Tajdida

Karakteristik Khilafah dalam Perspektif Sejarah

4 Mins read

Dasar khilafah bagi umat muslim adalah merujuk kembali pada pemilihan ahl al-‘aqd wa al-hall karena Khilafah merupakan akad yang menghasilkan baiat dari ahl al-‘aqd wa al-hall wa al-aqd terhadap seseorang yang dipilih sebagai pemimpin umat setelah adanya musyawarah di antara mereka. Seringkali hal tersebut terkadang diartikan bahwa di kalangan kaum Muslimin penetapan khilafah di dasarkan pada baiat melalui proses pemilihan dan tergantung pada kekuasaan dan persetujuan ahl al-‘aqd wa al-hall wa al-aqd.

Tentu saja ini bisa di terima akal adanya khilafah di dunia ini yang di pilih melalui garis seperti yang telah di sebutkan. Hanya saja kita merujuk pada realitas kita akan mellihat bahwa khilafah dalam Islam tidak berpusat pada asas kekuatan (ar-Raziq,2002:30).

Permasalahan khilafah telah meretas dan memecah keutuhan kaum muslimin dan mempengaruhi pola-pikir, falsafah dari kelompok yang berbeda yang telah sedemikian hebat sehingga persamaan yang ada yakni tauhid, meyakini Allah (at-Tauhid) dan Nabi (Nubuwwah) tidak lagi dapat diselamatkan dari pandangan-pandangan yang berbeda ini. Inilah subjek yang menjadi perdebatan yang paling hebat dalam teologi atau ilmu kalam Islam.

Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang masalah khilafah. Mungkin dengan menyebutkan bahwa dalam Islam terbagi dalam dua madzhab yang berbeda dalam menyikapi masalah ini, dapat membantu para pembaca dalam berurusan dengan masalah ini. Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama selepas Nabi Saw. Madzhab Syi’ah meyakini bahwa Ali bin Abi Tâlib merupakan Imam dan Khalifah setelah wafatnya Nabi SAW.

Pemilihan Pemimpin

Sistem pemilihan pemimpin pada konsep khilafah didasarkan pada kesepakatan umat, bukan semata-semata penunjukkan atau warisan keluarga. Sebelum wafat, Rasul tidak menunjuk siapa penggantinya dalam kedudukan sebagai kepala negara, namun beliau meninggalkan wasiat agar orang – orang mukmin tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Missal terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah melalui pemilihan dan didalamnya terdapat proses-proses yang terbuka, naiknya Umar bin khatab sebagai khalifah melalui isyarat Abu Bakar yang kemudian segera disepakati melalui bulat oleh semua pihak; demikian pula tampilanya Utsman sebagai pengganti Umar melalui 6 orang formatur; dan juga Ali, meskipun ada persoalan, tetapi pada akhirnya tetap melalui pemba’iatan masyarakat luas (Nur Hakim,2005:4-5).

Jika anggota ahlu al-aqdi wa al-hal atau parlemen mengadakan sidang untuk memilih pemimpin (khalifah), mereka harus mempelajari data pribadi orang-orang yang memiliki kriteria-kriteria imamah (kepemimpinan), kemudian mereka memilih siapa diantara orang-orang tersebut yang paling banyak kelebihannya, paling lengkap kriterianya, paling segera ditaati rakyat, dan mereka tidak menolak membaitnya.

Baca Juga  Mengapa Hari Lahir Kiai Dahlan Bukan Hari Pendidikan?
***

Jika diantara hadirin ada orang yang paling ahli berijtihad dan ia layak dipilih, ahlu al-aqdi wa al-hal (Parlemen) menawarkan jabatan pemimpin (khalifah) kepadanya. Jika ia bersedia menjadi pemimpin (khalifah), mereka segera mengangkatnya. Dengan pembaiatan mereka, ia secara resmi menjadi pemimpin (khalifah) yang sah, kemudian seluruh ummat harus segera membaitnya dan taat kepadanya.

Namun jika ia menolak dijadikan pemimpin (khalifah), dan tidak memberi jawaban, ia tidak boleh dipaksa untuk menerima jabatan pemimpin (khalifah), karena imamah (kepemimpinan) adalah akad atas adasar kerelaan, dan tidak boleh ada unsur paksaan di dalamnya. Untuk selanjutnya, jabatan pemimpin (khalifah) diberikan kepada orang lain yang layak menerimanya.

Jika yang memenuhi kriteria ada dua orang, maka yang dipilih ialah orang yang lebih tua kendati usia bukan termasuk kriteria sah juga kalau yang dipilih ialah calon yang paling muda diantara keduannya. Jika calon pertama lebih pandai dan calon kedua lebih berani, maka yang dipilih adalah siapa yang paling tepat pada zaman tersebut (al-Mawardi,al-Sultanniyyah,2006:6).

Kepemimpinan Pasca Nabi Muhammad SAW

Setelah wafatnya Rosulullah SAW, Pergantian kepemimpinan dari tangan Rosulullah ke tangan sahabat yang biasa dikenal dengan sebutan khulafaur rasyidin. Khulafaur rasyidin memiliki pengertian orang – orang yang terpilih dan mendapat petunjuk menjadi pengganti Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat tetapi bukan sebagai nabi atau pun rosul akan tetapi menjadi seorang pemimpin.

Khulafaur rasyidin berasal dari dua kata bahasa arab, yaitu khalifah dan ar rasidin. Khalifah yang artinya pengganti dan ar rasidin yang artinya orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Pedoman yang dijadikan pegangan untuk memimpin islam adalah Al-Quran dan Sunah Al-Hadist. Para khalifah ini tetap menggunakan sistem pemerintahan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah.

Baca Juga  Menafsirkan Ulang Makna Khilafah

Para khalifah yang memimpin umat islam antara lain Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Ustman ibn Affan, serta Ali ibn Abu Thalib.Masa mereka merupakan masa keemasan , zaman ideal, di mana pemerintahan dijalankan seperti halnya pemerintahan masa Nabi . Karena alasan ini, mereka dikenal sebagai khulafaur rasyidin, yakni “para Khalifah penunjuk jalan kebenaran ”.

Kepemimpinan Pasca Khulafaur Rasyidin

Kedudukan kepemimpinan setelah wafatnya khulafaur rasidin sebagai khalifah, kemudian kekhalifahan dijabat oleh putra Ali yaitu Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan menginginkan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah, maka Hasan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Dan akhirnya penyerahan kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Di sisi lain, penyerahan itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah. Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.

Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai.

Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah: Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat. Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia.

Semangat dakwah tersebut membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam. Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.

Baca Juga  Charles J. Adams: Perbedaan Islam dan Agama

Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.

***

Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya untuk masuk Islam. Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka. Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya.

Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh. Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa’ al-Rasyidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut teladan nabi. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan.

Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan. Mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan para penguasa sesudahnya sering bertindak otoriter.

Editor: Yahya FR
Avatar
5 posts

About author
Ketua Umum IMM FISIP UIN Jakarta, Founder Terminal Kopi Indonesia
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *