Sebagai negara yang demokratis, pesta demokrasi adalah hal yang sangat dinanti-nantikan bagi para politikus dalam menyusun strategi kemenangan pada pertarungan politik. Melihat kondisi yang terkait dengan pilkada 2020 ini, sebenarnya masih ada yang menginginkan Pilkada ditunda mengingat negara kita masih dilanda wabah pandemi Covid-19. Salah satu alasannya karena ia dapat membuka klaster baru dalam penyebaran Virus Covid-19 yang semakin hari terabaikan. Termasuk dua organisasi islam terbesar yakni NU dan Muhammadiyah yang menghimbau pemerintah untuk menunda Pilkada dan mestinya lebih fokus pada penanganan penyebaran Covid-19.
Pada Pilkada Serentak 2020 nantinya, tentu sangat diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang keberpihakanya murni pada rakyat dengan status sebagai wakil rakyat, bukan justru malah mengecewakan rakyat dengan kebijakan yang kontroversial.
Pilkada bukan hanya konteks coblos-mencoblos, melainkan memilih dan menentukan siapa yang akan memimpin suatu daerah dalam jangka waktu 5 tahun ke depan.
Walaupun demikian, pemerintah tetap bersih keras untuk melaksanakan Pilkada serentak 2020 pada bulan Desember. Mengapa? Karena pandemi Covid-19 tidak ada yang mengetahui kapan berakhirnya. Dan ketika menunda Pilkada, dikhawatirkan PLT pemerintah nantinya tidak mampu menjalankan amanah dengan baik atau bisa juga melakukan tindakan yang kontroversi. Asalkan dalam pelaksanaan Pilkada nanti tetap mematuhi protokol kesehatan.
Money Politic: Antara Dosa dan Rezeki
Pilkada bukanlah hal baru bagi masyarakat di atas banyaknya propaganda dan kampanye-kampanye politik oleh para calon untuk dapat dipilih oleh masyarakat banyak.
Dengan itu pula, praktik-praktik jalan kotor pun memungkinkan bisa terjadi. Seperti halnya money politic yang sudah menjadi kebiasaan dan mendarah daging di masyarakat, bahkan hal itu dianggap bukan pelanggaran lagi. Padahal, secara konstitusi praktik money politic adalah pelanggaran dalam Pilkada sebagaimana diatur dalam Pasal 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Pada faktanya ada ulasan bahwa ‘nyebar-nyebarkan uang saja belum tentu terpilih, apalagi jika tidak’. Partisipasi masyarakat untuk ikut pada Pilkada ketika ada uang sangatlah besar, dan itu juga memicu bahwa suara rakyat seakan mampu dihargai hanya dengan selembar uang.
Persepsi masyarakat atas kondisi demikian tentu juga berbeda-beda. Sehingga dengan praktik money politic tersebut masyarakat tidaklah boleh hanya dijadikan sebagai objek masalah. Kondisi masyarakat akan menerima uang jika ada yang memberi, itu adalah sifat alamiah. Rejeki tidak mungkin ditolak, karena bukan masyarakat sendiri yang memintanya.
Kasus-kasus money politic di masyarakat, tidak akan hilang kalau bukan para calon bersama timnya yang berhenti untuk melakukannya. Ketika calon melakukan praktik money politic masyarakat bahkan dapat menerima semua walaupun ada 3-5 calon. Dan sikap emosional dan intelektualitaslah yang sangat mempengaruhi pada pemilihan calon pemimpin ke depan.
Di sisi lain, tidak sedikit juga ada masyarakat yang memang menolak praktik money politic. Anggapan bahwa praktik money politic hanya merusak mental manusia dan termasuk dosa besar dalam Pilkada. Sehingga ada label kalau money politic, apakah itu dosa atau rezeki?
Janji dan Praktik Politik Dinasti di Pilkada
Menjelang Pilkada, tentu para calon akan mempropagandakan berbagi cara untuk menarik elektabilitas diri di ruang publik. Kampanye untuk mensosialisasikan para calon dilakukan secara massif dan konferehensif. Janji-janji pun diutarakan kepada masyarakat untuk menarik perhatian. Walaupun, itu hanyalah ilusi dan retorika manis yang disusun sedemikian rupa.
Dengan alasan yang kuat, kejadian yang kontroversial dan mengecewakan sering terjadi justru memunculkan mosi tidak percaya pada pemerintah akibat tindakan yang pernah dilakukan dan tidak sesuai pada ekspektasi saat mengutarakan janji dan pada saat ia terpilih.
Seiring dengan hal tersebut, praktik nepotisme pun bisa saja terjadi. Jurang-jurang pewarisan tahta kekuasan berjalan tanpa ada halangan. Walaupun, hak politik masyarakat dalam bingkai demokrasi sama, namun dalam realitanya justru praktik nepotisme masih terjadi.
Pesta demokrasi harusnya semua orang dapat bergembira, akan tetapi perwujudan demokrasi yang berkualitas masih menjadi tanda tanya besar. Padahal sejatinya demokrasi itu bersih, demokrasi yang tidak ada indikasi kecurangan di dalamya dan keberpihakan hanya ada pada rakyat dan masyarakat luas.