“Kemajemukan adalah desain Tuhan untuk manusia, tak ada masyarakat yang tunggal monolitik dan sama sebangun dalam segala segi. Maka, nilai hidup seseorang diukur dari seberapa jauh dia melibatkan diri dalam hidup yang nyata, yaitu memelihara dan meningkatkan mutu hidup bersama”
-Prof. Nurcholish Madjid, Ph.D.-
Indonesia, negeri elok dengan ribuan pulaunya berjajar dari Sabang sampai Merauke. Beragam suku, bahasa dan, budaya tersebar di seantero negeri ini. Beribu-ribu rumah ibadah berdiri gagah di setiap titik negara ini. Berjuta-juta penduduk yang beragam tersebar di seluruh penjuru bangsa ini. Itulah Indonesia, negara-bangsa plural yang menjadi satu kesatuan. Tak bisa kita pungkiri memang, bahwa Indonesia adalah sebuah negara dengan beragam perbedaan di dalamnya.
Pluralitas dalam Indonesia telah menjadi ciri khas dan tersebar ke dalam berbagai aspek. Inilah risikonya menjadi negara-bangsa yang besar, karena tiada negara-bangsa yang besar tanpa kemajemukan di dalamnya.
Kini, 75 tahun sudah usia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apakah ini belum cukup matang jika kita analogikan dengan usia seorang manusia? Karena jika kita perhatikan dengan seksama, kondisi negeri ini seakan masih sibuk dengan masalah lampau yang masih saja dipersoalkan. Bukankah ini berarti negeri ini masih kekanak-kanakan dan sibuk membeda-bedakan.
Pluralitas di negeri ini seakan menjadi ancaman yang menyerang tiada henti. Pluralitas seakan menjadi senjata mutakhir untuk memperlemah keadaan negara-bangsa ini. Hal tersebut mestinya segera ditinggalkan kalau kita memang sedang berharap menyongsong masa emas di tahun 2045. Karena, kalau kita bisa kaji lebih dalam, maka pluralitas Indonesia bukan tidak mungkin menjadi salah satu harapan sebagai media untuk mewujudkan masa emas tersebut.
Indonesia dalam Kata dan Nyata
Katanya, Indonesia adalah sebuah negara hukum yang demokratis. Tapi nyatanya, masih saja kita jumpai penegakan hukum yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi. Katanya, Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dan menjamin keberlangsungann hidup beragama. Nyatanya, masih saja kita jumpai konflik-konflik terkait agama walaupun masih berada dalam satu agama yang sama, lalu bagaimana jadinya hubungan dengan agama dan kepercayaan yang lainnya?
Katanya, Indonesia menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab. Tapi nyatanya, masih saja kita jumpai problem-problem kemanusiaan yang terjadi, bahkan juga problem lama yang masih belum saja diselesaikan. Katanya, Indonesia adalah negara yang mengagungkan persatuan dan kesatuan di atas segalanya. Tapi nyatanya, masih saja kita jumpai sikap saling menjatuhkan, saling caci, bahkan saling lapor sesama anak bangsa.
Katanya, Indonesia menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Tapi nyatanya, kesenjangan sosial-ekonomi masih terlihat jelas di negeri ini, belum lagi dengan aspek keadilan yang lainnya. Katanya, prosesi pemilihan umum Indonesia menggunakan prinsip “Luber Jurdil.” Tapi nyatanya, di tingkat nasional saja sempat terjadi konflik besar dalam pagelaran ini, bahkan masih meninggalkan residu-residu politik yang tersisa, lalu bagaimana dengan prosesi di tingkat daerah-daerah?
Boleh jadi para elite dan petinggi sudah berangkulan dan terlihat bersatu, tapi apakah ada yang bisa menjamin yang berada di bawah sudah saling merangkul dan bersatu kembali lagi? Dan ini masih segelintir saja, sepertinya masih banyak lagi ‘katanya’ dan ‘nyatanya’ yang tidak sinkron di negeri plural ini.
Harmoni Naungan Empat Pilar
Seharusnya, semua yang ‘katanya’ di atas itu bisa menjadi kenyataan dan bukan hanya muncul ‘nyatanya’ lagi. Indonesia sudah memiliki modal dan dasar untuk mewujudkan berbagai ‘katanya’ tersebut. Indonesia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara dan bangsa lainnya. Indonesia memiliki apa yang kita sebut sebagai empat pilar kebangsaan.
Dengan Pancasila, Indonesia memiliki pijakan dalam kelangsungan hidup bernegara, masyarakatnya pun memiliki dasar dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia. Pancasila adalah sebuah ideologi yang moderat, mengakomodir semua golongan dan bisa menyatukan seluruh kemajemukan Indonesia.
Dengan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia akan memiliki sebuah tatanan pemerintahan dan kenegaraan yang mencerminkan Pancasila. Segala lini kehidupan bisa kita temui dalam UUD 1945 ini, pun termasuk terkait hak-hak dan kewajiban-kewajiban, baik untuk para pemimpin maupun rakyat. Maka, bukan tidak mungkin bila UUD 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya akan mengantarkan kita semua pada tercapainya tujuan luhur bangsa ini.
Dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kita harusnya sadar bahwa meskipun kita majemuk secara vertikal dan horizontal, maupun juga secara objektif dan subjektif. Tapi kita tetaplah Indonesia yang terhimpun dalam kesatuan negara republik ini. Para pendahulu kita telah memperjuangkan kemerdekaan kita dengan bersatu melawan penjajah, maka kini seharusnya juga bersatu dalam mengisi masa kemerdekaan ini.
Dan dengan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesai memiliki jargon kebesaran yang luhur. Dengan memiliki jargon ini dalam lambang negara, seharusnya kita malu bila kita selalu sibuk mempermasalahan perbedaan sekecil apapun itu. Inilah semua modal yang bila kita laksanakan akan menciptakan harmoni dan naungan kebangsaan atas setiap problema.
Pluralitas: Kesepakatan dan Ajang Pembuktian
Secara historis, kita tahu bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang terlahir di atas kemajemukan. Para founding fathers kita telah bersepakat untuk mendirikan negara ini dengan dasar Pancasila sebagai sesuatu yang akan bisa menyatukan segala kemajemukan kita. Mereka telah bersepakat untuk menanggalkan aspek-aspek perbedaan kesukuan, keagamaan, dan kebudayaan demi terwujudnya negara Indonesia yang merdeka.
Mereka telah bersepakat untuk menjadi satu kesatuan walaupun sebenarnya kita bukanlah satu yang sama dalam segalanya. Karena itu, tidak mengherankan jika Indonesia kita sebut sebagai negara kesepakatan dan perjanjian.
Setelah para founding fathers kita telah bersepakat akan persatuan yang seharusnya benar-benar kita rasakan sekarang. Maka kini giliran kita lah untuk membuktikan kesepakatan yang telah mereka hasilkan. Kita dituntut untuk untuk bisa membuktikan bahwa kita memang benar-benar negara kesatuan yang menyingkirkan segala perbedaan demi kepentingan nasional.
Kita harus bisa membuktikan bahwa generasi Indonesia bisa menjadikan pluralitas negara ini sebagai harapan untuk membangun bangsa ini, bukannya menjadi ancaman yang siap meruntuhkan negara ini kapanpun saja. Kita harus saling berlomba dalam membuktikan bahwa kita adalah generasi yang didambakan para founding fathers kita untuk mengembangkan Indonesia. Maka tidak mengherankan pula jika Indonesia kita sebut sebagai negara persaksian dan sebagai ajang pembuktian.
Indonesia yang Madani
Setelah kita tahu terkait empat pilar kebangsaan yang sedianya akan menghantarkan Indonesia menjadi negara seutuhnya seperti yang kita dambakan bersama. Dan juga kita tahu aspek historis terkait negara kesepakatan dan ajang pembuktian yang disandang Indonesia. Maka kini kita bicara mengenai sebuah konsep yang bernama “Indonesia yang Madani.” Indonesia yang madani secara ringkas kita artikan sebagai Indonesia yang berkeadaban dan berperadaban.
Maksudnya ialah Indonesia yang bisa menerima kemajemukan sebagai anugerah dan keniscayaan untuk saling melengkapi sebagai bangsa yang besar. Bangsa Indonesia harus bisa menjadi bangsa yang beradab dengan menjunjung persatuan untuk membangun sebuah peradaban maju yang kita cita-citakan. Karena jika sibuk dengan problema lama, maka kapan waktunya bagi kita untuk memikirkan masa depan dengan saling bergandengan tangan?
Pluralitas Indonesia adalah sebuah kenyataan yang tiada mungkin berubah dan tidak mungkin kita lawan. Dan kita harus bisa berbuat sebaik mungkin sesuai bidang masing-masing berdasarkan kenyataan pluralitas ini untuk menyongsong Indonesia emas. Sekali lagi, kita harus tanamkan keyakinan bahwa pluralitas Indonesia bukanlah sebuah ancaman jika kita pandang sebagai anugerah positif dari Tuhan. Tapi, pluralitas Indonesia adalah harapan besar kita untuk terwujudnya Indonesia sesuai tuntunan dan tujuan luhur pendiri bangsa ini. Karena, Indonesia memanglah tidak sempurna, dan menjadi tugas kita lah untuk melengkapi ketidak sempurnaan itu menjadi sesuatu yang bermakna. Salam persatuan!
Editor: RF. Wuland