Falsafah

Islam Post Konvensional: Agama Kasih Tanpa Pilih

3 Mins read

Munculnya fakta tentang menguatnya nasonalisme etnosentris di dataran Amerika dan Eropa lewat gerakan ekstrem kanan yang anti imigran juga seringkali anti warga negara muslim membuat kita cenderung melihat diskurus Islamophobia sebagai satu isu politik yang sengaja diangkat untuk menjadi jualan akhir dalam kampanye kemenangan. Meski fenomena seperti ini bukan hal yang baru dalam peta politik dunia, namun ada baiknya kita mulai membaca soal ini secara lebih radikal di luar sudut pandang yang politis.

Fenomena Islamophobia harus kita lihat secara utuh dalam diskursus teologis dan historis. Munculnya gerakan terorisme tidak bisa kita simplifikasikan sebagai agenda politik semata. Keterlibatan teologi jihad yang dipahami secara parokial, cukup dapat memotivasi orang beragama untuk mengakhiri kepedihan hidup dunia yang mereka pahami secara teologis sebagai penjara sementara. Maka jihad dalam pengertian pengorbaan jiwa diletakkan sebagai puncak anak tangga untuk sampai pada perjumpaan transendental dengan Tuhan.

Dalam sudut pandang historis, kekerasan dan berbagai konflik terjadi di negara-negara muslim Timur Tengah. Di Indonesia, kekerasan terhadap agama minoritas masih tetap berlangsung, entah itu dengan pelemparan dan pembakaran rumah ibadah, atau pelarangan kegiatan ibadah. Termasuk diskriminasi terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiah. Dengan berbagai persoalan ini, Islam dalam kaca mata sosiologis dengan sendirinya akan tercitrakan sebagai agama kekerasan, sarang terorisme, fundamentalisme, fanatisme, banalisme, ajaran permusuhan juga sebagai agama terbelakang yang dianut oleh manusia-manusia sentimen.

Tentu saja kita tidak sedang berupaya menafikan keterlibatan berbagai kepentingan predatoris oportunis di dalam memainkan instumentalisasi Islam secara manipulatif dengan menggalakkan sentimentalitas umat Islam untuk membentuk kerumunan massa yang murka terhadap rezim thaghut.

Namun yang perlu dicatat bahwa sentimentalitas umat berkaitan erat dengan eksklusifitas beragama. Semakin tertutup pemahaman keberagamaan seseorang, maka semakin besar juga potensinya untuk menjadi lebih sentiment. Sikap beragama yang cenderung eksklusif inilah yang pada saat ini terlampau sering dikooptasi oleh pihak tertentu untuk mendayafungsikan potensi sentimentalitas umat agama demi pragmatisme politik semata. 

Baca Juga  Ekonomi Islam : Ekonomi Diislamkan atau Islam Diekonomikan?

Teologi Inklusif

Salah satu aspek elementer yang sangat menentukan dalam upaya kita memproyeksikan masa depan Islam adalah sikap keberagamaan yang terbuka di dalam membaca dialektika zaman. Tidak malah memasung diri dan bersikap apriori terhadap segala yang bersinggungan dengan barat seraya mendemonstrasikan bangsa Arab sebagai titik optimum perabadan manusia di mana Arab menjadi satu-satunya mata air kesalehan yang dibutuhkan untuk menetralisir berbagai kebejatan moral yang lebih banyak diasalkan pada barat.

Radang eksklusivisme semacam ini sering kali menjebak kita dalam kepicikan cara pandang yang membuat kita secara naïf tidak mampu membedakan antara Islam sebagai sebuah agama nir batas secara geografis, dengan Arab sebagai sebuah kode kebangsaan yang terbatas. Baik Islam maupun Arab, keduanya mempunyai ethical problem of good life atau pun weltanschauung yang berbeda. Contoh sederhananya adalah, Arab memilih sistem politik dinastik yang otoriter. Sementara Islam memandang manusia sebagai makhluk berdaulat yang wajib menegakkan moralitas kemanusiaan dalam bingkai ketuhanan. Serta mencegah berkembangbiaknya amoral. Di mana, salah satu bentuk nyata amoral saat ini adalah abainya umat Islam dalam melihat secara kritis proses reproduksi kebejatan oleh pasar kapitalistik beserta konco-konco birokrasinya dan hanya sibuk memikirkan usaha multiplikasi populasi umat secara eksponensial

Dalam dialektika Islam politik dan kebangsaan, Islam menjadi salah satu kekuatan sentral yang sampai hari ini dianggap menentukan bagi terbentuknya komunitas religius yang rukun, toleran, serta kritis dalam kerangka masyarakat pluralistis seperti Indonesia. Tentu anggapan ini lahir dari hasil perenungan yang panjang tentang Islam dan Al-Qur’an sebagai himpunan risalah yang berpikiran maju dan mampu berdialog dengan zaman.

***

Termasuk mendukung ide-ide terbaik yang ditawarkan modernitas untuk kemajuan umat manusia. Namun prasyarat mendasar untuk dapat berdialog dan saling mendukung antara Islam dan seluruh elemen kekuatan tersebut adalah tampilnya Islam sebagai agama untuk semua manusia, Rahmatan lil Alamin. Di mana kebaikannya terdistribusi ke seluruh penjuru semesta tanpa mengenal asas dan batas. Tak mengenal ras, suku, bangsa maupun agama, baik kepada yang murtad maupun mualaf

Baca Juga  Averroes, Nalar, dan Syariat

Prinsip universalitas yang diasalkan pada agama Kristen dari ajaran Isa Al-Masih tentang kemanusiaan universal, harus dihubungkan dengan ajaran kasih tanpa pilih dalam ajaran Islam. Sehingga, Islam mampu tampil menjadi agama yang melampaui identitas konvensionalnya sebagai agama bagi umat tertentu. Juga bukan sekadar nama bagi keyakinan religius partikular tertentu yang oleh Habermas disebut Identitas post konvensional. Menuju agama yang maju di mana sinyal kemajuannya meluapi seluruh sisi semesta hingga meleburkan identitas-identitas keyakinan, kebudayaan, kekuasaan, kesejahteraan, pasar, geogarafi, dan sebagainya ke dalam satu cita-cita peradaban moral universal dalam tuntunan cinta kasih yang digali dari iman reflektif.

Namun yang jauh lebih perlu untuk dicatat bahwa teologi inklusif Islam semacam ini hanyalah upaya refleksi lintas iman di dalam usahanya menemukan apa yang disebut Cak Nur sebagai “Kosakata yang sama” dengan bahasa kemanusiaan universal yang akan menangani perbedaan  comprehensive religious doctrine di setiap iman religius tanpa perlu menjadi schizophrenic. Dengan menanggalkan pakaian agama masing-masing keyakinan. Sebab yang merusak kerukunan dan menghambat kelancaran arus demokrasi, bukanlah preferensi iman yang barang tentu dimiliki oleh setiap warga masyarakat, melainkan determinasi dan monopoli sebuah agama terhadap agama lain yang tidak bisa menangani perspektif etnosentrisnya.

***

Keberadaan teologi inklusif diharapkan dapat menertibkan warga agama untuk menjelma menjadi warga negara beriman yang menghormati hak-hak sipil masing-masing individu, termasuk membela dan memproteksi hak warga agama lain untuk menjalankan keyakinan agamanya dengan tenang serta penuh rasa aman dari gangguan dan ancaman warga agamanya sendiri. Oleh karenanya, sikap keagamaan yang kritis dan berani membela kebenaran tanpa tebang pilih, harus selalu mengakar dalam sanubari iman religius kita serta tertancap kuat dalam jantung spiritual umat beragama secara umum. 

Baca Juga  Al-Ghazali & Kekuasaan (2): Kewajiban dan Pembagian Waktu Kepala Negara
Editor: Yahya FR
Avatar
2 posts

About author
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *