IBTimes.ID–Jumat malam, 10/7/2020, Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar diskusi online yang tidak biasa.
Jika biasanya diskusi dalam jaringan (daring) ini membahas hal-hal yang aktual, kini mulai beralih ke “praktik new-normal universitas.” Artinya, mulai menjalankan aktivitas ilmiah, – yakni berbicara tentang buku – namun menggunakan alat, fasilitas dan protokol yang menyesuaikan diri dengan situasi pademi Covid-19 yang belum usai.
Melalui kerjasama Prodi HKI dan Laboratorium Ilmu Pemerintahan, dihelat diskusi mengenai buku karangan Pradana Boy ZTF, PhD, yang bertajuk “Fatwa in Indonesia: An Analysis of Dominant Legal Ideas and Mode of Thought of Fatwa-Making Agencies and Their Implications in the Post-New Order Period.” Diskusi ini dipandu oleh Hasnan Bachtiar, M. Arif Zuhri dan Yana S. Hijri.
Buku ini diterbitkan oleh Amsterdam University Press pada 2018, yang berbasis disertasi doktoral penulisnya. Pradana Boy ZTF, PhD, selaku penulis, menamatkan pendidikan terakhirnya di National University of Singapore (NUS). Sementara itu, gelar sarjana dan magisternya berturut-turut diselesaikan di Jurusan Syariah UMM dan The Australian National University (ANU).
Pradana Boy Mendedah Isi Buku dan Berbagi Pengalaman
Secara substansial, buku ini menyatakan bahwa sesungguhnya dalam produksi fatwa di Indonesia, sangat dipengaruhi oleh tiga institusi pembuat fatwa: Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sementara itu, dalam dinamika pembuatan fatwa, pemikiran keagamaan konservatif dan tradisional mewarnai secara dominan. Sedangkan pemikiran progresif, kendati ada, namun perannya cenderung marginal.
Sang penulis memanfaatkan analisis sosiologi hukum dan sosiologi pengetahuan (Karl Mannheim) dalam meramu konsep-konsep ilmiah mengenai praktik fatwa. Pradana Boy menyatakan, “Sebenarnya pengetahuan individual berbeda dengan pengetahuan komunal, terutama dalam institusi pembuat fatwa yang secara sosial dipengaruhi oleh situasi politik tertentu.”
Yang menarik, fakta mengenai perbedaan jenis pengetahuan (perorangan dan institusi), bisa memproduksi pengetahuan yang tidak selamanya berjalan beriringan. Misalnya di dalam MUI, ada banyak Mufti yang progresif, namun fatwa institusional yang dihasilkan cenderung konservatif.
Lebih dari itu, bedah karya kali ini tidak hanya mengupas secara singkat tentang tesis dan argumentasi dari karya yang diajukan, namun juga proses kreatifnya. Pradana menjelaskan betapa studi doktoral yang memakan waktu lama, sangatlah berat.
Pradana Boy mengungkapkan, “Saya harus bertapa tinggal di study room pascasarjana NUS berhari-hari bahkan di saat liburan, di mana jarang ada mahasiwa datang ke kampus.” Lalu selama mengerjakan tugas akhirnya itu, ia bercerita bahwa, “Proses supervisi yang dilalui dengan profesor pembimbing (Prof Aisha Abdulrahman), dilakukan dengan sangat ketat, bahkan baris demi baris kalimat, setebal lebih dari lima ratus halaman.”
Setelah disertasi selesai dan dinyatakan lulus, Pradana Boy mengerjakan proses publikasinya di Amerika. “Saat itu, saya sedang duduk di University of Massachusetts Amherst, sembari mengikuti kursus singkat tentang ilmu politik,” tuturnya. “Proses review yang berlangsung, berlipat-lipat lebih berat dari disertasi,” lanjutnya.
Pentingnya Etos Kerja Ilmiah
Di akhir bedah buku, ia berpesan kepada para calon sarjana bahwa, “Studi yang kita tempuh, penting kiranya mengedepankan etos kerja ilmiah yang penuh kesungguhan dan integritas akademik yang kuat.” Karena itu, hal yang harus diperhatikan adalah mengenai orisinalitas (keaslian), kejujuran, dan novelty (keistimewaan).
Apa yang disebutkan terakhir itu, berkaitan erat dengan refleksi yang bersifat individual. Jadi, novelty, sebenarnya bisa lahir dari hasil “pertapaan” yang sungguh-sungguh.