Al-Qur’an mengabadikan berbagai kisah perempuan, termasuk di dalamnya kisah perempuan sebelum kedatangan Islam. Al-Qur’an menyebutkan perempuan dengan berbagai redaksi, di antaranya adalah: al-mar’ah/al-imra’ah, al-nisa, al-banat, al-untsa, atau menyebut nama tokoh perempuan secara langsung.
Menurut para mufasir, redaksi al-mar’ah, al-imra’ah dan al-nisa’ ini digunakan untuk menjelaskan perempuan yang dewasa, baik yang sudah menikah maupun wanita dewasa yang masih lajang.
Sedangkan redaksi al-banat, diperuntukkan bagi remaja perempuan dan masih berstatus lajang. Kemudian, redaksi al-untsa, merujuk kepada penjelasan mengenai gender/kelamin atau biologis.
Dalam tulisan yang singkat ini, penulis akan menyajikan rekam jejak kaum perempuan pra-Islam dalam Al-Qur’an. Guna mengetahui tradisi atau kebiasaan orang terdahulu dalam memperlakukan perempuan. Dengan demikian, barulah kita akan mengetahui bahwa, kehadiran Islam sangatlah mengangkat derajat dan memuliakan perempuan.
Perempuan dalam Al-Qur’an
Perempuan disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 114 kali. 59 kali disebut dengan redaksi al-Nisa’ dan yang term seaakar, 26 kali disebut dengan redaksi al-mar’ah dan yang terbentuk darinya, 29 kali disebut dengan al-untsa dan yang seakar.
Dari jumlah itu, ayat-ayat yang menunjukkan keadaan kaum perempuan di masa pra-Islam (jahiliah) antara lain; QS. Al-Nisa’ [4]: 4, al-Nisa’ [4]:7, al-Nisa’ [4]: 19, al-Nisa’ [4]: 22, al-Nisa’ [4]: 127, al-Baqarah [2]: 229, al-An’am [6]: 139, al-Nahl [16]: 58, al-Nahl [16]: 59, al-Mujadilah [58]:2 dan al-Takwir [81]: 8-9.
Dari sejumlah surah di atas, penulis menyajikan tiga kebiasaan orang-orang terdahulu dalam memperlakukan perempuan.
Tradisi Jahiliah dalam Memperlakukan Perempuan
Pertama, dicerai dengan jumlah tak terbatas.
Allah Swt berfirman;
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Baqarah [2]: 229).
Kebiasaan buruk jahiliah berkenaan dengan kaum perempuan adalah menceraikan istri (yang dapat dirujuki) dengan jumlah yang tidak terbatas. Sedangkan untuk masa ‘iddah lama waktunya jelas dan terbatas.
Menurut Al-Qurtubi, kebiasaan seperti ini, masih berlaku di awal kedatangan Islam. Yang mana seorang suami menceraikan istrinya semau sang suami (dalam hal bilangan cerai). Ketika sang istri hampir habis masa ‘iddah-nya sang suami dengan seenaknya merujuknya.
***
Ketika itu, si suami berkata kepada istrinya, “Aku tidak akan mencampurimu tapi juga tidak akan membiarkanmu bebas.” Sang istri bertanya, “Bagaimana (itu terjadi)? “Sang suami menjawab: Aku akan menceraikanmu dan ketika masa ‘iddah-mu hampir habis, aku akan merujukmu.“
Sang istri mengadukan hal itu ke Aisyah. Aisyah lalu menceritakannya kepada Nabi Saw maka turunlah ayat ini untuk menjelaskan jumlah cerai yang dapat dirujuki tanpa maskawin dan wali lagi. Sekaligus menghapus kebiasaan para suami mencerai istri dengan jumlah yang tak terbatas.
Setelah membatasi cerai hanya dua kali, Al-Qur’an kemudian menggariskan jika para suami berniat merujuk istrinya, maka rujuklah dengan cara yang makruf dan jika ingin menceraikan, maka cerailah dengan cara yang baik.
Merujuk dengan cara yang makruf maksudnya menahan istri dan memperlakukannya dengan cara-cara yang disepakati sebagai kebenaran. Mencerai istri dengan cara yang baik artinya tidak menzalimi haknya sedikit pun dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitinya.
Kedua, membunuh bayi perempuan.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa:
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (QS. Al-Nahl [16]: 58-59).
Tradisi jahili lainnya berkenaan dengan kaum perempuan adalah apabila salah seorang dari istrinya melahirkan anak perempuan. Maka ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, sebab baginya kelahiran anak perempuan sama dengan berita buruk.
***
Selanjutnya ada dua kemungkinan yang akan ia lakukan terhadap anak perempuannya itu; memeliharanya dengan penuh rasa hina, marah sekaligus sedih atau menguburnya hidup-hidup. Ayat ini menegaskan bahwa perbuatan tersebut amatlah buruk.
Abad Badruzzaman mengatakan, “Dari ayat ini diperoleh gambaran betapa jeleknya nasib kaum perempuan dalam pranata jahiliah. Kaum perempuan di zaman jahiliah sudah harus menanggung penghinaan dan penindasan semenjak lahir”.
Dalam QS. Al-Takwir [81]: 8-9 dijelaskan:
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.
Ayat ini juga menunjukkan kebiasaan biadab jahiliah tersebut. Kebiasaan biadab itu mereka lakukan terhadap anak-anak perempuan ketika mereka baru menginjak usia yang seharusnya mendapat buaian dan belaian hangat penuh kasih sayang dari orang tuanya.
Ketiga, memberi makan hewan sembelihan yang sudah mati.
Allah Swt berfirman:
Dan mereka mengatakan: “Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami,” dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am [6]: 139).
Ini merupakan bentuk lain dari kejahiliahan mereka berkaitan dengan perempuan. Dalam tradisi jahili, semua hewan yang terlahir dari induknya adalah khusus milik kaum laki-laki. Hanya saja mereka yang boleh memakannya. Baru ketika anak hewan terlahir dalam keadaan mati, kaum wanita diperbolehkan ikut memakannya. Perbuatan seperti itu merupakan pelecehan terhadap kaum perempuan.
Ayat ini turun menunjukkan bahwa perbuatan semacam itu merupakan kebohongan dan rekaan mereka belaka. Allah akan membalas (dengan siksa) kebohongan dan rekaan mereka itu.
Demikianlah beberapa tradisi jahili dalam memperlakukan kaum perempuan. Mulai dari tindak pelecehan, kekerasan, bahkan pembunuhan. Dengan hadirnya Islam, tradisi itu pun kian memudar hingga akhirnya hilang. Islam hadir untuk mengangkat derajat kaum perempuan dan memuliakannya.
Editor: Yahya FR