Riset

Sekularisme dan Kemunduran Umat Islam

4 Mins read

Terdapat beberapa aspek yang menjadi sebab kemunduran atau keterbelakangan umat Islam. Jumlahnya banyak, bahkan hingga bertumpuk-tumpuk. Tetapi simpulnya saya kira adalah lemahnya budaya ilmu umat Islam. Sehingga yang mengambil alih dan mendominasi ilmu pengetahuan modern kini adalah bukan dari Islam.

Pernyataan di atas relevan jika kita memandang Islam dan peradaban yang lain sebagai sesuatu yang vis a vis, maka daripada itu, timbul pertanyaan lain. Pertanyaannya adalah; kenapa kebanyakan umat Islam seakan silau? Apa pasal? Dan sesuatu apakah yang menopang kemajuan Barat itu?

Menyoal Peradaban Barat yang Sekular

Pelan tapi pasti, segala mitos mulai menemukan faktanya. Determinisme teknologi, masuk ke dalam ruang-ruang keseharian manusia. Dan kenyataannya, teknologi memang tampil sebagai jawaban atas mitos-mitos pengetahuan. Pertanyaan awal yang perlu kita ajukan, dari mana semangat itu bermula? Atau faktor apa yang menyebabkan manusia terdorong untuk melakukan pencarian itu?

Jika kita runut beberapa sumber, sesungguhnya semangat itu lahir dari proses panjang tradisi nakal umat manusia atau para ilmuan. Dalam perspektif Barat, benang sejarah yang timbul akan menunjukan keterangan, bahwa Eropa yang diasosiasikan mewakili Barat, yang kemudian di simplifikasi menjadi Katolik, punya catatan tidak harmonis antara pihak agama dengan komunitas di luar itu.

Perlakuan semena-mena para rohaniawan lewat dogma-dogma gereja, membuat ‘geram’ sebagian pemikir akar rumput, yang menghabiskan hari melihat dunia yang terbuka dan memperhatikan gejala di masyarakat. Berbeda dengan para Paus yang hanya menggunakan otoritas nya hanya dari ruang gelap dan sempit.

Timbulah semangat pembuktian akan kebenaran. Mereka mengajukan alternatif pengetahuan yang selama itu kadung di-amin-kan gereja. Bermula dari sana lah, kita mengenal sejarah masa Renaissans. Di mana ilmu pengetahuan hadir di Barat laiknya cahaya penuntun. Membawa manusia dari kebenaran gereja menuju kebenaran yang lebih kontekstual, yang oleh Arkoun disebut sebagai kebenaran sosiologis.

***

Dari sanalah konsep awal sekularime dibentuk. Sekularisme adalah upaya membangun tapal batas antara wahyu dan akal. Tepatnya, wahyu yang ditafsirtunggalkan oleh otoritas gereja. Sejarah peradaban Barat memang sarat akan politik kekuasaan dan gagah-gagahan.

Baca Juga  Kyai Ali Yafie: Fikih Juga Harus Bahas Soal Sosial dan Lingkungan

Periode Renaissans itu secara tidak langsung menyisakan mental superioritas bangsa Barat. Capaian pengetahuan akan pesatnya temuan-temaun di bidang kesehatan, teknologi, dan semisalnya, menjadi pemicu utama yang mereka pikir dan gunakan sebagai standar kemajuan sebuah bangsa. Kini, Barat ditopang dengan pilar yang demikian.

Lalu apakah benar, ilmu pengetahuan dan teknologi yang kini didominasi oleh Barat, bersifat sempurna, tidak ada masalah, atau justru cacat masalah?

Kita bisa melihat dengan terang, betapa teknologi dan pengetahuan Barat mengandung paradoks. Seolah mempunyai wajah ganda yang berlainan sisi. Sebetunya, kemajuan Barat terlihat cantik hanya sebatas permukaan kulit. Jika kita jeli menengok institusi masyarakat dan komunitas sosial mereka, sesunggunya dalam kondisi rapuh.

Menengok Sejarah

Kemudian sebagaimana penulis singgung pada awal tulisan ini, mengapa kita (muslim) masih saja silau dengan Barat? Tidak adakah akar sejarah yang bisa kita banggakan agar bisa dengan percaya diri menunjuk peradaban Barat yang congkak, atau seminimal mungkin bangga mengidentifikasi diri sebagai seorang muslim. Berada di manakah posisi Islam di tengah kemajuan sains dan teknologi Barat? Dan bagaimana harusnya kita memandang dan meletakan sains dan teknologi itu?

Saya akan coba uraikan premis Barat mengenai pengetahuan dan teknologi dengan jalan pikiran dari orang barat sendiri. Adalah sejarawan Tim Wallace-Murphy. Ia menulis buku “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization”. Yang kalau kita peras isi bukunya, sesungguhnya ia hendak ingin melakukan pembelaan terhadap Islam.

Jadi, dalam konteks ini, sumbangsih apa yang Islam berikan terhadap Barat?

Pada masa sebelum terjadinya Renaissans, Barat sangatlah terpuruk. Mereka sedang melakukan transisi. Pada zaman yang merujuk periodisasi sejarah, saat itu mereka berada pada zaman pertengahan (The Middle Ages). Pada waktu yang sama, imperium Islam di Andalusia yang kita kenal sebagai Spanyol hari ini, dan di daratan Eropa lainnya, tengah mengalami masa yang boleh dibilang keemasan dan berkilau. Kebudayaan, teknlogi, dan ilmu pengetahuan, hampir semua berada di genggaman ilmuan muslim.

Baca Juga  Makna Haji Mabrur dan Ciri-ciri Orang yang Meraihnya

Dalam kondisi itulah, Barat terpikirkan mulai berguru pada Islam. Ilmuan-ilmuan mereka mulai melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap teks kebudayaan Islam, buku-buku yang menyoal kedokteran, astronomi, matematika, ekonomi, psikologi, filsafat, dan sebagainya dialihbahasakan. Sehingga itulah yang menjadi sumber pengetahuan mereka dan mulailah tokoh-tokoh ilmuan besar bermuculan. Lalu distribusikanlah pengetahuan itu ke masyarakat luas.

***

Secara tidak langsung dan langsung, ilmuan muslim macam: Ibnu Sina, Ibn Rushd, Al Khindi, Al-Farabi, Omar Khayam, Al Khwarizmi, dan Nasir al Din Tusi, nama-nama tersebut dengan cuma-cuma alias gratis, mentransfer pengetahuan mereka kepada ilmuan barat.

Pengetahuan itu kemudian mereka modifikasi dan diajarkan secara serius, dari generasi ke generasi. Sanad keilmuan mereka tak terputus. Bahkan konsep institusi pendidikan tinggi, berupa kampus-kampus modern yang ada di Eropa saat ini, sebetulnya diilhami dari Andalusia. Melalui itu, mereka mengajarkan sains yang dikemudian hari membantu bangkitnya peradaban mereka.

Meskipun Barat juga terbantu dengan peradaban sebelum Islam: Yunani, Romawi, Persia, dan India, tetapi Barat meneguk air yang paling banyak sekaligus segar dari Islam, dibanding dengan peradaban lainnya. Peradaban Islam sekaligus antitesa dari yang lain.

Paparan sejarah yang ditulis Tim Wallace-Murphy, mestinya membuat kita sadar bahwa kesilauan terhadap Barat sungguh merupakan pikiran yang Ahistoris. Jelas sudah bahwa hubungan antara Islam-Barat di masa lalu menjadi pijakan bagi Barat untuk membalikan sejarah. Dengan kata lain, setelah peradaban mereka mulai terbentuk kembali, mereka balik melakukan penggembosan terhadap peradaban Islam di Eropa. Kita tau jalan cerita berikutnya. Adagium sejarah ditentukan oleh pemenang, sangat bisa kita rasakan hari ini.

Dan lagi, yang lebih penting adalah, mari kita mulai berpikir. Tengoklah fakta bahwa sejarah agama kita tidak satu akar dengan peradaban Barat. Islam punya ciri  peradaban yang khas, ide mengenai sekularisme harusnya mentah tertolak.

Baca Juga  Perbedaan Mencolok Kampus Indonesia dan Australia

Sejarawan Barat lain, Cemil Akdogan menjelaskan, bahwa sains Islam adalah produk dari pendekatan tauhidik. Sementara sains Barat sebaliknya, adalah produk dari pendekatan dualistik. Islam memandang sains adalah bagian daripada kebenaran Al-Qur’an dan sunah yang kemudian terbukti secara ilmiah. Sedangkan Barat menganggap sains tidak lebih dari temuan dan hasil kerja keras penalaran manusia. Sains dalam benak Barat bersifat godless dan profane.

Sebuah Refleksi

Dengan segala catatan mewah sejarah kejayaan Islam di masa lampau, masih tetapkah kita ingin mempertahankan pikiran bahwa Barat lebih maju dibanding dengan Islam? Atau kita patut merenung, dan bertanya mengapa Islam yang dahulu menguasai peradaban dunia dan dunia hidup dalam kedamaian, justru pada abad ini seolah mengalami kejumudan?

Mungkin hal-hal di atas terkesan seperti sebuah apologi, karena itulah kita harus jadi umat yang move on. Bahwa Islam pernah begitu jaya, tidak ada yang bisa memungkiri. Tetapi bukan berarti kita silau mata dengan peradaban Barat hari ini, lalu seketika berlaku kerdil.

Saya pikir, sudah terang dan kita bisa memperkirakan sendiri jawaban dari pertanyaan: “Mengapa umat Islam mengalami kemunduran?”

Persis sebagaimana yang disampaikan Syaikh Muhammad Abduh, “ Al Islamu mahjuubun bil muslimin.” Ajaran Islam sudah sangat lengkap, memuat semua perangkat tetapi justru umatnya jauh dari kata sempurna. Walhasil, Islam ditutupi oleh umatnya sendiri.

Terakhir, kita punya pekerjaan yang besar. Umayah berlanjut ke Abasiyah dan Utsmani, saya akan sisakan satu pertanyaan tambahan untuk semua yang di atas, akankah kita hanya sebatas mengenang serakan sejarah dan sebatas mengutuk gelap?

Mari nyalakan lilin. Ketika Anda selesai membaca catatan ini, ada harapan dan sepercik cahaya peradaban. Sebab salah satu  syarat terbentuknya kembali peradaban Islam adalah lewat kegemaran membaca, dan IBTimes.ID menyediakan ruang baca itu. Tapi persoalan lain tak pernah se-sederahana yang kita kira.

Editor: Yahya FR
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *