Ahad jelang senja (14/10/2018), atau dua tahun silam, kami mendapat kesempatan untuk bersilaturrahim dengan Prof. Dr. M. Amin Abdullah, mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga, di kediamannya di Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Meski sempat nyasar, tapi akhirnya sampai juga. Tepat pukul 17.15 WIB, kami berempat sampai di kediaman beliau, di Jalan Jolodoro, Cupuwatu, Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Ternyata beliau sudah menunggu di teras rumah. Lalu, jabat hangat dari beliau menyapa kami. Pak Amin, begitu panggilan akrab kami kepada beliau, mengarahkan kami duduk di ruang tamu. Sapaan akrab pun mengawali perbincangan santai pada silaturahim kami senja itu.
Setelah berbicang santai seputar disertasi kami, juga seputar pernik-pernik dunia maya, kami lantas mengarahkan pembicaraan pada perubahan peta politik dan pemikiran umat Islam pasca Aksi 212 yang nyaris tidak terduga sebelumnya. Bukan Pak Amin Abdullah kalau tidak menggunakan teori-teori keislaman mutakhir ketika membaca, menganalisis, dan menjelaskan fenomena conservative turn yang akhir-akhir ini makin menguat. [Tiba-tiba Bu Amin datang dengan senyum ramah, menyuguhkan hidangan khas: semacam kolak tanpa santan. Rasanya manis agak masam, tapi bikin segar. Sambil menyela, Bu Amin mempersilahkan kami untuk menikmati hidangan istimewa tersebut. Pak Amin pun turut mempersilahkan kami menikmati kolak tanpa santan itu].
Sempat terlintas dalam pikiran kami bahwa kasus yang masih hangat di Bantul [tradisi labuhan yang dirusak dan dibatalkan oleh oknum umat Islam yang tidak sepaham dengan masyarakat setempat] merupakan indikasi dari conservative turn. Suatu paham atau tafsiran terhadap tradisi di Bantul hendak dipaksakan kepada mereka yang memiliki alam pikiran, konsep-konsep, dan motif-motif yang berbeda dengan yang lain. Akhirnya, cara pandang oknum umat Islam tersebut terjerembab pada pola pikir oposisi biner: “benar-salah,” “halal-haram,” dan seterusnya.
Naluri sebagai seorang ilmuwan langsung membuat Pak Amin merespon cepat kasus di Bantul tersebut. Dari kasus ini, beliau menyarankan kepada generasi milenial agar dalam melihat setiap masalah tidak terjebak pada perspektif oposisi binner. Sebab, dunia tidak cukup dilihat berdasarkan perspektif oposisi binner, karena akan menegasikan yang lain.
“Agar tidak terjebak pada perspektif oposisi binner dalam memahami setiap problem, gerakan mahasiswa, Perguruan Tinggi, LSM, dan lain-lain, maka kita perlu me-refresh cara berpikir,” kata Amin Abdullah. “Kita perlu terlatih memahami problem menggunakan complex problem solving,” jelasnya meyakinkan.
Menurut Amin Abdullah, dunia ini tidak bisa diselesaikan dengan pola pikir oposisi biner. Dari contoh kasus di Bantul, kita tidak bisa menegasikan praktik budaya semacam itu. Karena mereka juga memiliki perspektif dan keinginan tertentu dalam praktik budaya semacam itu. [Belum habis hidangan kolak, Bu Amin kembali hadir menghidangkan teh manis. Ah, terasa spesial sekali silaturrahim kami. Dan kembali Bu Amin mempersilahkan kami menikmati teh manis sambil mendengarkan wejangan berbobot dari Guru Besar Filsafat UIN Sunan Kalijaga itu].
Complex problem solving—dalam pengamatan kami—adalah suatu model berpikir yang melihat realitas tidak tunggal atau berdiri sendiri. Suatu realitas itu saling terkait antara satu dengan yang lain, sehingga ketika kita berusaha memahaminya harus menggunakan pola pikir yang kompleks pula. Maka di situlah kita membutuhkan teori-teori lintas disiplin, bukan mono-disiplin. Jika menggunakan perspektif mono-disiplin, yang terjadi adalah oposisi binner. kalau tidak halal, ya haram. Kalau tidak benar, ya pasti salah. Kurang lebih begitulah tangkapan kami dalam memahami complex problem solving.
Selain menggunakan complex problem solving, para generasi milenial juga perlu fleksibel dalam mengatasi setiap permasalahan yang rumit. “Inilah yang sebut cognitive fleksibility. Dalam berfikir, bertindak, bersikap, kita perlu apa yang disebut fleksibilitas. Apalagi kita berhadapan dengan orang-orang, kelompok atau ormas-ormas yang sangat rigid,” tegasnya.
Tanpa terasa, waktu terus bergulir. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.45 WIB. Wacana-wacana segar yang berbobot justru mengalir dalam pertemuan silaturahim yang semula sangat akrab dan santai. Hingga waktu pula yang membatasi pertemuan kami. Namun, dalam benak kami masih mengganjal sebuah pertanyaan seputar karakteristik generasi milenial. Apakah generasi milenial akan mampu menyerap konsep-konsep teoritis yang sangat berat seperti yang diutarakan Pak Amin Abdullah ini? Sekali lagi, bukan Pak Amin kalau tidak memiliki semangat dan optimisme berlebih!
“Saya yakin, suatu saat nanti akan datang generasi baru, entah generasi Alpha entah pula generasi Beta, mungkin pasca milenial, yang sejak awal sudah tahu bahwa generasi sebelumnya tidak beres dalam menyelesaikan masalah karena tidak ada fairness (keadilan dan kejujuran) dalam menyelesaikan masalah. Generasi tersebut akan mengutamakan fairness dalam menyelesaikan masalah yang rumit,” pungkasnya.
[Di akhir pertemuan, sambil bercanda, kami sempat bertanya kepada beliau, “Rumah Pak Amin dikelilingi makam??” Tanpa basa-basi dijawab, “Ya!” Bahkan, bukan hanya dikelilingi makam, tapi kawasan tersebut mayoritas non-muslim. Dulunya, rumah dan pekarangan Pak Amin tergolong wingit atau angker. Mayoritas masyarakat sekitar adalah non-muslim. Hanya sekitar 10% yang muslim. Pak Amin yang pertama kali masuk di kawasan non-muslim tersebut sambil merintis dakwah dengan mendirikan mushala. Kini, kawasan tersebut sudah mulai banyak dihuni keluarga muslim].