada tahun 2006 yang berjudul Identity and Violence. Buku ini merupakan kumpulan kuliah yang ia sampaikan dari kampus-kampus di seluruh dunia, berbicara mengenai persoalan identitas, kebencian, dan kekerasan.
Dalam salah satu bab di bukunya, Sen menceritakan salah satu pengalaman masa kecilnya di mana ia menyaksikan seseorang. Seseorang yang tidak dikenal tersebut tergeletak di depan halaman rumahnya dengan luka tusukan dan pendarahan yang hebat. Sen, yang pada saat itu baru berumur 11 tahun seketika langsung terkejut dan memanggil ayahnya untuk menolong pemuda asing itu.
Namun sayang, pemuda ini kemudian meninggal dunia ketika dibawa ke rumah sakit.
Persoalan Identitas
Kejadian di atas terjadi pada tahun 1944 di mana pada waktu itu terjadi kekerasan komunal antara komunitas masyarakat hindu-muslim di India. Orang yang tergeletak di depan halaman rumah Sen pada waktu itu adalah seorang muslim yang ditusuk oleh seorang hindu ketika ia akan mencari makan untuk keluarganya. Nampaknya keberagaman identitas belum menjadi kesadaran yang kuat pada masa itu.
Pada waktu itu di India, terjadi ketegangan antara kelompok muslim dan hindu sebelum masa kemerdekaan India. Konflik yang sama pulalah yang memicu terbelahnya negara India dan lahirnya negara Pakistan kelak. Karena persoalan identitas, perselisihan seperti ujaran kebencian hingga peperangan bisa terjadi.
Ketika merefleksikan kasus kekerasan yang ia saksikan pada masa kecilnya itu, Sen kemudian mengajukan pertanyaan mendasar yang penting. Mengapa seseorang yang sebelumnya tidak saling kenal dan tidak pernah saling menyakiti bisa saling membunuh dan melakukan tindak kekerasan satu sama lain?
Padahal jika dilihat dari status sosial dan ekonomi, kedua kelompok ini sebenarnya memiliki kesamaan-kesamaan tertentu. Hal ini mendorong Sen untuk mendalami persoalan identitas lebih lanjut.
Mendefinisikan Identitas : Tunggal atau Majemuk?
Berdasarkan analisisnya, Sen menyimpulkan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya kekerasan adalah saat identitas yang melekat pada manusia dipersepsikan sebagai sesuatu yang sifatnya tunggal. Pandangan ini mengakibatkan terjadinya reduksi terhadap keberagaman ras dan berbagai macam identitas dan afiliasi yang dimiliki oleh seorang manusia.
Akibatnya, terjadi sudut pandang biner yang secara kaku memisahkan antara golongan berdasarkan identitas seperti agama, suku, ras, dan kelompok tertentu secara tunggal. Salah satu contoh dikotomis yang mungkin sangat populer adalah tipologi yang diperkenalkan oleh Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilization. Buku tersebut menggolongkan sebuah peradaban berdasarkan agama dan budaya dan tertentu secara tunggal yang juga dikritik oleh Sen dalam buku ini.
Pandangan seperti ini menurut Sen adalah akar penyebab intoleransi, tindakan kekerasan, persekusi, dan ujaran-ujaran kebencian yang terjadi selama ini. Karena terjadi kegagalan dalam mengenal dan melihat keragaman identitas dari manusia yang terbentuk dari kumpulan identitas-identitas yang beragam.
Seseorang dapat memiliki identitas sebagai seorang muslim, warga negara India, dan berdarah Inggris secara bersamaan. Dan berbagai macam identitas-identitas lain dapat membentuk jati diri orang tersebut, tanpa perlu adanya ujaran kebencian. Hal serupa masih sering kita jumpai, dan ia menjadi refleksi bahwa kita masih memiliki persoalan identitas.
Pandangan reduksionis seperti ini melahirkan pola pikir yang sempit, eksklusif, dan kecenderungan pada ujaran kebencian di luar kelompok atau pemahamannya. Dalam istilahnya, Sen menyebutnya sebagai kecenderungan “soliteris” dalam memahami persoalan identitas.
Fundamentalisme sebagai Persoalan Identitas
Dalam satu dekade terakhir, kita melihat betapa menguatnya pandangan seperti ini dengan terjadinya gejala fundamentalisme identitas dalam segala aspek kehidupan. Gejala ini telah muncul di seluruh dunia, mulai Amerika, India, Cina, bahkan juga Indonesia.
Karen Armstrong (2017) mencontohkan beberapa aspek fundamentalisme yang ia amati. Fundamentalisme agama yang belakangan muncul karena ISIS dan lainnya melahirkan sikap takfiri, tindakan kekerasan, dan tindakan terorisme yang mengatasnamakan agama. Fundamentalisme lahir karena absennya pemahaman akan kemajemukan dalam beridentitas.
Fundamentalisme dalam bidang politik melahirkan politik identitas dan sikap xenophobia (takut terhadap orang asing) serta praktek rasisme terhadap etnis dan golongan tertentu. Bahkan Amerika dan dunia dihebohkan ketika George Floyd seorang warga Amerika kulit hitam meninggal karena tindakan kekerasan yang dilakukan polisi kulit putih di sana. Ini semakin menguatkan bahwa persoalan identitas dalam bermasyarakat benar adanya.
Di Indonesia sendiri, kita masih menjumpai praktek seperti ini dalam keseharian kita. Pelarangan dan perusakan tempat ibadah, stigma negatif terhadap etnis Tionghoa dan Papua, serta massa berpolitik identitas kian menguat. Tidak jarang juga praktek ini menimbulkan terjadinya konflik dan tindakan kekerasan dan mengakibatkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Berbagai macam dampak negatif dari kasus yang diceritakan di atas adalah contoh betapa persoalan identitas yang simplistik seperti itu dapat memicu tindakan kekerasan. Konstruksi dan pencarian makna identitas sebagai yang “murni” dan “paling benar” kerap menjadi justifikasiuntuk mendiskreditkan golongan lain di luarnya.
Oposisi biner yang membenturkan dua atau lebih identitas menyebabkan terjadinya perpecahan dan fragmentasi masyarakat. Dalam berbagai lapisan masyarakat, ini terjadi dan dapat bermuara pada tindakan kekerasan.
Merumuskan Kembali : Prinsip Keberagaman dan Kesetaraan
Hannah Arendt pernah mengatakan bahwa tindakan kekerasan selamanya tidak akan pernah bisa mendapatkan legitimisasi. Sang pelaku bisa saja menjustifikasi perbuatannya atas dasar mempertahankan kemurnian identitas atau menjaga kelangsungan kelompoknya, yang mana tidak valid.
Dalam hal ini, kita perlu kembali merumuskan dan memikirkan kembali klaim yang mereduksi identitas hanya sebagai objek yang tunggal dan statis. Identitas manusia bukanlah sesuatu yang diterima jadi saja, tapi ada proses pembentukan yang dinamis dan majemuk secara gardual dalam proses kehidupan manusia.
Terlebih lagi pada zaman global, batas-batas antara negara, bangsa, suku, dan budaya manusia kian tergerus dan terhapus oleh berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi.
Terlalu miskin rasanya jika kita hanya menyematkan identitas manusia kepada satu aspek saja dengan mengesampingkan aspek-aspek lainnya. Semuanya dapat berdampingan dan saling memperkaya pengalaman dan pengetahuan masing-masing dalam keberagaman.
Tidak ada satu identitas yang secara alamiah lebih tinggi dari identitas yang lain. Kulit putih tidak memiliki klaim superioritas atas mereka yang berkulit hitam, budaya asia tidak lebih baik dari budaya barat, dan seterusnya. Semuanya setara dan tidak saling meniadakan satu sama lain.
Dengan paradigma seperti ini, maka setiap manusia di seluruh dunia dapat hidup dalam harmoni tanpa perlu terjebak klaim superioritas yang sifatnya subjektif dan palsu. Bukankah Tuhan sendiri yang menciptakan keberagaman dalam kehidupan agar manusia dapat saling mengenal dan berlomba-lomba dalam kebaikan?
Lalu mengapa kita terus saling ribut, saling benci, serta melakukan kekerasan satu sama lain? Ketika kita justru dapat menikmati perbedaan tersebut dan mencari titik temu yang dapat mempersatukan kita, mengapa tidak?
Editor : Shidqi Mukhtasor