Perspektif

Pilih Mana, Mempertahankan atau Mengabaikan Tradisi?

3 Mins read

Bulan Ramadan telah berlalu. Amat disayangkan kali ini kita tidak bisa melaksanakan Ramadan seperti biasanya. Sejak diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Presiden Jokowi akhir Maret lalu, semua aktivitas membeku.

Mulai dari sektor perekonomian, pariwisata, hingga pendidikan pun dilaksanakan dari rumah. Hal ini dilakukan sebagai upaya memutus mata rantai penularan virus Covid-19 di Indonesia.

Kemudian, tiba waktunya untuk menyambut bulan Syawal. Ditandai dengan dilaksanakannya salat Idulfitri dan berbagai tradisi yang biasa kita lakukan saat lebaran. Tetapi, lagi-lagi karena pandemi, tradisi saat lebaran pun ikut membeku di sebagian daerah.

Kenapa sebagian? Karena, entah karena masyarakat kita yang sulit untuk menunda tradisi atau memang terlalu abai oleh aturan pemerintah, sehingga beberapa daerah masih menyelenggarakan tradisi lebaran.

Kebutuhan Membeli Baju Baru

Menjelang momen lebaran, kebutuhan membeli baju baru pun dianggap wajib. Tahun-tahun sebelum adanya pandemi menyebar ke seluruh dunia, dipastikan pengunjung pusat perbelanjaan meningkat. Apalagi toko yang menjual pakaian. Akhirnya, tingkat penjualan pakaian saat mendekati lebaran pun tinggi.

Tradisi membeli baju lebaran ternyata telah ada sejak zaman kerajaan dan mengakar, sampai rasanya sulit untuk menunda sejenak kegiatan ini. Miris sekali ketika kita melihat pemberitaan di televisi atau media daring kalau masyarakat kita masih saja ada yang bandel membeli baju lebaran di pusat perbelanjaan seperti mall atau pasar. Akibatnya, pusat perbelanjaan pun ramai dan berkemungkinan besar menjadi tempat penularan virus Corona.

Ataukah mungkin ini salah pemerintah, karena pusat perbelanjaan masih tetap buka (terkhusus toko pakaian) di tengah-tengah pandemi? Entahlah, coba kita renungkan bersama-sama.

Tradisi Takbir Keliling

Pelaksanaan takbir keliling ini cukup sederhana, namun beragam di tiap daerahnya. Ada yang berkeliling sambil membawa obor dan memukul beduk dengan arak-arakan. Ada yang berkeliling sambil membawa dan memukul beduk yang ditaruh di mobil pikap dan diarak dengan motor.

Baca Juga  Meski COVID-19, Minangkabau Tetap Adakan Tradisi Sambut Lebaran

Dan ada juga yang cukup dengan membawa obor saja. Persamaannya ialah saat takbir keliling dilaksanakan, mereka akan mengumandangkan tahmid, tahlil, dan tahsin secara bersamaan.

Berdasarkan KBBI Edisi V, beduk adalah gendang besar yang berada di masjid yang dipukul untuk memberitahukan waktu salat. Namun, seiring waktu penggunaan beduk diperluas menjadi alat pengiring untuk membangunkan sahur dan takbir keliling.

Karena kegiatan ini bersifat massal alias mengumpulkan banyak orang, alhasil untuk sementara, masyarakat dihimbau untuk tidak melaksanakan takbir keliling dahulu. Takbiran bisa dilakukan dari rumah.

Malah pemerintah bekerja sama dengan DKM Masjid Istiqlal menyelenggarakan takbiran virtual, langsung dari Masjid Istiqlal, DKI Jakarta. Hal ini dilakukan supaya masyarakat tetap mengikuti protokol dan juga upaya menjaga tradisi takbiran untuk menyambut Hari Raya Idulfitri. Walaupun dengan cara yang berbeda. Yang terpenting makna yang akan didapatkan tetaplah sama.

Salat Idulfitri

Pandemi pun membuat masyarakat sulit beribadah seperti biasanya. Semua tempat peribadatan untuk sementara dinonaktifkan penggunaannya sebagai upaya memutus mata rantai penularan virus.

Alhasil, seluruh aktivitas beribadah dilakukan di rumah. Demikian juga dengan perayaan setiap agama di dunia, seperti Waisak dan Hari Raya Nyepi.

Biasanya umat Islam akan melaksanakan solat Id berjamaah di masjid atau halaman yang luas. Untuk tahun ini, pelaksanaan salat Id agak berbeda. Dikarenakan adanya anjuran untuk salat Id di rumah saja, berjamaah dengan keluarga masing-masing.

Namun, beberapa masjid di berbagai daerah masih tetap melaksanakan salat Id berjamaah di masjid. Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), salat Id boleh dilaksanakan hanya di kawasan yang terkendali atau berada di zona aman.

Sedangkan untuk kawasan yang rentan penyebaran virusnya, dihimbau untuk tetap melaksanakan salat Id di rumah. Pelaksanaan salat id pun harus sesuai dengan protokol yang sudah ditentukan oleh Presiden Jokowi, yaitu dengan menjaga jarak aman dan memakai masker.

Baca Juga  Endhog-Endhogan: Sebuah Tradisi Menyambut Maulid Nabi

Tradisi Bersalam-salaman, Halalbihalal, dan Open House

Setelah melaksanakan salat Idulfitri, biasanya kita akan bersalam-salaman dengan sesama jemaah dan tetangga. Kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari acara silaturahmi dan ritual bermaaf-maafan di hari lebaran.

Lalu, bagaimana dengan halalbihalal dan open house? Sejatinya halalbihalal sama dengan bersalam-salaman, hanya tata cara pelaksanaannya saja yang agak berbeda. Jika bersalam-salaman, kita mendatangi tetangga dari pintu ke pintu.

Sedangkan,  halalbihalal adalah kegiatan bermaaf-maafan dengan cara mengumpulkan orang banyak di suatu tempat. Dan tradisi halalbihalal ini hanya ada di Indonesia.

Berbeda dengan tata cara pelaksanaan open house. Yaitu dengan mengumpulkan banyak orang di suatu tempat dengan menyediakan hidangan-hidangan khusus hari raya, seperti opor ayam, ketupat, rendang, dan sebagainya. Kita bisa menyebutnya dengan silaturahmi disertai acara makan bersama.

Namun, ketiga tradisi ini tidak bisa terselenggara sebagaimana mestinya. Karena potensi penularan virus Covid-19 cukup besar apabila kegiatan tersebut tetap dilaksanakan.

Tetapi, keadaan ini sepertinya kurang berlaku di lingkungan rumah saya (perkampungan di Tangerang). Tradisi ini tetap dilaksanakan, meski agak dibatasi. Kami tidak melakukan kontak langsung (berjabat tangan), hanya menangkupkan kedua tangan di depan dada sambil mengucapkan Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin kepada tetangga yang dijumpai.

Tradisi Ziarah

Ziarah kubur adalah salah satu agenda yang selalu dilakukan di Hari Raya Idulfitri. Karena kegiatan ini juga berpotensi menyebarkan mata rantai penularan Corona, MUI menghimbau keluarga muslim untuk tidak berziarah dahulu sampai pandemi ini berakhir. Terkhusus bagi masyarakat yang berada di kawasan zona merah Covid-19.

Sebagaimana halnya dengan kebiasaan, tradisi pun sulit dihilangkan dengan serta-merta. Butuh penyesuaian dan kontrol diri yang cukup lama. Tetapi, bila dihadapkan dengan situasi saat ini di mana pandemi sudah menyebar hampir ke seluruh dunia, masihkah perlu bersikap egois? Penyesuaian dan kontrol diri harus dilakukan, suka tak suka, supaya pandemi ini lekas berakhir.

Baca Juga  Mengkaji Ulang Makna Sekularisasi ala Cak Nur
Editor: Yahya FR
1 posts

About author
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds