Inspiring

Mir Damad dan Mazhab Isfahan

4 Mins read

Berawal sebagai persaudaraan sufi yang menelusuri garis keturunan dan namanya pada sufi besar Syekh Safi al-Din Ardibili (1249-1334), Dinasti Safawi segera berkembang menjadi kekuatan politik yang terorganisir dengan baik, yang menaklukkan Persia dan menyatukannya menjadi kesatuan politik.

Fakta bahwa Persia didominasi Syiah memberikan latar belakang bagi perkembangan doktrin ilmu pengetahuan, ishraqi gnosis (kebijaksanaan illuministik), dan filsafat. Upaya rantai “hukama” (orang bijak) dari Ibn Sina hingga Ibn Arabi tiba-tiba menemukan lingkungan yang kondusif untuk berkembangnya bentuk kebijaksanaan ini (Nasr, 1963).

Dalam mencari legitimasi untuk kekuasaan mereka, raja Safawi membutuhkan dogmatis, ahli fikih, ulama, dan pengkhotbah untuk menyebarkan dasar ideologis negara. Hal ini tentu saja mengganggu suasana intelektual tempat berkembangnya disiplin filsafat dan gnostik (tasawuf teoretis). Namun, ketika Syah Abbas I (1588-1629) berkuasa, Isfahan menjadi lingkungan yang sangat nyaman bagi sejumlah filsuf terkemuka. Mereka yang terlibat dalam disiplin semacam itu kemudian disebut sebagai “Mazhab Isfahan”.

Istilah “Mazhab Isfahan” pertama kali digunakan oleh sarjanawan seperti Seyyed Hossein Nasr dan Henry Corbin, dan kemudian diikuti oleh para sarjanawan lain, sebagai istilah yang mengacu pada diskursus filosofis-sinkretis yang berpusat di Isfahan selama periode Safawi.

Tiga tokoh penting yang dipelajari Corbin dalam bukunya tentang mazhab ini adalah Mir Damad, Mulla Sadra Syirazi dan Qadi Sa’id Qummi. Pada nama-nama ini Nasr menambahkan nama Syekh Baha’ aI-Din ‘Amili (Syekh Baha’i), Mir Findiriski, Mulla ‘Abd al-Razzaq al-Lahiji dan Mulla Muhsin Fayd Kasyani. Mulla Rajab ‘Ali Tabrizi dan Mulla Syasma Gilani juga dipelajari dalam kelompok filsuf yang sama (Dabasyi, 1996).

Bintang Mazhab Isfahan adalah Mulla Sadra, tetapi sebenarnya landasan filosofis tersebut telah dibangun oleh generasi Mir Damad. Dalam sejarah filsafat Islam pada masa Safawi, Mir Damad sangat disegani dan dikagumi oleh banyak orang dan kaum intelektual.

Baca Juga  Katip Çelebi (1609-1659): Ulama dan Intelektual dari Istanbul

Biografi Mir Damad

Mir Burhan al-Din Muhammad Baqir Damad, yang juga disebut sebagai “Guru Ketiga” (setelah Aristoteles dan al-Fārābī, masing-masing dikenal sebagai Guru Pertama dan Kedua), lahir dalam keluarga religius terkemuka. Selain menyandang gelar Guru Ketiga dengan bangga dan percaya diri, gelar kehormatannya adalah “Sayyid al-Afadil” (Guru yang Paling Berilmu).

Ayahnya adalah Mir Syams al-Din, menantu Ali bin ‘Abd al-‘Ali dikenal sebagai Muḥaqqiq-i Thani, seorang ulama Syiah terkemuka dari periode Safawi. Jadi, “Damad” adalah gelar kehormatan yang berarti “menantu” yang dimiliki oleh ayah Mir Damad dan kemudian diturunkan pada Mir Damad (Dabasyi, 1996).

Ia lahir di Astarabad dan dibesarkan di Masyhad. Di ibukota agama Syiah Persia ini, Mir Damad mempelajari tulisan-tulisan Ibn Sina dengan tekuun. Dia juga menghabiskan sebagian hidupnya di Qazwin dan Kashan sebelum datang ke Isafahan pada masa pemerintahan Shah ‘Abbas.

Di Isfahan, ia melanjutkan eksplorasi intelektualnya. Ia tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu intelektual dan filsafat (‘ulum al-‘aqliyah), tetapi juga menguasai ilmu-ilmu yang diturunkan (‘ulum al-naqliyah).

Di antara ulama terkemuka yang padanya Mir Damad belajar adalah Husain bin ‘Abd al-Samad al-Amill, ayah dari Syekh Baha’i, rekan sejawat Mir Damad di Isfahan. Gurunya yang lain adalah Syekh ‘Abd al-Karaki, putra Muhaqqiq-i Thani, yaitu paman dari pihak ibu Mir Damad sendiri (Dabasyi, 1996).

Mir Damad dikenal sebagai ahli hukum, filsuf, dan sufi. Tulisan-tulisannya, sebagaimana diakui oleh orang-orang sezamannya, menjadi cerminan minat ensiklopedis dalam berbagai disiplin ilmu. Ia menulis banyak topik tentang filsafat, teologi, tafsir Quran, tasawuf, logika, dan fiqh Syi’ah. Tak kalah penting untuk diingat, Mir Damad juga seorang penyair.

Arah Intelektual Mir Damad

Wacana filosofis Mir Damad tergolong “gnostik”, dalam arti aktivitas intelektual dan karya filosofisnya kondusif untuk pengalaman mistik dan visi spiritual, dan pengalaman mistik dan visi spiritual menstimulasi pemikiran rasional dan menyuntikkan ide-ide filosofis.

Baca Juga  Fazlur Rahman, Intelektual yang Terusir dari Kampung Halamannya Sendiri

Kerja intelektual Mir Damad dalam menggabungkan beberapa mazhab dalam sejarah pemikiran Islam mendahului apa yang dilakukan oleh Mulla Sadra, meskipun apa yang coba dipadukan Mir Damad tidak sekomprehensif apa yang kemudian dikerjakan oleh Sadra (Nasr, 2017).

Ia menyatukan tradisi filsafat Peripatetik (Aristotelian-Ibn Sinan) dan tradisi filsafat Iluminasi (Neoplatonik-Suhrawardian) dalam sejarah filsafat Islam. Hasilnya adalah wacana filosofis yang sukses dan mendalam.

Peran utama Mir Damad dalam Mazhab Isfahan adalah rekonstruksinya terhadap orientasi filsafat yang bergerak bersama tasawuf praktis yang sebenarnya sangat dekat dengan kaum iluminasionis (ishraqiyyun).

Preferensinya untuk lebih dekat dengan kaum iluminasi atau menjadi Suhrawardian dapat dilihat dari aspek utama dari ontologinya, yaitu preferensi filosofisnya atas “prioritas esensi” atau “prioritas kuiditas” (asalah al-mahiyah) ketimbang “prioritas wujud” (asalah al-wujud).

Dua preferensi filosofis ini telah lama diperdebatkan oleh dua filsuf besar dalam sejarah filsafat Islam, yaitu Ibn Sina dan Suhrawardi. Preferensi filosofis Ibn Sina adalah prioritas wujud, sedangkan preferensi filosofis Suhrawardi adalah prioritas esensi/kuiditas.

Meskipun Mulla Sadra adalah bintang Mazhab Isfahan dan murid terbesar Mir Damad, dia memiliki sudut pandang yang berbeda dari gurunya sendiri. Sadra, kendati sebelumnya menganggap esensi sebagai yang nyata sebagaimana gurunya, kemudian menyadari bahwa wujudlah yang benar-benar nyata, bukan esensi (Dabasyi, 1996).

Gerak Mazhab Isfahan

Ciri utama yang kemudian dikenal sebagai “Mazhab Isfahan” adalah kombinasi orientasi metarasional dan rasional yang berlabuh pada prinsip-prinsip doktrinal Syiah. Selain itu, Mazhab Isfahan sebenarnya tumbuh dari keterlibatan politik dalam filsafat, yang dimungkinkan oleh Syah Abbas yang memiliki minat besar pada ilmu-ilmu agama.

Sebagai salah satu Raja Safawi terbesar, Syah Abbas sangat peduli tentang hubungannya dengan ulama dan intelektual, terutama hubungannya dengan Mir Damad dan Syekh Baha’i. Baik Syekh Baha’i dan Mir Damad menikmati posisi bergengsi di istana Syah Abbas. Para ulama dan cendekiawan kerap mengunjungi istana secara teratur di mana mereka mengadakan diskusi dan debat tentang wacana agama (Dabasyi, 1996).

Baca Juga  Irfan Amalee, Kiai Perdamaian Milenial

Mir Damad, Syekh Baha’i, dan Mir Findiriski adalah tokoh kunci pada periode pra-Mulla Sadra, yang semuanya memiliki minat yang sama dalam pandangan filsafat Peripatetik, Iluminasi (Ishraqiyyah), dan gnostik. Rantai pewarisan kearifan dan filsafat Islam dari Ibn Sina, al-Ghazali, Suhrawardi, dan Ibn Arabi diterima dan dielaborasi lebih lanjut oleh para intelektual Mazhab Isfahan (Nasr, 2017).

Tujuan utama para filsuf Syiah periode Safawi ini adalah untuk mensintesis seluruh wacana dalam sejarah filsafat Islam. Dalam dirinya, ambisi intelektual semacam ini terlihat jelas. Mir Damad, sebagai seorang filsuf, ahli hukum, dan sufi, menulis banyak risalah tentang logika dan fatwa keagamaan dengan keterampilan yang baik seperti ia menyusun puisi mistik.

Esensi Mazhab Isfahan adalah upaya untuk menyintesis berbagai khazanah keilmuan dalam Islam menjadi satu kesatuan ontologis dan epistemologis yang harmonis. Para cendekiawan Syiah saat itu menulis berbagai persoalan filsafat dalam cakupan yang cukup luas, mulai dari teologi rasional, filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, tasawuf Ibn Arabi, tafsir Al-Qur’an, dogmatika Syiah, hingga fatwa keagamaan.

Dengan demikian, kemunculan Mazhab Isfahan berawal dari keberhasilan wacana-wacana filosofis yang mapan beberapa abad sebelumnya seperti filsafat Peripatetik dan Filsafat Iluminasi sejak zaman Ibn Sina dan Suhrawardi. Pada akhirnya, puncak Mazhab Isfahan ada di tangan Mulla Sadra (Nasr, 1963).

Upaya intelektual generasi Mir Damad harus dianggap sebagai landasan persiapan yang akhirnya diselesaikan Mulla Sadra. Filsafat Peripatetik Ibn Sina dan filsafat Iluminasi Suhrawardi diperluas hingga menjangkau aspek mistik mazhab tasawuf Ibn Arabi dan kemudian dilandaskan pada prinsip-prinsip doktrinal Syiah.

Angga Arifka
8 posts

About author
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *