Stoikisme | Beberapa dari kita kadang merasakan lelah, letih secara mendalam, dan mencari apa itu kebahagiaan, semua manusia mencari nama itu. Sebab dinamika kehidupan ini tidak pernah usai, cobaan demi cobaan tetap menghampiri, sehingga manusia terkadang merasa putus asa.
Kali ini kita akan mengulas lebih jauh dan dalam makna kehidupan itu sendiri, dengan perspective dari kaum filsuf juga imam kita yang sangat masyhur keilmuanya, yakni Imam Muhammad bin Muhammad Al Ghazali.
Kadang kita memperoleh sesuatu yang menyenangkan hati kita. Seperti kita diberikan harta, jabatan, wanita. Apakah semua itu disebut kebahagiaan? Stoikisme atau Filsafat Stoa adalah salah satu aliran filsafat klasik yang memiliki pengaruh besar dalam pemikiran abad-abad pertama.
Zeno (333- 363 M) yang berasal dari Siprus datang ke Atena untuk belajar filsafat dan kemudian melaksanakan pembelajaran di bawah pilar yang terlukis di salah satu sudut kota tersebut. Karena berpiawainya berfilsafat, Zeno memiliki banyak murid dan karena tidak memiliki akademi. Maka ia mengajak pengikutnya berfilsafat di Stoa.
Berlainan dengan Imam Ghazali yang mengajarkan ilmunya di Madrasah Nizhamiyah. Nama beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, ia lahir 450H/1058M di Thus dan dibesarkan disana.
Imam Ghozali sejak kecil hingga besar mencari ilmunya dalam pengembaraan hingga akhirnya ia menemukan apa itu kebahagiaan setelah menulis karya monumentalnya yakni Ihya’ Ulumuddin dan beberapa karya fenomenal lainya. Lantas apa sih, kebahagiaan menurut mereka? Mari kita ulas baik- baik.
Definisi
Menurut kaum Stoik, salah besar jika menganggap kepuasan, kenikmatan, kesenangan adalah sebuah kebahagiaan yang haqiqi.
Mereka mengatakan semua itu hanya berasal dari luar. Zeno mengatakan kebahagiaan adalah hidup berdasarkan kodrat. Maksudnya hidup itu dijalankan dalam menjalankan kewajiban- kewajiban.
Berbeda dengan penjelasan yang dijelaskan Imam Ghozali, ia menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah merasakan kelezatan atau kenikmatan pada suatu kecenderungan yang menjadi tabiat segala sesuatu.
Titik temu keduanya adalah Kebahagiaan adalah saat kita menjadi manusia seutuhnya. Dengan merasakan kecenderungan yang membawa kita kepada kelezatan.
Cara Bahagia
Ada beberapa tawaran cara bahagia menurut Stoikisme. Di antaranya ada 3 pilar menuju kebahagiaan, yang pertama kenali di dalam dan kendali hal yang di luar kendali kita, maksudnya kita harus fokus terhadap diri kita. Jangan fokus terhadap hal yang diluar kemampuan kita. Seperti ketika kita mengalami kehilangan bagian dari keluarga kita. Perlu kita yakni bahwa kejadian itu di luar kemampuan kita, dan manusia pasti akan mati nantinya.
Berbeda dengan pemaparan Imam Ghozali yang mengatakan kenikmatan dan kebahagiaan adalah ketika kita mampu mengenal Tuhan (dalam Kitab Kimiya As Sa’adah). Sejalan dengan itu, pendapat keduanya saling berkaitan bahwa manusia harus hidup dengan penuh pilihan dan pasrah diri.
Yang kedua Amor Fati, setelah pemahaman tentang pengendalian diri, pemahaman selanjutnya adalah amor fati. Amor Fati merupakan frasa dari bahasa latin yang berarti “love of fate” atau mencintai takdir, dalam Stoikisme ajaran amor fati tersirat dalam buku Discourses
Yang disusun oleh Epictetus. Ajaran tersebut mengatakan, “Jangan berharap sesuatu berjalan seperti apa yang anda inginkan. Sebaliknya harapkan apa yang terjadi, terjadi seperti apa yang terjadi, dengan demikian anda akan bahagi.”
Kemudian Imam Ghozali tidak kalah dalam menjelaskan perkara tersebut dengan jalan melalui Tasawuf, seorang ‘arif billah (mengenal Allah) harus melewati tahapan zuhud untuk meninggalkan keduniawian dan berusaha bermujahadah untuk melepaskan perilaku tercela dan menghiasi sifat- sifat yang baik takhali & tahali.
Titik temu dari keduanya adalah dimulai dari kita menyikapi tentang takdir dan berusaha untuk mencintai serta menjadikan diri ini selalu selaras dengan akhlak yang baik.
Yang terakhir adalah perbanyak mendengar daripada berbicara. Kata-kata ini berasal dari Zeno. Pendiri filsafat Stoik ini berusaha menjelaskan untuk penerimaan dari dalam diri kita. Kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada berbicara dalam konteks. Kita tidak merasa benar dengan pendapat kita pribadi. Dan Imam Ghozali juga menjelaskan bahwa salah satu instrumen kebahagiaan adalah mengenal hati.
***
Ia mengatakan kedudukan hati adalah raja atau pemimpin bagi anggota badan lainy. Jika ingin bahagia, ia memberikan penjelasan dengan melalui pendekatan kestabilan jiwa, yang diperoleh dengan mengendalikan nafsu syahwat.
Dan kedua pendapat tadi berusaha menjelaskan bahwa, seseorang yang tidak mengikuti nafsunya akan sering dia. Karena, ia harus menyadari bahwa pembicaraan awal pangkal dosa yang membawa kita pada kegelisahan.
Itulah penjelasan kebahagian menurut keduanya, dan ajaran mereka masih relate dengan kondisi sekarang yang sering mengalami Quarter Life Crisis.
Atau kehidupan yang memaksa kita untuk tidak bahagia, dengan menjadi orang lain atau pun menuruti segala keinginan nafsu kita. Maka jika ingin bahagia kurangilah keinginan dan lakukanlah kewajiban sekian.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwa Min Thoriq.
Editor: Yahya FR