Feature

Politik itu Investasi Dunia dan Akhirat: Eulogi untuk Prof Bahtiar Effendy

3 Mins read

Oleh: Benni Setiawan*

Perkenalan saya dengan Profesor Bahtiar Effendy bermula dari kuliah Fikih Siyasah. Kala itu saya semester 3 di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga. Saat itu dosen pengampu meminta mahasiswa untuk membaca dua buku utama. Pertama adalah buku Ahkam as-Sulthoniyah karya Imam al-Mawardi (dalam bahasa Arab) dan buku Islam dan Negara karya Bahtiar Effendy (dalam bahasa Indonesia).

Sebagai mahasiswa tingkat dua saya gelagapan saat membaca buku itu. Membaca dua buku berat yang menjadi pokok perbincangan saat kuliah. Saat kuliah itu kami lebih banyak diam dan dosen lebih banyak menjelaskan isi buku. Namun itu hanya berlangsung beberapa pertemuan. Pertemuan selanjutnya kami sudah mulai memahami dua buku bacaan pokok itu.

Buku Islam dan Negara baru saya miliki ketika saya semester 5. Buku itu pun menjadi perbincangan di sekretariat bersama (Sekber) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) IAIN Yogyakarta. Buku Profesor Bahtiar selalu menyembul di tengah kegandrungan kami dengan Ilmu Sosial Profetik milik Kuntowijoyo.

Perpincangan itu semakin riuh saat mendekati pemilu 2004. Buku Islam dan Negara menjadi salah satu alasan bagi kami mendukung Profesor M Amien Rais. Ya namanya mahasiswa yang idealis mendasarkan sesuatu dengan narasi teori yang ia temukan. Saya ingat betapa Bang Yusro Saragih, kakak tingkat jurusan Jinayah Siyasah, dan Bang Deni Asy’ari mendaras buku itu dengan penuh semangat ala aktivis. Kala itu saya hanya mendangar nama Profesor Bahtiar Effendy dari bukunya, belum pernah bertemu.

Amal Usaha Politik

Perkenalan saya selanjutnya adalah saat Profesor Bahtiar diundung oleh Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menjadi pembicara dalam dialog Ideologi, Politik, dan Organisasi (Ideopolitor). Profesor Bahtiar menyampaikan pandangannya tentang posisi Muhammadiyah dalam lanskap politik nasional dan global. Profesor Bahtiar sebagaimana dibanyak tempat menyerukan agar Muhammadiyah memiliki amal usaha politik. Seruan ini tentu ditanggapi beragam oleh warga Persyarikatan.

Baca Juga  Membaca dan Menulis Lebih Penting Ketimbang Menghafal

Dalam dialog ideopolitor pun demikian. Ada banyak tafsir atas pernyataan tersebut. Ada yang menganggap Profesor Bahtiar menginginkan Muhammadiyah mendirikan parpol, ada yang menafsir Muhammadiyah perlu berinvestasi baik jangka panjang dan pendek dengan memasukkan kader-kader ke parpol yang sudah ada, ada juga yang menanggap seruan itu sebagai catatan bahwa Muhammadiyah mempunyai potensi mendorong kader terbaik untuk menjadi pemimpin bangsa, baik di wilayah lokal maupun nasional.

Terlepas dari tafsir yang muncul, saat itu Profesor Bahtiar menanggapi pertanyaan jamaah dengan santai, tanpa harus mendukung satu statement dengan yang lain. Tanggapan Profesor Bahtiar sangat akademis, kadang saya tidak begitu paham apa yang hendak disampaikan oleh beliau.

Setelah selesai acara saya mencoba berbincang sebentar dengan beliau, dan menanyakan tentang maksud ceramah tadi. Dengan senyum dia menjawab bahwa Islam dan Negara perlu dipahami sebagai sebuah bangunan yang kokoh dan saling menguatkan. Islam dan Negara bukan sesuatu yang dapat dilepas begitu saja. Muhammadiyah sebagai bagian dari sistem kenegaraan (yang di dalamnya berlaku sistem politik), mempunyai tanggung jawab moral/etik dan juga peran tindakan untuk mendidik warga bangsa melek politik.

Melek politik bukan berarti menjadi bagian dari gemebyar politik praktis. Namun, Muhammadiyah tetap menjadi ormas yang dapat menjembatani kepentingan politik umat. Umat tidak hanya menjadi “mangsa” politik. Umat perlu cerdas membaca fenomena politik dengan kacamata yang jernih. Catatan itu yang saya dapatkan dari beberapa jawaban yang saya tanyakan bersama anggota dan pimpinan MPK PP Muhammadiyah lainnya.

Ya perkenalan saya dengan Profesor Bahtiar hanya sekadar itu. Namun, saya mempunyai kesan bahwa beliau adalah orang hebat. Di tengah sakit, beliau masih berkenan hadir di acara PP Muhammadiyah. Di tengah suaranya yang melirih, beliau masih berkenan menjawab pertanyaan dari peserta dialog ideopolitor dengan baik dan bernas. Profesor Bahtiar pun masih mau melayani berdiskusi dengan beberapa orang di tengah raut muka yang sudah mulai lelah. Namun beliau tetap antusias mendengarkan pertanyaan dan pendapat dari orang lain.

Baca Juga  Beratnya Mendiagnosis Orang Munafik

Satu hal lain yang menurut saya Profesor Bahtiar menjadi pelopor dalam kajian Islam dan Politik (negara), yaitu tentang konsistensi dia dalam membangun relasi simbolik-mutualistik dan proporsional antara Islam dan Negara. Itulah yang juga diakui oleh Bang Din dalam tulisan “Mengenang Sahabat Karib Saya Bahtiar Effendy”.

Dan jika membaca kembali buku Islam dan Negara karya Profesor Bahtiar Effendy kita akan menemukan harapan besarnya terkait hubungan yang mesra antara Islam dan Negara. Islam dan Negara bukan hanya sekadar saling mengisi dan membutuhkan, namun perlu menjadi ijtihad besar dalam membangun kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan. Inilah yang saya sebut bahwa Profesor Bahtiar Effendy mengajarkan bahwa politik itu tidak sekadar rituan lima tahunan, namun merupakan investasi panjang dunia dan akherat.

Selamat jalan Profesor Bahtiar Effendy. Semoga Allah menggolongkan Profesor Bahtiar ke dalam orang-orang yang mendapat rahmat dan mendapat surga firdaus. Aamiin.    

*Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta, Anggota MPK PP Muhammadiyah.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds