Review

KH Ahmad Dahlan dalam Novel “Dahlan”

3 Mins read

“Selama ini kita beragama, tapi tidak punya pengetahuan yang cukup, sehingga kita kesulitan untuk menjalankan agama Islam sesuai Syari’at yang sebenarnya. Agama yang tidak diimbangi oleh pengetahuan yang cukup itulah yang aku umpamakan sebagai gayung yang sudah bocor dan rusak gagangnya, sehingga kita tidak dapat menggunakan dan mengambil manfaat darinya”(Haidar Musyafa, 2017:9).

Itu adalah cuplikan prolog yang akan mengawali kisah panjang KH Ahmad Dahlan dalam sebuah novel Dahlan. Nama Ahmad Dahlan sendiri sebenarnya merupakan pemberian hadiah dari Syekh Sayyid Bakri Syatho saat pembagian sertifikat ibadah Haji di Makkah pada tahun 1890 Masehi.

Nama itu pun tercantum dalam sertifikat hajinya dengan nama “Haji Ahmad Dahlan”. Padahal, nama sebelumnya adalah Muhammad Darwis yang diberikan oleh bapaknya, Kiai Haji Abu Bakar seminggu setelah kelahiran pada 1 Agustus 1868 M.

Sedari kecil, KH Ahmad Dahlan adalah anak yang kritis, penuh semangat dalam belajar agama, dan anak dengan tindak tanduk yang santun, lebih unggul dari kawan sepermainannya. Hal ini tampak dari gerak-gerik dalam kesehariannya. Pemikirannya yang kritis muncul ketika masyarakat di daerahnya melakukan ritual adat budaya yang dianggapnya telah menyimpang dari syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Hal ini sebenarnya telah lama disadari oleh sebagian pemuka agama di Kauman, akan tetapi mereka tidak bisa berbuat lebih, karena harus taat dan tunduk terhadap Keraton, Yogya. Jika tidak, maka akan di kucilkan dari daerahnya sendiri.

Ini merupakan sebuah bayang-bayang besar yang sulit untuk dihindari dan dengan sebab ini pula KH Ahmad Dahlan merasa prihatin terhadap masyarakat khususnya warga Kauman. Sama saja meraka mengerjakan shalat lima waktu dan berpuasa pada bulan Ramadhan, akan tetapi juga masih mempercayai hal-hal yang berbau syirik. Oleh karenanya, KH Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi yang sampai saat ini melejit  yakni “Muhammadiyah”.

Baca Juga  Ketegaran Khatib Amin Ketika Sakit Keras
***

Berkat berangkat Haji disertai niat menimba ilmu agama di Makkatul Mukarromah, di sana KH Ahmad Dahlan berkunjung kekediaman ulama tanah air yang telah menjadi guru agama di sana. Dengan bantuan Syekh Muhammad Shodiq dan Syekh Abdul Ghany yang merupakan teman dari bapaknya, bersedia mengantarkannya kekediaman para Kiai diantaranya Kiai Mahfudz asal Termas Pacitan, Kiai Nakhrawi atau Muhtarom asal Banyumas, dan Kiai Muhammad Nawawi asal Banten.

Selain itu, KH Ahmad Dahlan juga diajak berkunjung kekediaman Syekh Sayyid Bakri Syatho yang merupakan ulama Madzhab Imam Syafi’i yang juga bertugas untuk memberikan sertifikat haji bagi jamaah asal Hindia Belanda yang saat ini bernama Republik Indonesia.

Dan yang paling banyak mempengaruhi pemikiran pembaharuan Islam adalah Pemikiran Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Jamaludin Al-Afghany yang dikenalkan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy saat berkesempatan mengunjunginya. Kedua ulama yang dikenalkan itu adalah berasal dari Mesir dan Afghanistan.

Selain memberikan pemahaman baru soal ajaran agama yang bersih dari adat istiadat yang tidak ada tuntutannya dalam Al-Qur’an dan sunah, Syekh Ahmad Khatib juga memberikan bahan bacaan untuk memperluas pengetahuan KH Ahmad Dahlan, di antaranya adalah Al-Salf al-Battar fi Mahq Kalimat Ba’dh Ahli al-Ibthihar, Al-Ayyat al-Bayyinah li al-Munshifin Izalah Khufarat Ba’dh al-Muta’ashshibin, dan al-Baits ila Inkar al-Bid’ahwa al-Muwadits.

Dan satu bahan bacaan lagi yang sangat mendongkrak pemikiran KH Ahmad Dahlan dalam  pembaharuan Islam yakni diberikannya tulisan-tulisan Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Jamaluddin Al-Afghany yang dimuat di majalah Al-Manar. Dari tulisan-tulisan Syekh Muhammad Abduh, KH Ahmad Dahlan menemukan kalimat yang menarik yaitu “Al-Islamu muhajubun bil Muslimin”.

Artinya, agama Islam sebenarnya tertutup oleh umat Islam sendiri. Maka, tidak heran jika ada kalimat yang berbunyi “Laisal Islamu illa Islamuhu, wa laisal Qur’anu illa rasmuhu”, yang artinya tidak ada agama Islam kecuali hanya tinggal namanya, dan tidak ada kitab Al-Qur’an kecuali tinggal tulisannya.

Baca Juga  Buya Syafii: Perbaikan Moral adalah Hal Fundamental
***

Berangkat dari kegelisahan-kegelisan KH Ahmad Dahlan atas warganya yang kian menyimpang dari ajaran Islam. Akhirnya KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi yang bernama “Muhammadiyah” pada tahun 1912 M.

Tujuannya tidak lain adalah untuk mengajak khususnya warganya sendiri dan umumnya masyarakat luas Hindia Belanda untuk kembali pada ajaran yang sebenar-benarnya, yang sesuai ajaran Kanjeng Nabi. Namun, tidak dengan membawa budaya bangsa Arab ke tanah Jawa, melainkan malah harus menjaga dan melestarikan adat dan tradisi Jawa dengan benar. Tujuannya agar supaya tidak sampai terjerumus kedalam perbuatan syirik yang pada hakikatnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Adat istiadat seperti Grebeg Mulud, ziarah kubur, tahlilan, yasinan dan adat-adat yang lain selama tidak mencampuradukkan dengan perbuatan-perbuatan yang mengarah pada syirik, maka tidak menjadi persoalan. Akan tetapi, jika sampai memasang sesajen ditempat-tempat yang dianggap keramat, meminta-minta pada kuburan, menganggap hari yang sial adalah harinya kematian anggota keluarga dan lain sebagainya itulah adalah yang harus dibenahi.

Mengingat pada zaman Rasulullah SAW dulu juga demikian dan kemudian dilarang, hingga akhirnya dibolehkan lagi selama tidak mencampuradukkan akidahnya, bahwa hanya Allah lah yang berhak untuk disembah dan untuk dimintai oleh hamba-hambanya yang beriman.

Wallahu A’lam Bishawab.

Editor: Yahya FR

Muhammad Habibullah
18 posts

About author
Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *