Riset

Pikiran Terbuka sebagai Fondasi Kecerdasan Digital

3 Mins read

Mereka yang mencerna infomasi dengan seksama, lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah mendapat petunjuk dari Allah dan mereka itulah orang-orang bijak yang memiliki akal sehat” (QS Az-Zumar ayat 18).

***

Kecerdasan digital merupakan pengembangan dari gerakan literasi digital yang digagas sebagai upaya untuk memberikan panduan bagi masyarakat yang saat ini semakin banyak menghabiskan waktunya untuk berinteraksi di ruang virtual. Salah satu modal dasar dari budaya literasi adalah pikiran yang terbuka (open mind). Dalam upaya menumbuhkan budaya literasi digital, pikiran terbuka tentu juga menjadi fondasi penting yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam mengarungi samudera informasi dan menjalin interaksi di ruang virtual.

Unesco mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan dan kecerdasan untuk mengakses, mengelola, memahami, mengintegrasikan, mengkomunikasikan, mengevaluasi dan membuat informasi secara aman dan layak melalui perangkat digital dan teknologi berjejaring sebagai wujud partisipasi dalam bidang ekonomi dan kehidupan sosial. Definisi ini menggambarkan keluasan cakupan dari literasi digital.

Kajian tentang literasi digital juga sudah berkembang semakin luas di berbagai negara. Misalnya di Uni Eropa dikembangkan sebuah kerangka yang disebut dengan Digital Competence Framework (DigComp) dan beberapa tahun belakangan ini sebuah lembaga nirlaba, yaitu DQ Institute, mengembangkan sebuah kerangka yang disebut dengan Digital Intelligence (DQ) Framework atau kerangka kecerdasan digital untuk memperkaya konsep kecerdasan yang sudah ada sebelumnya yaitu IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Intelligence Quotient).

***

Teknologi internet menjanjikan peluang untuk mendapatkan informasi yang sangat melimpah. Berbagai informasi di ruang virtual yang disediakan secara sukarela oleh warganet maupun penyedia layanan informasi profesional menjadi fenomena lautan informasi maha luas yang kita kenal sebagai big data.

Masalahnya, ruang yang selama ini diasumsikan sebagai ruang yang terbuka, demokratis dan partisipatif ini ternyata tidak sepenuhnya terbuka seperti yang kita bayangkan. Banyak sekat-sekat di ruang virtual yang terbangun karena kristalisasi sudut pandang yang sempit dalam merespon berbagai persoalan. Perlu pikiran yang terbuka dalam mencerna informasi yang kita akses melalui internet agar kita tidak mudah galau, sebagaimana pesan Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 18 yang dikutip diatas.

Baca Juga  Antara Peradaban Timur dan Barat

Individu yang berpikiran terbuka ini adalah cerminan sosok individu yang memiliki kualitas pribadi ulul albab sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur’an. Istilah ulul albab secara sederhana sering diartikan sebagai orang yang berakal, tetapi sesungguhnya memiliki makna yang lebih mendalam. Beberapa terjemahan dari ulul albab selain orang yang berakal diantaranya  adalah orang yang arif (Prof. Muhammad Chirzin), atau orang yang mempunyai akal sehat (Al-Qur’an Karim terbitan Pimpinan Pusat Muhammadiyah).

Dalam terjemahan Bahasa Inggris, kata ulul albab diartikan secara lebih progresif sebagai the people of wisdom atau the people of understanding. Buya Hamka, dalam tafsir Al-Azhar, memberikan makna yang lebih mendalam bagi sosok ulul albab yaitu individu yang mempunyai intisari, mempunyai fikiran, dan mempunyai biji akal yang bila ditanam akan tumbuh.

***

Eli Pariser, seorang aktivis internet, menulis sebuah buku yang berjudul The Filter Bubble: What the Internet is Hiding from You. Dalam buku ini, Pariser mengingatkan para pengguna internet bahwa kecenderungan kita untuk menerima dan mencari informasi yang kita sukai dan sesuai dengan sudut pandang kita masing-masing akan berpotensi menjebak kita masuk dalam gelembung penyaring (filter bubble) atau lingkaran informasi yang sempit. Menurut Pariser, gelembung penyaring ini seringkali terbentuk tanpa kita sadari dengan difasilitasi oleh permainan  algoritma yang diciptakan oleh industri teknologi informasi.

Dalam tulisan lain yang berjudul Freedom to hate: Social media, algorithmic enclave and tribal nationalism in Indonesia, Merlyna Lim, seorang akademisi di Carleton University Kanada, menggunakan istilah kantong algoritmik (algorithmic enclave) untuk menyebut lingkaran informasi sempit yang dibentuk melalui kolaborasi antara pengguna internet dan permainan algoritma komputer.

Merlyna Lim secara khusus menyoroti munculnya berbagai versi nasionalisme Indonesia di ruang virtual yang cenderung saling menegasikan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam kontestasi perebutan kursi gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Baca Juga  Benarkah Saintisme Menentang Keyakinan Agama?
***

Kalau kita sudah terjebak dalam lingkaran informasi sempit ini, dunia virtual yang terbentang luas menjadi nampak terkotak-kotak. Kita jadi sulit untuk menemukan informasi dari sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang kelompok kita. Jika kita tidak ingin terjebak dalam lingkaran informasi ini maka ada beberapa tips sederhana yang bisa dilakukan:

Pertama, buka cakrawala yang seluas-luasnya. Demokrasi dibangun dari kesadaran untuk mau bertukar perspektif dan mendiskusikan berbagai sudut pandang yang berbeda.  Kita harus siap untuk menerima informasi dari sudut pandang yang berbeda dengan apa yang kita yakini dan apa yang kita pikirkan. Jangan cepat puas dalam menerima informasi yang hanya berasal dari satu sumber, coba gali sumber lain yang bisa memperkaya informasi yang kita terima.

Kedua, coba pahami dan bangun empati terhadap argumen kelompok yang berbeda dengan kelompok kita. Seringkali kita sudah terlanjur merasa nyaman dengan apa yang kita yakini dan menutup diri dari sudut pandang yang berbeda. Dengan mencoba membangun empati terhadap pikiran dan keyakinan kelompok lain, paling tidak akan semakin mempersempit jarak antara kita dan mereka.

Ketiga, hindari pertemanan yang terlalu homogen. Jangan hanya berinteraksi dalam komunitas atau lingkaran pertemanan di media sosial yang hanya cenderung merepresentasikan satu sudut pandang saja. Jika ada teman dalam kelompok kita yang memiliki pendapat yang berbeda dengan mayoritas anggota kelompok, jangan buru-buru dihakimi atau bahkan diputus pertemanannya.

Dengan menjalankan tiga tips sederhana ini mudah-mudahan kita bisa belajar menjadi warga digital yang memeliki kecerdasan yang mumpuni, berpikiran terbuka, tidak mudah terpancing emosi dan mampu mengambil hikmah dari berbagai perbedaan sudut pandang dalam menjalin interaksi di ruang virtual yang maha luas.

Baca Juga  Gerhana Bulan 5 Juli 2020, Perlukah Shalat Gerhana?
Avatar
3 posts

About author
Wakil Rektor I Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Articles
Related posts
Riset

Di mana Terjadinya Pertempuran al-Qadisiyyah?

2 Mins read
Pada bulan November 2024, lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak telah diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit mata-mata era Perang Dingin. Para arkeolog baru…
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds