Review

Post-Puritanisme: Pemikiran Gerakan Islam Modernis 1995-2015

10 Mins read

Tulisan ini merupakan review buku karya Hilman Latief, yang berjudul Post-Puritanisme: Pemikiran dan Arah Baru Gerakan Islam Modernis di Indonesia 1995-2015. Sebagaimana diketahui bahwa Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam puritan dan modernis yang dalam perjalanannya bersifat dinamis, tidak kaku dan tidak linear.

Hal ini sejalan Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwaidi Asy’ari A Real From Within: Muhammadiyah’s Identity Metamorphosis and the Dilemma of Democracy, bahwa Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi modernis yang ternyata melewati proses “metamorfosa” baik gerakan maupun pemikiran.

Buku Hilman Latief ini lahir untuk mengupas lebih rinci lagi bagaimana sepak terjang terjadinya pembaharuan dan pergeseran dalam model gerakan dan pemikiran Muhammadiyah selama kurun waktu tahun 1995-2015. Dalam buku ini termaktub penjelasan mengenai dinamika wacana dan gerakan yang mengalami perkembangan dari mulai peritiwa Muktamar tahun 1995 hingga tahun 2015.

Makna Post-Puritanisme

Kata Post-Puritanisme berasal dari kata pos dan puritanisme. Istilah puritanisme diadopsi dari kata “purity” atau “pure” yang artiya kemurnian, dan “purify”  yang maknanya memurnikan. Kata puritan sering dipakai oleh para peneliti ataupun pengamat untuk melabeli suatu kelompok masyarakat atau individu dalam kehidupan beragama lebih mengedepankan aspek keaslian dan kemurnian.

Konsep pemurnian ini tidak hanya muncul di agama Islam saja melain juga di agama Budha, Hindu, Taoisme, Kristen dan agama-agama yang lain. Sedangkan postpuritanisme maknanya ialah persepektif, cara pandang, dan gerakan yang digunakan oleh masyarakat kaum Muslim Modernis di Indonesia dalam mengatasi berbagai permasalahan dan persoalan ekonomi, lingkungan, budaya, pendidikan, sosial dan sebagainya dengan cara merumuskan ideologi keislaman yang lebih terbuka, baru dan juga progresif.

Kehadiran postpuritanisme dapat dilihat dengan semakin dinamisnya bentuk gerakan intelektual dan gerakan sosial yang ditawarkan sekaligus semakin berkembangnya persepektif yang tertanam pada diri warga Muhammadiyah. Sifat dari pospuritanisme ialah substansialis, kosmopolit, universalis dan mengedepankan keterbukaan.dengan hal ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa identitas kaum Modernis tidaklah merupakan sesuatu yang berkembang atau berjalan secara kaku dan linier. (h. 29-30).

Periode 1995-2000: Tradisi Intelektualisme pada Masa Transisi

Dr. M. Amien Rais terpilih menjadi ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Banda Aceh di tahun 1995. Hal ini membawa Muhammadiyah pada situasi yang semakin kompleks dan dinamis, paling tidak jika ditinjau secara politik. Apalagi di saat itu Amien Rais terkenal sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang sering melontarkan kritikan terhadap pemerintahan Soeharto.

Salah satu konsep yang diterapkan Amien Rais adalah konsep “Tauhid Sosial”. Yang dimaksud dari tauhid sosial ialah salah satu konsep yang ditawarkan kepada umat Muslim termasuk di dalamnya warga Muhammadiyah dalam rangka mendorong mereka agar memiliki keberanian untuk melakukan perubahan politik dan sosial dengan dipenuhi rasa semangat tauhid. (h. 37-39).

Sejak terpilihnya B.J. Habibie menjadi presiden di tahun 1998, Indonesia mulai memasuki Era Reformasi. Beberapa partai baru mulai berdiri yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Reformasi, termasuk di dalamnya Amien Rais yang mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Mulai saat itu politik Muhammadiyah mulai nampak. Hal ini menjadi ruang aktivisme baru yang diberikan Amien Raih kepada warga Muhammadiyah yang memiliki kemampuan berpolitik. Selain dalam dunia politik, Muhammadiyah juga melakukan pembaharuan di bidang intelektual.

Pada Muktamar Banda Aceh atas usulan M. Amin Abdullah, diputuskan bahwa telah disetujuinya pengubahan nomenklatur Majelis Tarjih menjadi MTPPI yang merupakan singkatan dari Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Hal ini dilakukan untuk menanggulangi anggapan masyarakat terhadap Muhammadiyah sebagai gerakan puritan dalam berbagai aspek keagamaan padahal di lain sisi juga dikenal sebagai gerakan pembaharuan. Tradisi Intelektualisme yang muncul di kalangan simpatisan dan warga Muhammadiyah dinamisator terjadinya pergeseran dan perubahan wacana serta model gerakan Muhammadiyah sebagai suatu organisasi. (h. 44-50).

Dalam fase ini, terjadi kontestasi wacana baru: toleransi dan pluralisme agama dalam Muhammadiyah. Pluralisme mengandung 2 arti yaitu arti positif dan negatif. Dari sisi negatif, pluralisme dapat diartikan sesuatu yang menunjukan pada tingginya tingkat keekstriman sikap keberagamaan seseorang. Bisa dikatakan bahwa dalam beragama seseorang  ibarat  mengenaikan pakaian, kapan pun ia berkeinginan untuk mengganti pakainnya bukanlah hal yang sulit ia lakukan.

Baca Juga  Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

Sedangkan dari sisi positif beberapa tokoh Islam telah mengemukakan pendapatnya, salah satunya adalah Kuntowijoyo. Beliau mengungkapkan pluralisme positif ialah sikap keberagamaan seseorang yang mengutamakan toleransi atau penghargaan terhadap keyakinan, pilihan maupun pendapat orang lain.

Sikap keberagamaan suatu kelompok atau sesorang memang selalu menjadi bahan perdebatan, yakni antara sisi modernitas dan sisi tradisi atau doktrin agama. Dalam konteks pluralisme agama, Muhammadiyah mengambil beberapa sikap, yaitu: pertama, toleransi dalam mengahadapi berbedaan-perbedaan yang sering terjadi dalam lingkup intra-agama, baik antara Muhammadiyah dengan tradisi lokal masyarakat, atau antara Muhammadiyah dengan ormas (organisasi masyarakat) lainnya, atau bahkan perbedaan di kalangan atau di tubuh Muhammadiyah itu sendiri.

Kedua, toleransi dalam mengadapi perbedaan-perbedaan lintas-agama. Ketiga, toleransi antara pemerintah dengan suatu kelompok agama tertentu. Di Indonesia masalah seputar perbedaan antar agama dimasukkan dalam kebijakan pemerintah. Contoh realnya, kebijakan pemerintah dalam memutuskan hari libur nasional (agama) (h. 64-67).

Periode 2000-2005: Pencarian Wacana Baru di Kalangan Kaum Muda

Pada Muktamar pada tahun 2000 di Jakarta Ahmad Syafii Maarif terpilih menjadi ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam kepemimpinannya, beliau melakukan revitalisasi tradisi intelektual di kalangan pemuda Muhammadiyah yang disipkan sebagai kader Muhammadiyah melalui berbagai “Lembaga Sekoci”, seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) dan lembaga-lembaga lainnya. Salah satu visi dari lembaga sekoci tersebut adalah mengembangkan pembaharuan Islam serta menjadi jembatan dialog sekaligus kerjasama antar-budaya, antar-agama, antar-peradaban untuk mewaujudkan kedamaian, keadaban, saling pengertian serta kerjasama yang konstruktif. (h. 109-113).

Salah satu pembahasan yang menarik untuk dibahas adalah semakin kuatnya gelombang tradisi intelektualisme di kalangan muda Muhammadiyah. Ajakan kaum modernis untuk merujuk kembali Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber ajaran dan pedoman agama Islam, nyatanya belum bisa mencetuskan pemikiran yang baru, sehingga dapat digunakan untuk memecehkan permasalahan kaium muslimin. Gerakan Islam Modernis baru sampai taraf melahirkan para intelektual yang mampu mengambil pemikiran-pemikiran milik negara lain untuk diterapkan dan diaplikasikan di Indonesia (Mohammad Ali, “Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif”, Profetika: Jurnal Studi Islam, Vol. XVII, No. 2, Desember 2016)

Saat hampir semua kalangan di Muhammadiyah tidak menyukai atau kurang ketertarikan pada pembahasan wacana tasawuf, lain halnya dengan M. Amin Abdullah yang justru mengenalkan pendekatan yang terdengar asing dan belum dikenal sebelumnya oleh para aktivis Muhammadiyah, yaitu pendekatan Burhani dan Irfani. Amin Abdullah mendapat dukungan yang besar dari kalangan kaum muda Muhammadiyah. Semangat yang membara membuat mereka terus bergerak dan berusaha dalam menyosialisasikan ke seluruh warga Muhammadiyah dan masyarakat Indonesia.  Kondisi ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi kaum muda Muhammadiyah selama beberapa dasawarsa terakhir. (h. 132-133).

Pilihan wacana Kaum Muda: dari Pluralisme menjadi Masyarakat Sipil. Gerakan Aksi Tanpa Kekerasan atau sering kita sebut dengan istilah GATK merupakan salah satu program yang digulirkan oleh sebagian kaum muda Muhammadiyah yang memiliki jiwa kritis-kreatif untuk bisa tampil dan mendapatkan tempat dalam upaya pembaharuan dan perkembangan pemikiran Islam yang lebih toleren, inklusif, aplikatif dan artikulatif.

Setelat GATK berhenti, maka muncullah program-program lain yang digerakan pemuda Muhammadiyah, seperti munculnya Peace-Gen (Peace Generation). Kaum muda Muhammadiyah turut andil dalam mengembangkan khazanah toleransi dan Pluralisme, artikulasi mereka dapat dilihat dari munculnya berbagai produk pemikiran merekan di media massa. Kaum muda Muhammadiyah dengan khazanah spiritulisme bersaha memberikan pengertian kepada warga Muhammadiyah bahwa sufisme atau tasawuf tidak selalunya bertentangan dengan rasionalitas dan juga tidak selalunya identik dengan bid’ah, takhayul, dan khurofat. (h. 118-137).

Pengarusatamaan Islam Moderat di Indonesia oleh Ahmad Syafii Maarif. Mendekati abad ke-21 Indonesia mengalami berbagai persoalan dalam bidang ekonomi maupun sosial yang sangat memprihatinkan. Fenomena ini memunculkan respon dari para intelektual Muslim yang mengutarakan gagasan-gagasannya untuk melakukan pembaharuan dalam Islam.

Baca Juga  Turning the Tide: Buku Bagi Jiwa

Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi modernis-puritan. Gagasan pembaharuan juga mengalami pergeseran, dari yang sifatnya teologis-spekulatif yang membahas tuntas “otentisitas” keberislaman kepada isu-isu publik yang real dan konkret. Di era reformasi, transissi politik dari rezim otoritarian Orde Baru ke rezim lainnya memberikan ruang bagi para intelektual Muslim Kontomporer agar lebih memiliki keberanian dalam mengutamakan isu-isu yang amat sensitif dalam tinjaun politik.

Para kalangan moralis melakukan segala usaha untuk meperjuangkan hak-hak publik melalui “bingkai moral”. Bagi Syafii, Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk untuk melakukan pembaharuan dan pembangunan. Berkat usaha beliau pula, Muhammadiyah bisa menjadi tuan rumah dalam sebuah acara dialog antar-agama di Yogyakarta dalam lingkup internasional melalui kerjasama Muhammadiyah dengan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Australia (h. 144-169).

Dalam dunia demokrasi, Indonesia sudah cukup lama memakai sistem demokrasi, namun masalah demokrasi masih menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan umat Islam. Sebagian umat Islam menolak sistem demokrasi. Menurut Ahamad Syafii Maarif demokrasi dan Islam memiliki kesinambungan dalam mengatasi problem kemanusiaan. Walau demikian, Ahmad Syafii Maarif juga menyadari bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem politik yang sempurna, masih ada beberapa kecacatan-kecacatan dan kesalahan-kesalahan yang perlu adanya perbaikan (h. 176-179).

Dalam perjalanan Muhammadiyah, berpihaknya Muhammadiyah pada budaya demokrasi merupakan sebuah fenomena sosiologis yang cukup unik.

Dari mulai Muktamar hingga tingkat ranting pun tradisi musyawarah selalu diterapkan. Muhammadiyah mempunyai komitmen untuk terus berusaha sungguh-sungguh pada demokrasi, karena demokrasi merupakan alat yang cocok dan bagus untuk mencapai cita-cita masyarakat Islam dan cita-cita kemanusiaan.

Periode 2005-2010: Transformasi Kelembagaan, Penguatan Aksi Kemanusiaan

Din Syamsudin menjadi ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode 2005-2010 dan 2010-2015. Transformasi kelembagaan pada periode tersebut terlihat jelas. Maksud dari transformasi kelembagaan disini ialah perkembangan dan perubahan karakter gerakan organisasi Muhammadiyah dari yang awalnya aktivisme direalisasikan dalam bentuk pelayanan sosial melalui lembaga pendidikan, panti asuhan, serta rumah sakit menjadi sebuah gerakan organisasi yang berperan aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat.

Pasca Muktamar di Malang pada tahun 2005, untuk menangani tingginya tingkat bencana di Indonesia, Muhammadiyah bergegas memperkuat keberadaan  kelembagaan dalam hal penanggulangan bencana alam. Kisaran tahun 2005-2010 di bawah komando Sudibyo Markus, kapasitas penanggulangan bencana yang dimiliki Muhammadiyah mengalami kenaikan dan perkembangan yang sangat signifikan, hal ini bisa dilihat dari semakin kuatnya manajemen dan pemahaman warga Muhammadiyah terhadap penanggulangan bencana alam (h. 189-195)

Pada tahun 2007 Muhammadiyah mendirikan sebuah lembaga kemanusiaan yang diberi nama MDMC. Seiring berkembangnya MDMC lahirlah sebuah lembaga kemanusiannya lagi yang bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). Perkembangan gerakan filantropi Muhammadiyah dalam kurun waktu 2005-2015 terlihat sangat meningkat. Hal ini diawali dengan munculnya lembaga LAZISMU (Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah Muhammadiyah).

Dalam 10 tahun terakhir LAZISMU mengalami kemajuan yang begitu pesat, hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi yaitu aspek manajemen, wilayah kerja, jaringan dan kelembagaan. Dalam hal manajemen dan jaringan, LAZISMU dapat membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga lain, baik antar sesama lembaga filantropi Islam, khalayak umum, lembaga-lembaga swasta yang berperan sebagai mitra kerjanya.

Sekarang ini, LAZISMU telah tersebar diberbagai penjuru daerah di wilayah Indonesia baik dari tingkat kabupaten, cabang maupun ranting sekalipun yang mana antara daerah yang satu dengan yang lain memiliki jaringan yang kuat.  Lalu dalam hal wilayah kerja, LAZISMU tidak hanya bergerak dalam lingkup lokal/daerah namun sudah memiliki jaringan nasional bahkan internasional. Sedangkan dalam hal kelembagaan, LAZISMU telah mengikrarkan diri sebagai suatu organisasi filantropi yang berperan aktif dalam pengumpulan dana kemanusiaan dan melaksanakan program-rogram atau kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan (h. 197-211).

Periode 2010-2015: Muktamar Satu Abad, Spiritualitas dan Fikih Baru Muhammadiyah

Peringatan hari jadi Muhammadiyah yang ke-100 tahun, hajatan “Muktamar Satu Abad” diselenggarakan di kota kelahiran Muhammadiyah yakni Yogyakarta, tepatnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Muhammadiyah tidak pernah berhenti dalam  melakukan kajian ulang mengenai konsep spiritualitasnya dan juga bentuk-bentuk fikihnya agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat seiring perkembangan zaman sekaligus agar terlihat lebih dinamis.

Baca Juga  Pak AR, Bermuhammadiyah Luar dan Dalam

Spiritualitas Ihsan adalah suatu konsep yang ditawarkan oleh Muhammadiyah. Konsep ini hampir sama dengan konsep Caritas miliki oranag-orang Cordaid, keduanya sama-sama bergerak di bidang kemanusiaan. Bedanya Muhammadiyah bersumber dari Al-Qur’an dan hadist, sedangkan Cordaid merupakan inspirasi dari ajaran Kristen Katholik.

Dalam hal ini Din Syamsudin memiliki harapan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi yang hanya banyak amal ibadahnya melainkan juga yang berkualitas amal ibadahnya. Spiritualitas ihsan ini merupakan suatu konsep solidaritas sosial, kerelawanan, kedermawanan, kecintaan serta dedikasi kemanusiaan. Hal ini memicu warga Muhammadiyah untuk terus melakukan pembaharuan di segala aspek kehidupan (h. 217-223).

Yang menjadi sasaran utama dari gerakan pembaruan Muhammadiyah pada masa ini ialah kemiskinan, baik kemiskinan di bidang ekonomi, pendidikan, keluarga dan yang terpenting adalah aqidah umat Islam. Metode yang digunakan adalah pendekatan Filantropi. Sedangkan unit sasarannya adalah para mustad’afin, yaitu anak yatim, fakir-miskin dan termasuk pula kaum yang terbelakang. Adapun target dari konsep pembaharuan ini sadalah tercapainya kesejahteraan bagi seluruh  umat Islam baik secara lahir maupun batin.

Muhammadiyah di dunia Internasional bukan lagi dianggap sebagai organisasi baru. Keikut-sertaan tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam berbgai forum antar-bangsa sudah cukup lama dirintis, baik untuk misi dialog antar-agama, kemanusiaan, perdamaian maupun dalam upaya untuk mengembangkan berbagai program masyarakat International.

Muhammadiyah melakukan berbagai upaya menuju gerakan Islam Transnasional dan Internasional. Muhammadiyah kurang lebih 100 tahun telah berhasil menjadi transregional di Indonesia. Gerakan transnasional dapat diartikan sebagai gerakan Islam yang mempunyai ideologi dan gagasan yang khas dan dapat diadopsi atau dengan kata lain gerakan Islam yang memperoleh dukungan secara aktif dari umat muslim di segala penjuru dunia.

Namun Muhammadiyah hingga saat ini masih masuk dalam kategori transregional. Karena jika dibandingkan dengan organisasi Islam transnasional yang ada sekarang ini, ruang lingkup gerakan Muhammadiyah masih dalam taraf regional. Walau demikian, tidak menutup kemungkinan aktivisme sosial organisasi Muhammadiyah dan ideologi Islam Moderat akan mendapat respon yang biak dari penjuru dunia yang lain.

Tentu hal ini tidak bisa diraih dengan mudah, pencapaian tersebut diraih jika para pemikir dan ideologi dari gerakan modernis Muhammadiyah mampu mendiseminasi gagasan mereka yang lebih utuh dan jelas terhadap masyarakat dunia yang jangkauannya jauh lebih luas (h. 225-229).

Internasionalisasi Muhammadiyah mengandung beberapa makna. Makna yang pertama menyebutkan bahwa internasionalisasi muhammadiyah ialah upaya memeperkenalkan Muhammadiyah kepada masyarakat dunia internasional melalui pendirian cabang-cabang istemawa di berbebagai belahan dunia. Yang kedua maknanya, partisipasi Muhammadiyah pada tataran dunia internasional. Ketiga, usaha Muhammadiyah dalam meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di berbagai negara dunia.

Selain internasionalisai muhammadiyah juga dikenal istilah internasionalisasi gerakan, peran dan gagasan. Internasionalisasi gerakan ialah upaya memeperjuangkan Muhammadiyah agar menjadi salah satu rujukan model praktik keislaman yang bisa diaplikasikan bukan hanya dalam konteks keindonesiaan saja melainkan juga dapat dipakai pada ruang lingkup dengan jangkauan yang lebih luas lagi.

Internasionalisasi peran merupakan peningkatan peran sekaligus Muhammadiyah dipercaya menjadi salah satu gerakan Islam dalam kegiatan-kegiatan maupun forum-forum tingkat internasionalbaik meliputi misi perdamaian, misi kemanusiaan,maupun kegiatan ilmiah dan sosial. Sedangkan internasionalisasi gagasan ialah usaha untuk memperkenalkan karakter ajaran Muhammadiyah yang telah dirumuskan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah kepada dunia internasional (h. 227-232).

Kajian Fiqih dalam Muhammadiyah mengalami pergeseran atau perluasan materi, di antaranya ialah perumusan Fikih Air dan Fikih Kebencanaan. Aspek yang paling menarik dalam pembahasan Fikih Air ialah Pengelolaan Air dalam Pandangan Islam. Adanya Fikih Air menekankan pada umat Islam seberapa pentingnya menjaga rasa keadilan dengan memanfaatkan air sebaik-baiknya dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan khususnya di Indonesia. Sedangkan Fikih Kebencanaan berusaha melahirkan pandangan-pandangan Islam mengenai berbagai hal yang bersangkutan dengan kebencanaan.

Di dalam buku Fikih Kebencanaan tidak hanya berbicara aspek-aspek normatif pandangan Islam saja, melainkan juga mengajak umat Islam untuk memaknai bencana dari segi positifnya. Dengan munculnya Fikih Kebencanaan diharapkan dapat menjadi motivasi lembaga kemanusiaan untuk menyertakan nilai-nilai spiritual dalam aksi-aksi kemanusian yang mereka lakukan dan dapat memberikan inspirasi bagi organisasi Islam yang lain untuk lebih serius lagi dalam masalah penanggulangan bencana (h. 236-242).

Wacana post-puritanisme Muhammadiyah dapat dilihat dari semakin luasnya gerakan pemberdayaan yang mencakup berbagai kelompok masyarakat. Ideologi Al-Maun versi Ahmad Dahlan dan konsep Tauhid Sosial versi Amin Raisdikembangkan dan dipelihara menjadi tradisi pemberdayaan Muhammadiyah hingga saat ini.

Dari sinilah muncullah Fiqih Al-Maun gaya baru, yang mana pemberdayaan yang dikembangkan semata-mata tidak hanya dalam konteks keagamaan melainkan juga menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang lebih inklusif dan berani melampaui batasan-batasan ide puritanisme versi lama. Dan dari sini pulalah gagasan postpuritanisme Muhammadiyah mulai nampak dan tersedianya tempat yang luas bagi spiritualisme model baru (h. 243-247)

Simpulan

Perjalanan dalam kurun waktu 20 tahun gerakan Muhammadiyah memperlihatkan adanya perkembangan yang dinamis, baik ditinjau dari model pergerakannya, pemikiran keagamaannya maupun sikap politiknya. Sebagai suatu organisasi modernis di wilayah Indonesia, maka Muhammadiyah ditutntut untuk selalu melakukan pembaharuan-pembaharun agar tetap mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan hidup yang semakin rumit dan sulit dipecahkan.  Perubahan dan pergeseran gerakan Muhammadiyah tidak bersifat kaku dan linier.

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds