Oleh : Piet Hizbullah Khaidir*
Agama boleh saja berbeda. Haluan politik bisa saja berseberangan. Tetapi, pikiran, tindakan, kecenderungan dan pemihakan ketika Negara Indonesia yang memanggil untuk berkiprah dan berjuang, masing-masing perbedaan agama dan haluan politik diluruhkan. Begitupula, pergaulan keseharian, persahabatan kemanusiaan dan tutur-sikap tetap mencerminkan pengedepanan akal budi dan adab. Bukan nafsu politik dan nafsu angkara untuk meniadakan yang lainnya.
Kira-kira itulah kesan yang dapat kita tangkap dari belajar sejarah sikap dan tutur tindak-tanduk politik para negarawan pejuang dan pahlawan kita. Maka mungkin tidak berlebihan jika kita menyebut sikap dan tutur tindak-tanduk politik mereka dengan politik cinta kasih. Di tengah suasana hiruk-pikuk politik jelang Pemilu serentak pada 17 April 2019 mendatang, yang terkadang menggunakan argumen keagamaan yang saling meniadakan, memamerkan kesalehan untuk tujuan politik sesaat, dan pola pikir kebangsaan yang picik, tentu pembelajaran politik cinta kasih dari para negarawan itu cukup relevan sebagai pembelajaran politik bagi siapa saja yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif ataupun calon presiden-calon wakil presiden, pun juga bagi para pendukung masing-masing kubu.
Politik Cinta Kasih sebagai Ajaran Agama
Politik cinta kasih menegaskan suatu pemahaman terhadap dua pilar, ajaran agama dan cita kebangsaan, yang tidak berada hanya dalam wilayah pengetahuan (kognisi). Dua pilar yang bernilai kebaikan dan kebajikan itu diyakini, dihayati, dan diamalkan dalam kancah kemanusiaan, kenegaraan dan kebangsaan sebagai upaya mengabdi kepada Tuhan.
Keyakinan yang menjadi worldview politik cinta kasih adalah jika seseorang berbuat baik terhadap sesamanya dalam ruang sosial, ekonomi, politik dan bahkan keagamaan, pastilah penghuni langit (Tuhan, malaikat dan ruh orang-orang saleh) akan meridloi dan membalasnya dengan rahmat kebajikan serupa atau bahkan lebih melimpah. Keyakinan ini tidak berhenti dalam keyakinan dan pengetahuan belaka, melainkan dalam amal nyata dan gerakan konkret.
Para pendukung politik cinta kasih selalu mengedepankan kebajikan umum daripada kepentingan pribadi. Dalam konteks kebangsaan, mereka tidak akan pernah sekalipun berpikir dan bertindak dalam kerangka ‘bangsa untukku’, melainkan akan selalu berpikir dan bertindak dengan kerangka sikap ‘aku untuk bangsa’.
Menurut mereka, berpikir dan bertindak dalam kerangka kebajikan umum seperti tersebut di atas adalah contoh konkret ajaran agama para Nabi dan Rasul. Misalnya ajaran Nabi Isa as. agar tidak membalas kezaliman dan penganiayaan dengan perbuatan serupa. Begitupula ajaran rekonsiliasi politik tanpa dendam yang dilaksanakan oleh Rasulullah Muhammad Saw ketika melakukan fath makkah terhadap musuh-musuh politiknya yang sangat kejam.
Bangsa Untukku vs Aku Untuk Bangsa
Salah satu contoh wujud dari pola pikir dan sikap politik cinta kasih adalah ‘aku untuk bangsa’. Ini tentu saja berbeda dengan ‘bangsa untukku’. Yang pertama, menunjukkan pola pikir dan sikap politik dengan landasan pengabdian kepada bangsa. Selalu berpikir tentang apa yang dapat dikontribusikan untuk Negara dan bangsa. Sedangkan yang kedua, berpikir bagaimana memperoleh suatu keuntungan dari bangsa ini. Bangsa dituntut untuk memberikan keuntungan dan sumbangsih nyata pada dirinya, kelompoknya dan golongannya.
Pada masa penjajahan, yang pertama ditunjukkan oleh sejarah sebagai cara berpikir dan sikap para pahlawan-pejuang pendiri Negara Republik Indonesia. Sedangkan yang kedua merupakan cara berpikir dan sikap para pengkhianat bangsa, komprador dan antek penjajah kompeni.
Pada masa awal kemerdekaan dan kini, nilai-nilai dari cara berpikir dan sikap yang pertama itu adalah cara berpikir dan sikap para pemimpin Negara Republik Indonesia dan para negarawan yang berkontribusi hebat terhadap bangsa ini. Sedangkan cara berpikir dan sikap yang kedua adalah cara berpikir dan sikap para penganut politik picik yang hanya berpikir untuk dirinya, kelompok dan golongannya semata. Dengan cara meminta jabatan banyak, sedangkan peruntukannya bukan untuk kemajuan bangsa, melainkan hanya untuk kelompok dan golongannya.
Sederet nama yang bisa disebutkan seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, KH. Abdul Wahid Hasyim, MM. Maramis, PB. Sudirman, adalah para pejuang dan negarawan yang tidak sempat berpikir untuk keluarganya. Karena yang ada dalam pikiran mereka hanya bagaimana bangsa Indonesia terbebaskan dari penjajahan dan semakin makmur. Guru para aktifis Republik, HOS Tjokroaminoto tak pernah lelah menyediakan waktunya dan menjadikan rumahnya untuk berkumpul bagi anak muda RI agar cerdas, berpikir maju dan berjuang dengan hebat untuk kemerdekaan dan kebesaran bangsa Indonesia.
Jauh sebelum itu, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari, dua ulama besar yang tersambung nasabnya sebagai keluarga, pendiri dua ormas keagaman terbesar di Indonesia, telah menyumbangkan jiwa, raga, harta benda dan seluruh yang dimilikinya untuk berkiprah dalam gerakan sosial keagamaan dan pendidikan demi tercapainya kemerdekaan RI. Agama sebagai elan vital gerakan, bagi mereka, harus menyumbangkan nilai positif dan kebajikan umum bagi kemajuan dan pencerdasan bangsa. KH. Hasyim Muzadi sampai mengatakan bahwa Muhammadiyah dan NU itu bagai sepasang sandal. Dalam kancah kebangsaan dan keagamaan di Indonesia, tidak bisa ditinggalkan salah satunya.
Yang menarik lagi adalah kisah persahabatan Mr. Kasimo dan Muhammad Natsir. Dua tokoh politik berbeda agama dan haluan politik. Yang pertama berasal dari Partai Katolik Indonesia. Yang kedua berasal dari Partai Masyumi yang berbasis Islam. Mereka bisa berdebat habis bahkan sampai memerah muka mereka karena membahas suatu gagasan dan persoalan kebangsaan. Namun, ketika pulang dari kantor parlemen, karena salah satu dari beliau berjalan kaki, dan yang lainnya naik sepeda ontel, tanpa basa-basi, yang naik sepeda menawarkan kepada yang satunya untuk ikut berbonceng naik sepeda. Alangkah indahnya, jika ajaran agama sebagai dasar politik cinta kasih, bukan sebaliknya sebagai dasar politik identitas belaka untuk meniadakan yang lainnya. Untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya hanya untuk kelompok dan golongannya.
Yang menarik lagi adalah kisah persahabatan Mr. Kasimo dan Muhammad Natsir. Dua tokoh politik berbeda agama dan haluan politik. Yang pertama berasal dari Partai Katolik Indonesia. Yang kedua berasal dari Partai Masyumi yang berbasis Islam. Mereka bisa berdebat habis bahkan sampai memerah muka mereka karena membahas suatu gagasan dan persoalan kebangsaan. Namun, ketika pulang dari kantor parlemen, karena salah satu dari beliau berjalan kaki, dan yang lainnya naik sepeda ontel, tanpa basa-basi, yang naik sepeda menawarkan kepada yang satunya untuk ikut berbonceng naik sepeda. Alangkah indahnya, jika ajaran agama sebagai dasar politik cinta kasih, bukan sebaliknya sebagai dasar politik identitas belaka untuk meniadakan yang lainnya. Untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya hanya untuk kelompok dan golongannya.
Agama Mencerahkan, Agama untuk Semua
Oleh karena itu, agama harus mencerahkan. Kebajikan umum ajaran agama perlu dipromosikan sebagai arus utama kebajikan untuk semua. Dalam konteks politik dan keagamaan, pilihan politik cinta kasih yang didasarkan pada ajaran agama yang mencerahkan memiliki landasan rasionalnya. Bagi umat beragama, tidak perlu merasa kuatir bahwa berbuat kebajikan untuk semua bangsa Indonesia akan menjadikan berdosa dan berkhianat kepada agamanya. Justru dalam konteks kesalehan dan kebajikan umum untuk berbuat terbaik bagi sesama merupakan ajaran agama yang paling agung. Pilihan politik rasional (rational political choice) melakukan yang terbaik bagi para konstituen dengan program yang terukur dan tepat sasaran akan membuatnya secara konsisten dikenal dan dipilih dengan baik.
Sebagai kesimpulan, politik cinta kasih adalah simpul hebat pengejawantahan ajaran agama yang mencerahkan dalam ruang publik politik. Dan harus dipromosikan oleh seluruh pejuang politik sejati dan negarawan Indonesia demi tercapainya Indonesia yang hebat dan berkemajuan. Wallahu a’lam.
*) Ketua Bidang Dakwah Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Sendangagung Paciran Lamongan (2016-2021); Mahasiswa Program Doktor Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya; dan Sekretaris Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an dan Sains al-Ishlah (STIQSI) Sendangagung Paciran Lamongan.