Oleh: Lya Fahmi
Sejak tiga hari yang lalu, beranda Facebook saya ramai oleh komentar-komentar warganet “Pertandingan KPAI versus Djarum”. Yang katanya KPAI melarang PB Djarum mengadakan audisi bulu tangkis karena mengeksploitasi anak. Sepintas lalu hal ini terkesan nggapleki dan bikin emosi.
“Mau mencari bibit unggul kok ndak boleh?”
“Kalo PB Djarum berhenti mengadakan audisi, nanti prestasi bulu tangkis kita terjun bebas!”
“Halah, PB Djarum itu udah menghasilkan banyak atlet berprestasi, kalo KPAI prestasinya apa? Bubarin aja sekalian, nggak berguna juga.”
Apa tanggapan saya terhadap keriuhan netizen tersebut? Ya nggak ada, wong saya ini nggak ngerti bagaimana duduk permasalahannya. Mosok ya saya mau ikut koar-koar hanya berdasarkan sentimen yang dikembangkan oleh netizen? Sampai akhirnya saya membaca status Facebook Rika Iffati Farihah yang menerangkan apa yang sebenarnya dipermasalahkan oleh KPAI terhadap audisi PB Djarum ini (statusnya bisa dibaca disini)
Paparan Rika Iffati Farihah menstimulasi saya untuk mencari lebih banyak informasi mengenai polemik ini. Ada banyak informasi yang berserakan dan saling bertentangan satu sama lain. Dalam tulisan ini, saya coba mengorganisasi informasi-informasi yang saya dapatkan dan menjelaskan bagaimana saya memproses informasi-informasi tersebut.
Oh ya, sangat mungkin ada informasi yang tidak saya ketahui atau berbeda dari informasi yang teman-teman miliki, dan ini menjadi titik perbedaan kita. Makanya, mari kita saling bertukar informasi. Oke, check this out!
Jersey dan Pengaruhnya
Dalam tiga tahun terakhir, LSM Lentera Anak mengamati proses audisi bulu tangkis yang diadakan oleh PB Djarum. Dalam tata tertib audisi disebutkan bahwa setiap anak yang mengikuti audisi wajib mengenakan kaos jersey yang disediakan oleh pihak PB Djarum. Bagian depan kaos jersey yang disediakan tersebut tercetak tulisan Djarum dalam ukuran yang cukup besar. Berdasarkan tata tertib audisi, nomor peserta harus disematkan di bagian belakang kaos jersey, tidak boleh disematkan di depan kaos jersey yang menyebabkan tertutupnya logo Djarum.
Menurut Lentera Anak, logo PB Djarum yang ditampilkan dalam kaos jersey tersebut sangat identik dengan merek rokok Djarum. Bahkan, pada tahun 2017, kombinasi warna jersey identik dengan kombinasi warna kemasan rokok Djarum, yaitu merah dan hitam. Kemudian, Lentera Anak melakukan survey online yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi anak terhadap tulisan Djarum yang tercetak pada jersey audisi.
Ternyata, didapatkan 68% anak mengasosiasikan tulisan Djarum pada jersey sebagai merek rokok. Maka dari itu, Lentera Anak menganggap tulisan Djarum yang tercetak pada bagian depan jersey itu sebagai brand image yang secara tidak langsung meningkatkan awareness anak-anak terhadap produk rokok.
Dalam sepuluh tahun terakhir, ada sebanyak 23.683 anak yang terlibat dalam audisi PB Djarum. Namun, “hanya” sekitar 245 anak yang menerima beasiswa tersebut. Memang sifat beasiswa diberikan dalam jumlah yang terbatas. Tapi jangan dilupakan 23.438 anak yang tak mendapat beasiswa dan memiliki jersey dengan logo Djarum dan menggunakannya dalam aktivitas mereka sehari-hari.
Artinya, beasiswa PB Djarum tidak signifikan apa bila dibandingkan dengan paparan anak terhadap brand image rokok tanpa mereka sadari. Dengan temuan ini, Lentera Anak menduga PB Djarum telah melakukan iklan terselubung merek Djarum dengan menggunakan anak-anak. Inilah yang mereka sebut dengan eksploitasi.
KPAI versus PB Djarum
Setelah data dirasa cukup, Lentera Anak dan beberapa LSM lainnya menyampaikan informasi di atas kepada KPAI. Berdasarkan kajian KPAI, KPAI sepakat bahwa kegiatan audisi yang diselenggarakan oleh PB Djarum mengandung unsur eksploitasi ekonomi pada diri anak yang tertera pada UU Perlindungan Anak Pasal 66 No. 35 Tahun 2014 dan melanggar PP No. 109 Tahun 2012 Pasal 36 tentang larangan promosi produk tembakau dalam penyelenggaraan kegiatan. Kedua peraturan ini yang mendasari permintaan KPAI agar pihak PB Djarum menghentikan audisi apa bila tetap tidak mengindahkan aturan yang ada.
Berdasarkan berita yang dilansir dari kompas.com, komunikasi antara KPAI dan PB Djarum sudah berlangsung sejak 2018. Komunikasi yang sudah sering dilakukan ini tidak menemukan kata sepakat karena pihak PB Djarum menolak tuduhan brand image pada audisi yang mereka selenggarakan.
“Plis deh, ini tu logo PB Djarum, bukan merek Djarum. Lebay banget!” Begitu kira-kira suara hati PB Djarum yang sekarang gencar disuarakan oleh warganet dalam menanggapi masalah KPAI versus PC Djarum.
Respon dari pihak PB Djarum ini terdengar sangat masuk akal ya? Iya, saya juga sangat bisa memahami logika bahwa PB Djarum berbeda dengan PT. Djarum. Tapi, hemat saya, kita juga tidak bisa mengabaikan hasil penelitian bahwa logo PB Djarum pada jersey membuat anak terasosiasi dengan produk rokok.
Ingat, brand image tidak semata-mata penampakan fisik logo merek, melainkan juga persepsi yang terbentuk melalui proses interaksi dengan merek tersebut. Ketika anak-anak mempersepsi tulisan Djarum pada jersey sebagai merek rokok, ketika itu pula anak sebenarnya telah berinteraksi dengan merek rokok tersebut. Inilah yang menjadi poin keberatan Lentera Anak dan KPAI.
“Berarti semua kegiatan Djarum Foundation yang memasang logo Djarum itu nggak boleh, dong? Bagaimana dengan Beswan Djarum? Bagaimana dengan SMK Animasi di Kudus yang juga dikelola oleh Djarum Foundation?” Begitu pertanyaan sebagian orang. Plis, bisakah kita fokus pada isu anak-anak yang terlibat dalam kegiatan yang rancu dengan paparan iklan rokok?
Ingat, ribuan anak-anak yang sebagian besar tidak menembus beasiswa PB Djarum itu harus mengenakan jersey Djarum sejak dari audisi. Bukankah audisi tetap bisa dilaksanakan tanpa jersey dari PB Djarum, atau jersey tetap dari PB Djarum tanpa ada tulisan Djarum?
CSR, Bukan Sedekah?
“Ini CSR, lho, bukan sedekah. Ya pastilah mereka ada unsur ingin menonjolkan merek. Itu cukup fair kok dengan jasa mereka dalam bidang bulu tangkis selama ini.” Begitu kata sebagian yang lain.
Ya, memang. Dan itu pula yang berbenturan dengan PP 109 Tahun 2012 Pasal 36: “Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau yang mensponsori suatu kegiatan lembaga dan/atau perseorangan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: (a) tidak menggunakan nama merek dagang dan logo Produk Tembakau termasuk termasuk brand image Produk Tembakau; dan (b) tidak bertujuan untuk mempromosikan Produk Tembakau.”
“Peraturan ini nggak bisa dipake. Brand image apaan sih? Udah jelas-jelas beda. Mau tulisan Djarum segede apa pun, aku nggak akan merokok dan nggak akan beli Djarum.” Demikian ungkap beberapa orang.
Ingat ya, Bapak dan Ibu, yang menjadi pokok bahasan kita adalah anak-anak, bukan diri Bapak dan Ibu yang sudah dewasa. Toh sudah ada hasil penelitiannya dari Lentera Anak bahwa 68% anak mengaitkan tulisan Djarum pada kaos itu sebagai rokok. Jika tak percaya pada hasil penelitian ini, silakan lakukan replikasi penelitian, bukan koar-koar antek osang aseng. Penelitian balas dengan penelitian.
Benturan Iklan Rokok dan Olahraga
Pada titik ini, yang dilakukan oleh KPAI hanyalah menjalankan peraturan. Pihak swasta pastilah berkepentingan dengan bisnisnya, tapi pemerintah juga berkepentingan untuk mengendalikan Produk Tembakau. Surat KPAI yang meminta pihak Djarum Foundation menghentikan audisi sejatinya hanyalah tindakan yang mengikuti norma undang-undang dan peraturan pemerintah, dan dilayangkan setelah pihak Djarum Foundation tidak mengindahkan masukan dan teguran dari KPAI.
Perkara kepentingan KPAI untuk melindungi anak dari kemungkinan paparan iklan rokok berbenturan dengan kepentingan pembinaan olahraga, itu hal-hal yang kemudian menjadi pembicaraan pihak-pihak yang terkait. Pertemuan semua pihak yang berlangsung di Kemenko Polhukam tertanggal 4 September 2019 menyepakati bahwa audisi harus terus berlangsung dengan tetap mematuhi aturan yang ada.
Maka dari itu, disepakati pertemuan lanjutan antara pihak KPAI dan Djarum yang difasilitasi oleh Kementrian PPPA untuk membahas penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan oleh PB Djarum agar audisi yang mereka selenggarakan tidak melanggar aturan.
And you know what… pertemuan lanjutan inilah yang tidak pernah dihadiri oleh pihak PB Djarum, lalu kemudian memutuskan untuk mengakhiri audisi. Bagi pihak Djarum Foundation, aturan PP 109 Tahun 2012 yang zero tolerance itu nggak mashook untuk mereka tetap mengadakan audisi. Lebih baik mundur sekalian dari pada ngotot dan dinilai melanggar aturan.
***
Sampai di sini, permasalahan KPAI versus Djarum sudah clear bagi saya. KPAI menjalankan aturan dan PB Djarum menghentikan audisi karena tidak ma(mp)u memenuhi aturan yang ada. Jika ada yang tidak puas dengan kondisi ini, silakan usul untuk pemerintah mengganti peraturannya. Beres.
Btw, PB Djarum hanya menghentikan audisi besar-besarannya, bukan menghentikan pembinaan atlet. Kenapa malah pada ribut seolah-olah bulu tangkis Indonesia akan mati besok pagi, sih?