Perspektif

Kegilaan atas Terorisme 11 September

4 Mins read

Oleh: Ermansyah R. Hindi*

Tidak bermaksud mengungkit-ungkit tragedi kemanusiaan yang dibunuh melalui serangan teroris terhadap Twin TowersWorld Trade Center (WTC), Kota New York, 11 September 2011. Saya dan mungkin Anda adalah salah satu yang tidak berdiri di dekat ‘Menara Kembar’-WTC di saat peristiwa itu terjadi yang diliput oleh televisi.

Pada saat itu, saya dan mereka tidak menjadi tema perbincangan mengenai orang tua yang terpisah dari anak-anaknya. Mereka yang terdampar di sekolah-sekolah mereka di pinggir kota, dari suaminya dan orang-orang yang melarikan diri dari serangan di Menara Kembar. Mereka tidak pernah melupakan berdasar sudut pandangnya.

Bahwa ‘hal-hal yang tidak terpikirkan’ terjadi pada suatu pagi di akhir musim panas yang agung. Yang entah bagaimana berubah menjadi sesuatu yang dekat bahkan tidak dapat membayangkan datangnya hari kiamat. Bahwa mereka nyata-nyata berada di sekitar lima puluh blok dari rumahnya; banyak orang yang melompat dari sembilan puluh lantai menuju ke kematiannya.

Peristiwa tragis itu sesungguhnya melampaui analisis di tahun pertama era Milenium Ketiga. Sehingga, akhir dari Hari Peringatan Serangan teroris 11 September 2001 berbeda dengan akhir dari kehidupan atau akhir dari Hari Pembalasan.

Begitu dahsyatnya peristiwa besar itu, mereka tidak mengingat lagi batas-batas pertentangan bahasa dan logika pengulangan. Lebih dari satu atau dua ungkapan, kita sulit menghindari suatu tanggal dalam sejarah. Karena itu, 11 September menandai tanggal, menandai peristiwa paling penting agak sulit dilupakan.

Tatkala peristiwa paling penting begitu dahsyat dan bergema lebih dari satu generasi, melintasi satu zaman dan peristiwa pengetahuan. Disitulah menandai guratan peristiwa paling membekas dan berdampak paling menghentak dari apa yang paling dirasakan secara nyata. Menjadi peristiwa sesungguhnya merebut tandanya kembali yang nyaris hilang dari peristiwa besar lainnya.

Baca Juga  Beragama yang Mencerahkan

Saya tidak mengatakan harus merasakan, memikirkan dan melihat secara langsung di hadapan peristiwa besar. Saya juga tidak mengatakan “berdampak langsung” atau “merenggut langsung perasaan” sebagai peristiwa besar dan paling nyata.

Sesuatu di Balik Diskursus

Apapun diskursus yang kita bangun diantara puing-puing sejarah ilmu pengetahuan modern, ia tidak menandai sejarah lagi. Memberi jejak-jejak bagi masa depan kita. Saya tidak mengandai-andai tanggal sejarah, saya tidak membayangkan monster pikiran saya sendiri. Tetapi saya berlari dari satu bayangan ke bayangan lainnya hingga saya menemukan diri saya ditengah kata-kata.

Atau proposisi-Cartesian yang tidak dikalkulasi sebelumnya: “Saya tidak merasakan serangan teroris 11 September 2001”, “Saya ada karena berhasrat untuk membunuh”, “Anda ada karena Anda mendanai teroris”. Dunia ini benar-benar tidak aneh, malahan suatu keajaiban. Teks yang memanggil kita dalam kenikmatan dibalik serangan teroris.

Tidak menandai sejarah berarti kita tidak mengenali, menganalisis, mengidentifikasi, dan menentukan jalan hidup kita. Terorisme lebih berpikir melalui sel-sel atau jaringan sirkuit otak kita telah disibernetisasi ‘lebih nyata’ dari wujud alamiahnya. Jaringan tanda teror senyap ada didalamnya, dalam “Saya membunuh, maka saya bahagia”, “Saya mencium aroma musuh, maka saya ada”.

Dalam fantasi para teroris dan terorisme, tidak ada lagi istilah “menjadi binatang”. Disinilah, kekuatan aksioma dari terorisme tidak lebih perhitungan kekerasan nalar.

Kisah nyata dari peristiwa besar tidak memiliki efek dan tidak terbantahkan. Mereka laksana dan tidak ada tiruan; mereka benar-benar nyata antara ‘manusia mesin’ dan ‘setengah manusia’. Mereka berpikir instan seperti kematian yang instan. Dari hal-hal remeh temeh meletakkan efek serangan teroris yang tidak terbantahkan. Sebagai sesuatu tanda-tanda paling dekat dengan kita yang tidak diperhitungkan.

Baca Juga  Kiamat Itu Masih Lama, Ini Bukti Ilmiahnya!

Perayaan yang Terulang

Sesungguhnya tepat, sekiranya kita masih menyaksikan dunia ini dalam perayaan baru dan pengulangan tarian kematian yang berdaya pikat besar. Yaitu, melalui serangan teroris dengan wajah yang berbeda, dalam nalar dan hasrat yang lebih menantang lagi. Pengulangan peristiwa 11 September merupakan hari-hari dimana telah lama ditunggu oleh sekian banyak calon korban serangan teroris sesudahnya.

Apakah itu meningkat jumlahnya dua atau tiga kali lipat korban serangan teroris atau tidak? Bagaimana pengulangan peristiwa serangan 11 September sesegera mungkin menyulap ilusi dan mimpi menjadi ‘lebih nyata lagi’ sebagai jalan hidup kita? Benda-benda dan kata-kata, ujaran dan tulisan dalam pengulangan dimainkan kegilaan para teroris yang tidak pernah menginap di rumah sakit orang gila.

Mereka tidak pernah berada diluar pengulangan peristiwa. Antara kelahiran dan kematian “pikiran” yang tidak mengurusi teror. Karena ia adalah perangkap munculnya terorisme lainnya. Pengulangan peristiwa teror sekalipun ditandai dengan peristiwa besar. membentuk pengulangan baru yang produktif tanpa kenetralan, tanpa permulaan dan kelahiran yang terakhir. Ia akan mengintimi pergerakan traumatisme meluap-luap.

Mungkin kita tidak benar-benar yakin mengenai jumlah orang yang tewas, bukan korban jiwa sebagai akibat serangan teroris 11 September atau momentum lainnya, tetapi akibat dari kekerasan konsep dan kekerasan hasrat untuk menebarkan hawa kematian melalui terorisme. Jumlah orang yang tewas sebanding dengan jumlah hasil perhitungan mesin ketidaksadaran yang merasuki kaum teroris dalam setiap serangannya.

Benarkah ada terorisme internasional dan terorisme negara? Adakah seseorang yang mampu maju ke depan tanpa rasa takut sedikitpun untuk menjawab bahwa dirinya adalah seorang teroris sejati, bukan orang lain yang ditangkap atas tuduhan teroris?

Peristiwa 11 September

Namun demikian, kekerasan konsep tidak dipertaruhkan dalam kekerasan lainnya, bukan  dalam pengalaman hidup sehari-hari yang dangkal. Cukuplah tidak lebih sekali pengulangan peristiwa 11 September.

Baca Juga  Mahasiswa, Buku, dan Masa Depan Bangsa

Pengulangan dan kelahiran tidak dinantikan oleh permulaan. Tetapi titik nadir dari sesuatu yang tidak terduga persis serangan teror yang tidak terduga. Cobalah kita ingat atau kita sendiri tidak mampu membayangkan kembali. Tatkala serangan bom bunuh diri teroris sesuai dengan bom waktu atau bom seks yang berdaya ledak tidak teremehkan menjadi peristiwa besar.

Apa alasan kita sehingga kita mengatakan “peristiwa besar” 11 September? Bom waktu di balik bom teroris menanam, menumbuhkan dan menyebar seperti citra artifisial yang membujuk rayu hingga traumatisme tidak dapat diukur, kecuali jumlah korban.

Kata lain, bahwa kata “besar” sepintas memiliki ‘ukuran’ yang tidak dapat dipikul dengan rasa beban berat tragedi yang tidak terbayangkan secara kuantitatif. Perbedaan kuantitas dan kualitas korban serangan teroris ‘jelas’ tidak dapat dibandingkan dengan trauma berkepanjangan, sekalipun jumlah korban jauh lebih banyak.

Peristiwa besar bukan berarti susunan kata-kata beracak dengan benda-benda. Misalnya: “x tidak akan meneror y”, “x membunuh x itu sendiri”, “y1 tidak trauma oleh serangan teroris x1, “y1 yang trauma oleh terornya sendiri”. Terorisme muncul karena ekses dari ‘kelimpahan pengulangan’; ia muncul bukan dari perbedaan dan pertentangan. Begitulah paradoks terorisme. Bukanlah teroris yang membawa bom, akan tetapi orang-orang yang berada dalam kesadaran. Para teroris dan terorisme datang dari struktur kecerdasan.

 

* ASN Bappeda/Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *