Perspektif

Pesan Kuntowijoyo Kepada Prabowo dan Sandiaga Uno

4 Mins read

Oleh: Afriansyah*

Ketika sudah nyata-nyata kalah, ia pergi pada penasihat politiknya.

“Jangan menyesal. Benar engkau kalah, tapi itu karena engkau jujur, agamis, bersih, dan kesatria. ‘Senapan’ telah memanfaatkan nafsu rendah manusia dengan waranggana yang cantik dan tayuban. Sini saya beri tahu.”

Kemudian dengan bisik-bisik dikatakan bahwa “Senapan” itu curang dengan cara obral uang, tawur, dan petrus.

“Ketahuilah, tawur dan petrus itu hasil rekayasanya juga. Jadi dikalahkan oleh kecurangan itu pahlawan. Saya bangga dengan engkau. Engkau memburu akhirat, dia memburu dunia.”

Sepenggal cerita fiktif di atas bisa kita temukan di cerpen berjudul Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi, terdapat dalam kumpulan cerpen karya Kuntowijoyo dengan judul buku yang sama, halaman 133. Buku lawas terbitan tahun 2003 ini berisi 15 cerpen yang terbit berkala di harian Kompas, medio 90’an hingga 2000’an.

Cerita lawas yang -seperti biasanya dari karya Kuntowijoyo- berbahasa datar, tidak mengaduk emosi pembaca namun dekat dengan keseharian kita (terutama orang Jawa) dan sarat makna kehidupan.

Entah kebetulan atau tidak, cerita ini diletakkan di dua cerita terakhir dan cerita dengan judul yang sama dengan buku ini bagi saya adalah jantung dari buku ini (sepertinya editor & penyusun buku ini sependapat dengan saya) sehingga judul buku ini diberi nama dengan salah satu judul cerita di dalamnya.

Saya mengajak pembaca meluangkan sedikit waktunya untuk membaca kembali sekaligus memahami sepenggal cerita di atas, sebelum melanjutkan membaca esai singkat saya ini. Cerita tersebut – selalu begitu karya Kuntowijoyo yang lain- melampaui zamannya.

Meski berjarak 16 tahun, Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi masih bisa kita bawa di masa kekinian dan mungkin juga masa keakanan dalam konteks politik berbangsa dan bernegara. Terlebih pasca kontestasi politik rutin pilpres, rasa-rasanya sangat pas bagi kita untuk membaca dan mengambil hikmah dari cerpen tersebut.

Baca Juga  Pandemi dan Geliat Penerbit Buku

Sutarjo, tokoh utama cerita tersebut yang njago lurah (mencalonkan diri menjadi kepala desa) yang berbendera “Padi” bersaing dengan seorang pensiunan ABRI yang berbendera “Senapan”. Melewati berbagai tahapan pilkades yang menguras tenaga serta biaya, meski yakin akan lolos karena kemampuan kognitif dan “orang dalam” di kecamatan, pada akhirnya “Padi” kalah telak dari “Senapan”.

Sutarjo yang sudah melengkapi dirinya dengan seorang penasihat politik yang merupakan politisi betulan dari Golkar, sampai “harus” mengorbankan statusnya sebagai orang Muhammadiyah tulen dengan melakukan yasinan & nyekar di makam kakeknya yang mantan lurah.

Saya beberapa kali bercengkrama dengan kawan-kawan yang terlibat dalam aktivitas politik pilpres kemarin, mengamati huru-hara penghitungan suara, polemik sidang sengketa atas dugaan kecurangan (yang akhirnya divonis tidak terbukti oleh MK), hingga pengumuman resmi kemenangan Pak Joko dan Mbah Yai Ma’ruf, menyimpulkan bahwa alur cerita pilpres tahun ini sudah “diprediksi” Kuntowijoyo 16 tahun yang lalu dalam cerpennya tersebut.

Setelah selesai membaca esai ini, saya rekomendasikan para pembaca sekalian yang budiman untuk membaca keseluruhan buku tersebut, terkhusus cerita Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi yang selesai dibuat pada 1 Maret 2003 di Yogyakarta.

Esai ini yang berangkat dari penggalan cerita di atas, sama sekali tidak bermaksud mengasosiasikan secara mutlak Pak Prabowo dan Bang Sandi Uno adalah orang jujur, agamis, bersih, dan kesatria, sehingga ketika beliau berdua kalah dalam kontestasi pilpres tahun ini secara otomatis beliau berdua pastilah pahlawan, karena dikalahkan oleh kecurangan.

Pun dengan esai ini tidak juga mencerminkan pilihan politik saya sewaktu pilpres kemarin. Melalui esai ini, saya mengajak para pembaca sekalian berefleksi atas segala fenomena yang terjadi pra, selama, dan pasca pilpres ini, terkhusus bagi ummat Islam.

Baca Juga  Logika Pendidikan dan Kasus Menutup Sekolah

Paslon nomor 2 yang banyak didukung secara terang-terangan oleh ummat Islam dengan menunjukkan simbol-simbolnya, ditambah dengan dikantonginya dukungan legitimasi politik ummat Islam melalui ijtima’ ulama episode 1, 2, & 3 menambah semakin kentalnya “aroma Islam” dalam aktivitas politik paslon nomor 2.

Tidak dapat dipungkiri, banyak dari kader persyarikatan yang terlibat aktif di dalam lingkaran ini, dari simpatisan tingkat desa sampai motor penggerak utama level nasional yang sering nongol di televisi.

Belum lama ini, di laman IBTimes, ada esai yang menggelitik pikiran saya mengenai sisa “aroma” politik di tubuh persyarikatan. Esai berjudul Muhammadiyah Struktural vs Muhammadiyah Oposisi, karya Mu’arif, menggambarkan tensi politik di tubuh persyarikatan,  yang ternyata hingga hari saya membaca esai tersebut, belum juga benar-benar reda.

Seakan masih ada sisa-sisa panas dari sekam yang pernah dibakar, menjadi inspirasi sekaligus inti dari tulisan Mu’arif tersebut. Meskipun terkesan cukup dikotomis bagi saya, esai itu patut dibaca, terkhusus bagi warga persyarikatan.

Sekali lagi, tanpa sedikitpun menganggap Pak Prabowo dan Bang Sandi Uno sebagai pahlawan karena kalah oleh kecurangan, saya hendak mengajak kepada segenap masyarakat Indonesia, terkhusus kepada ummat Islam, dan lebih khusus lagi adalah para pendukung paslon nomor 2, sebagai warga negara hukum yang taat hukum, menghormati, menerima, dan melaksanakan hasil putusan MK adalah kewajiban bagi segenap warga negara, tanpa terkecuali, tanpa memandang gerbong yang dinaiki.

Sesampai di rumah, Sutarjo menceritakan pembicaraannya dengan sang penasihat kepada istrinya.

“Saya kira engkau dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan, Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok mleset, orang agama jalan lurus urung,” komentar istrinya.

Bagi Pak Joko dan Mbah Yai Ma’ruf, pasca keputusan resmi dari KPU, kalimat tarji’ (innaa lillahi wa inna ilaihi roji’un) adalah kalimat yang sangat tepat –mengikuti khalifah Umar ibnu Khaththab- untuk menyambut dan mempersiapkan periode 5 tahun kepemimpinan nasional.

Baca Juga  Tiga Kendala yang Bikin Dosen Susah Naik Pangkat

Bagi Pak Prabowo dan Bang Sandi Uno, kepahlawanan sebagai sebuah sikap mulia bukanlah karena dikalahkan oleh kecurangan, melainkan karena sikap pribadi yang legowo menerima ketentuan Allah sebagai hasil terbaik yang diberikan oleh-Nya, serta sikap taat hukum sebagai sikap kepahalawan seorang warga dari negara hukum.

Semoga sikap jujur, agamis, bersih, dan kesatria, sebagaimana pesan si penasihat politik Sutarjo dalam kisah tersebut, adalah sikap keempat kontestan pilpres tahun ini, bukan monopoli pihak yang kalah.

Tidak dapat menyembunyikan kekecewaan, ia menemui penasihat.

“Bagaimana, Pak. Jadinya kok malah runyam begitu?”

“Ya, itulah politik. Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali tenggelam. Sekali datang, sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti. Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan kalau menang senang, kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada waktu yang tepat. Ketika momentumnya datang, pada sangatnya. Kalau bisa ciptakan momentum itu. Tetapi, jangan nggege mangsa [terlalu cepat], tapi juga jangan terlambat,” komentar sang penasihat enteng.

Sutarjo tak kunjung mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng. “Ck, ck,” kata mulutnya, kemudian melongo.

 

 

*Aktivis Muhammadiyah Surakarta

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds