Wilayah Minangkabau merupakan bagian dari Nusantara yang tidak luput dari pengaruh sufisme melalui proses Islamisasi di daerah tersebut. Sejak awal masuknya Islam di Minangkabau, tasawuf dengan organisasi tarekatnya telah hadir dan berperan dalam perkembangan Islam di sana. Akibatnya, Islam di Minangkabau berperan dalam memperkaya tradisi yang sudah ada.
Sebagai contoh, seperti halnya peringatan Maulid Nabi yang dilakukan dengan pendekatan tasawuf, proses Islamisasi di Minangkabau cenderung mengalami akulturasi budaya daripada proses politik.
Penjelasan di atas menggambarkan proses Islamisasi di Minangkabau yang berkesinambungan dan berdampak pada perkembangan Islam masa selanjutnya. Pada awal kedatangannya, Islam di Minangkabau belum sepenuhnya tertanam dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
Islam lebih dikenal sebagai identitas nama daripada sebagai praktik keagamaan yang murni. Agama Islam di Minangkabau masih dipengaruhi oleh praktik-praktik tradisional lama yang mengandung unsur takhayul, bid’ah, dan khurafat. Namun, praktik-praktik tersebut mengalami permasalahan dengan Kaum Mudo (gerakan reformis-modernis), terutama terkait dengan polemik “Maulid Nabi”.
Pada 1914, kali pertama Abdullah Ahmad (kaum mudo) menerbitkan tulisannya di majalah al-Munir (Jilid III, Juz 24, hlm. 383), yang berisi polemik berkenaan maulid nabi. Tulisan ini berisi tanggapan terhadap praktik “berdiri maulid”, yakni keharusan berdiri pada waktu pembacaan kisah Nabi Muhammad dilahirkan. Ulama golongan Kaum Tuo (tradisionalis-sufistik) meyakini bahwa sewaktu pembacaan kisah Nabi Muhammad lahir, maka Nabi akan datang di tengah-tengah jemaah yang sedang merayakan maulid nabi (Pramono 2015).
Begitu juga dengan Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) yang tampil sebagai ulama yang bersuara lantang dan kritis dari Kaum Mudo. Ia memang terkenal sebagai ulama yang agresif, tanpa segan marah-marah bahkan mencela, sekiranya ada sesuatu yang dijumpainya tidak sesuai dan menyimpang dari paham yang diyakininya benar. Sikapnya ini kadang-kadang membuat pemerintah nagari (desa) tersinggung.
HAKA sendiri sadar bahwa sikap dan gerakan pembaharuan yang dilakukannya tidak disenangi oleh golongan ulama Kaum Tuo. Polemik maulid nabi misalnya, ia dituduh sebagai ulama yang merusak kenyamanan beragama yang sudah berlangsung di Minangkabau. Walaupun begitu, ia tetap juga terus mengajak masyarakat untuk menghindari pemikiran taklid, salah satunya mengajak berfikir kritis ketika ulama Kaum Tuo memfatwakan “berdiri maulid” ialah sunah (Pramono 2015).
HAKA juga menyoroti berkenaan dengan berbagai hal yang terjadi pada perayaan maulid nabi ialah perayaan yang mewah dan bacaan zikir yang dilagukan, sehingga sering salah panjang pendek bacaannya. Kritikan ini disampaikan melalui beberapa bait syair yang tidak begitu panjang, namun ditempatkan pada bagian kedua dari syair Irshad al-‘awam. Besar kemungkinan karena praktik ini merupakan penyebab polemik antara ulama Kaum Mudo dengan Kaum Tuo berkenaan perayaan maulid nabi (Pramono 2015).
Selain HAKA, dikenal pula ulama Kaum Mudo yang lain, seperti Zainuddin Labay el-Yunusi. Pada 1920, Zainuddin Labay menerbitkan tulisannya yang berjudul ‘Tarikh Perhelatan Maulid nabi dan Hukumnya dalam Syari’at” dalam majalah al-Munir al-Manar. Tulisan ini pada umumnya merupakan terjemahan dari makalah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha yang pernah diterbitkan di Majalah al-Manar di Mesir. Tulisan ini juga mengkritik perkara “berdiri maulid” yang dipraktikkan oleh ulama golongan Kaum Tuo (Pramono 2015).
Kritikan ‘pedas’ itu dibalas oleh salah seorang ulama Kaum Tuo, yakni Syekh Sulaiman ar-Rasuli dengan syair apologetik yang dinamai “Syair Perdirian Maulid”. Syair tersebut terdiri daripada 30 bait, yang langsung ditujukan kepada ulama Kaum Mudo. Syekh Sulaiman ar-Rasuli tidak menerima jika dikatakan bahwa “berdiri maulid” tidak memiliki dasar yang kuat, karena ia meyakini bahwa ritual yang ada dalam perayaan Maulid Nabi memiliki landasan syariat dalam pelaksanannya.
Syekh Sulaiman ar-Rasuli (w. 1970), seorang ulama dari golongan Kaum Tuo, karya melalui apologetiknya menangkal serangan gagasan ofensif dari ulama Kaum Mudo (terutama HAKA). Karyanya tersebut bergenre puisi (syair) dan diterbitkan di Bukittinggi oleh penerbit Direkij Agam pada 1923. Aksara yang digunakan ialah Jawi dan Arab; bahasanya Melayu (juga terdapat bahasa Minangkabau) dan Arab. Pada bagian akhir, terdapat tambahan syair yang diberi judul “Syair Perdirian Maulid”. Syair ini berisi pembelaan terhadap serangan ulama Kaum Mudo yang memfatwakan bidaah dalalah terhadap praktik “berdiri maulid” (Pramono 2015)..
Secara tidak langsung, suasana polemik di atas hanya sebatas ‘perang’ tanding wacana, perang argumen; tidak lantas berbeda pendapat berlanjut dengan konflik fisik. Fenomena di atas memperlihatkan bahwa polemik keislaman antara ulama Kaum Mudo dengan Kaum Tuo masih dikontrol oleh cita-cita mulia Islam, yaitu ukhuwah Islamiah. Nilai ukhwah Islamiah lebih dipentingkan daripada kepentingan yang lainnya.
Polemik keislaman tidak lantas membabi buta dengan tidak mendengarkan kritikan dari pihak lain. Memang kuasa yang mengontrol wacana tidak selalu berupa kekuatan fisik. Pengetahuan, sikap, norma-norma, nilai-nilai dan kekuatan abstrak lainnya merupakan kekuasaan yang mampu mengontrol produksi wacana. Pada tingkat awal, semua kekuatan tersebut mampu mengendalikan fikiran dan untuk seterusnya mengontrol produksi wacana.
Selain itu, ulama-ulama yang ambil bagian dalam dinamika polemik keislaman tersebut juga telah menunjukkan kepiawaiannya dalam dunia kepenulisan. Tradisi intelektual ini telah melahirkan sikap arif: menulis untuk mendebat. Dinamika wacana Islam pada era transmisi pembaharuan Islam di Minangkabau—wacana maulid nabi sebagai salah satu isunya—telah memberi kesan positif terhadap tradisi intelektual di kalangan ulama Minangkabau (Pramono 2015).
Dengan demikian, meksipun hidup dalam suasana pergolakan pemikiran, ulama-ulama Minangkabau tetap menjadi sikap sebagai ulama panutan. Pertentangan faham tidak membawa mereka terpecah secara sosial masyarakat. Boleh jadi mereka kasar dalam tulisan, namun ketika duduk bersama, mereka tetap rukun dan akrab. Perbedaan pendapat dipandang sebagai suatu yang lazim, sehingga perbedaan itu membawa kepada kematangan intelektual.
Editor: Soleh