Partai Komunis Indonesia, sebuah partai yang “terlarang” di negeri ini. Menyebut namanya atau membaca sejarahnya saja terlihat tabu di Indonesia. Kita semua tahu bahwa partai ini sudah ditiadakan sejak lama. Namun apakah PKI yang dilarang benar-benar mati? Ataukah justru masih ada dan abadi?
PKI Dilarang
Memang dalam perjalanan sejarah, histori PKI memiliki beragam versi. Dan kita tidak cukup membaca satu versi saja. Ada versi orde baru yang menggambarkan PKI bak setan yang dulunya menggeregoti manusia-manusia Indonesia.
Ada juga versi lain bahwa PKI adalah partai yang dulunya sangat pro rakyat. Yang lain pula mencoba seimbang dalam memetakan sejarah terkait PKI itu. Apalagi kaitannya dengan sejarah pembantaian 1965 sampai 1966-an, terutama peristiwa G30S/PKI.
Namun, hingga kini narasi politik banyak yang dimainkan terkait sejarah PKI yang mayoritas menggunakan versi orde baru. Rezim orde baru dengan produk-produk kebudayaan dan pengendalian kurikulum pendidikan berhasil mengkonstruksi pikiran masyarakat Indonesia. Hingga akhirnya kita bersepakat bahwa PKI adalah partai jahat nan beringas.
PKI akhirnya tamat riwayatnya ketika diterbitkannya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI. PKI dilarang beserta dengan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham dan ajaran komunis serta Marxisme-Leninisme.
PKI Abadi dalam Pikiran
Dari paparan di atas, dapat kita ambil simpulan bahwa Partai Komunis Indonesia telah dimatikan. Namun satu hal yang membuat PKI akan selalu abadi. Dan tidak mungkin untuk dimatikan, kendati dengan paksaan. Yakni dengan sistem kerja pikiran dan ingatan kita.
Pertarungan ideologi mungkin dikatakan telah usai pasca perang dingin. Sebagaimana digambarkan dalam “The End of History and The Last Man” karya Francis Fukuyama. Ketika blok Nato yang liberal mengalahkan blok Uni Soviet yang komunis.
Ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin dan terpecah belahnya negara sekutu Uni Soviet. Berakhirnya perang dingin menjadikan liberalisme dan kapitalisme sebagai ideologi tunggal atau The Last Man yang mendominasi ideologi di dunia.
Namun jika ideologi merupakan satu gagasan, ide-ide dasar, kepercayaan yang bersifat dinamis dan keyakinan yang digunakan oleh suatu negara, komunitas maupun personal untuk tujuan dan cita-cita, maka ideologi komunisme runtuh dalam lingkup yang besar, yakni negara. Dalam artian secara sistem politik, komunisme memang kalah jauh dari liberalisme.
Di Indonesia pun demikian, ideologi Pancasila dan sistem pemerintahan demokrasi dianggap paling ideal dan bahkan final. Dan barang siapa yang menggunakan simbol maupun memperlajari paham komunisme, ia secara langsung dituduh sebagai warga negara yang anti Pancasila.
Tapi bagi saya, tidak ada salahnya mempelajari paham komunisme atau sejarah PKI. Karena itu adalah upaya merawat nalar kesejarahan bangsa Indonesia.
Kembali lagi, disebabkan sifat ideologi yang dinamis, maka masih terjadi perdebatan di dalamnya. Hal demikian merupakan sebuah kewajaran. Begitupun dengan komunisme, dalam sistem gagasan dan ide, ia masih bertahan. Itu sebabnya kekhawatiran dan perasaan terancam terhadapnya masih terus ada.
Aturan Tidak Membatasi Pikiran
Lantas apakah larangan atas ideologi komunisme dalam bentuk aturan mampu membatasi alam ide setiap manusia yang sifatnya sangat abstrak dan tidak mampu diukur? Saya pikir tidak.
Diskurus tentang ideologi bagi saya belum usai. Ia akan selalu abadi dalam dunia ide dan pikiran kita. Dunia yang sangat liar dan tidak bisa dibatasi oleh apapun dan siapapun , kecuali Tuhan.
Pada bulan lalu, tepatnya 23 Mei 2020, Partai Komunis Indonesia genap berumur 100 tahun atau 1 abad sejak 1920. Tidak ada acara potong tumpeng ataupun perayaan yang mewah nan megah.
Entahlah, mungkin diantara kita ada yang merasa takut dan tidak merayakan ulang tahun PKI itu. Tetapi satu diantara kita, pasti merayakannya, secara tertutup maupun terbuka. Minimal perayaan ulang tahun PKI yang ke-100 itu diekspresikan dalam bentuk tulisan dan ucapan di media sosial mereka.
Jelas, sebagian orang yang merayakannya itu adalah orang yang selalu merawat pikiran dan paham mereka. Sebab Rene Descartes, seorang filsuf asal Prancis berkata “Cogito Ergo Sum” atau saya berpikir maka saya ada. Oleh karenanya, ‘mereka’ berpandangan kalau mereka tidak berpikir, sama saja mending tidak usah hidup sekalian.
Biasanya isu PKI akan ribut di setiap bulan September, kali ini nuansanya sudah terasa sejak bulan Mei lalu. Di media sosial banyak perdebatan sengit terjadi, aling tuduh-menuduh. Dan tidak kalah penting adalah diskusi tentang sejarah PKI hingga peristiwa 1965.
Tetapi menariknya, perdebatan dan diskusi itu berlangsung dengan nuansa satire dan penuh makna, alias tidak terbawa perasaan dan main saling melaporkan.
Jas Merah
Benar bahwa PKI dilarang dan telah mati, dimatikan oleh rezim. Tetapi ia tidak serta merta secepat itu akan hilang dalam pikiran dan ingatan. Merayakan hari ulang tahun PKI yang merupakan barang terlarang dan telah mati itupun tidak ada salahnya dan tidak perlu dipersoalkan.
Itu sebabnya kita selalu diingatkan oleh Bung Karno kalau jangan sekali-kali kita melupakan sejarah, atau yang biasa kita kenal dengan Jas Merah. Kendati sejarah masa lalu tentang PKI yang konon katanya miris. Ia harus tetap dirawat dalam ingatan. Karena apabila telah sejarah dilupakan, maka sulit untuk memetakan masa yang akan datang.
Sama persis dengan cerita tentang sang mantan pacar. d\Dengan pengalaman bersama mantan itu, kita mampu membangun hubungan yang lebih harmonis kedepannya dengan orang yang lain. Tetapi ingat, mantan akan selalu dikenang dan abadi dalam pikiran, maksudnya sering kali menghantui ingatan.
Hingga akhirnya, merawat sejarah dalam pikiran dan ingatan sangatlah penting. Dan sekali lagi, bagi saya tidak ada salahnya. Satu-satunya cara terbaik adalah dengan membaca seluruh versi sejarah tentang PKI. Itu sebabnya meski PKI telah tiada, dengan membaca sejarah, ia akan selalu di ingat dan dikenang, sepanjang masa. Mari membaca dan berpikir!
Editor: Rifqy N.A./Nabhan