Inspiring

Abdullah Sungkar, Tokoh Jamaah Islamiyah

5 Mins read

Abdullah bin Ahmad bin Ali Sungkar atau yang lebih dikenal dengan nama Abdullah Sungkar, lahir di Solo tahun 1937, keturunan dari seorang pedagang dari Hadramaut. Sebelum migrasi ke Indonesia, orang tuanya Ahmad Sungkar pernah menikah hingga dikarunia seorang anak. Setelah beberapa lama tinggal di Indonesia, Ahmad Sungkar menikah dengan seorang wanita Jawa asal Jombang, Jawa Timur. Dari pernikahan inilah lahir Abdullah Sungkar, sebagai anak tunggal.

Karenanya di Indonesia, Abdullah Sungkar tidak memiliki saudara kandung. Akan tetapi, di Arab Saudi, ia memiliki saudara seayah yang sering dikunjungi dan terjalin silaturahmi dengan baik. Sejak kecil, Abdullah Sungkar dididik oleh ayahnya hidup sederhana meskipun secara ekonomi keluarganya tergolong mampu. Ia mendapat pendidikan Islam yang sangat ketat dari keluarganya yang tinggal di “lingkungan religius” (kampung Arab).

Abdullah Sungkar belajar formal mulai Taman Kanak-Kanak sampai SLTA selalu di lembaga pendidikan Islam. TK, SD, Sekolah di Al-Irsyad, SMP dilangsungkan di Modern Islamic School. Adapun SMA di Muhammadiyah Surakarta. Satu kelebihan yang dimiliki Abdullah Sungkar adalah sangat cerdas dan tekun belajar, sehingga dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan sangat baik.

Karenanya, walaupun setelah SMA tidak sempat melanjutkan ke perguruan tinggi, ia dapat belajar agama secara otodidak.

Semangat muda Abdullah Sungkar yang diilhami keimanan yang kuat kepadaAllah, mendorongnya untuk menempa diri berkiprah di gelanggang perjuanganIslam. Untuk itu, ia mulai menempa diri pada organisasi kepemudaan. Pertama – pertamabergabung dengan Kepanduan Al-Irsyad, kemudian Gerakan PemudaIslam Indonesia (GPII).

Sedang dalam politik praktis Abdullah Sungkar menjadianggota partai Masyumi. Walaupun Abdullah Sungkar sangat berkepentingan terhadap pelaksanaan syariah Islam, ia tidak memperjuangkan secara langsunglewat partai. Ia memang menjadi anggota partai Masyumi akan tetapi bukan padalevel elit yang beradu argumentasi di parlemen. Abdullah Sungkar memilih jalurberdakwah sebagai da’i.

Mendirikan Pondok Pesantren Al-Mukmin

Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir bersama sejumlah aktivis lain, seperti Abdullah Baraja, Yoyok Rosywadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase, dan Hasan Basri mendirikan Pondok Pesantren Al-Mukmin. Kegiatan pengajian setelah salat Zuhur di Masjid Agung Surakarta merupakan embrio Pondok Pesantren Al-Mukmin. Pengajian yang dikelola oleh para mubalig dan ustaz ini, selanjutnya dikembangkan menjadi Madrasah Diniyah yang diresmikan pada 17 Oktober 1969.

Pondok Pesantren Al-Mukmin sendiri berhasil direalisasikan pada tanggal 10 Maret 1972 dengan nama “Al-Mukmin.” Karena tambahan jumlah santri yang cukup besar pada akhirnya lokasi pesantren di Gading Kidul tidak dapat diperluas lagi. Keterbatasan geografis menggerakkan para pengurus yayasan mencari lokasi baru yang lebih memungkinkan proses pengembangan lokasi pesantren.

Baca Juga  Tips Anti Tersinggung ala Gus Dur

Pihak yayasan pada akhirnya mendapatkan sebidang tanah di kampung Ngruki. Tanah ini merupakan wakaf (hibah) dari pimpinan pesantren Jamsaren, Solo. Sejak 1 Januari 1974, secara resmi Pondok Pesantren Al-Mukmin dipindahkan ke kampung Ngruki, Grogol, Sukoharjo. (Tim Pondok Pesantren Al-Mukmin, Buku Pedoman Pesantren Ngruki, Surakarta: Pondok Al-Mukmin, 2002, h. 9).

***

Pesantren Al-Mukmin kemudian menjadi terkenal karena mendapat sorotan dari pemerintah, lantaran para tokoh pendiri pesantren ini, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, merupakan tokoh keturunan Yaman —yang pada masa Orde Baru— gencar menentang diterapkannya asas tunggal Pancasila. Terkenal dengan kritisnya terhadap kekuasaan, pesantren ini di masa reformasi bahkan dianggap berbahaya karena banyak alumninya yang terlibat dalam jaringan terorisme.

Dalam publikasi yang berjudul “Al-Qaidah in Southeast Asia the Case of the Ngruki Network in Indonesia”, Sidney Jones menjelaskan bahwa orang-orang Ngruki termasuk Abu Bakar Ba’asyir mempunyai kontak dengan biang aksi teror di kawasan Asia Tenggara. Keduanya pernah disangkut-pautkan dengan rencana pendirian Negara Islam Indonesia.

Dalam buku Panduan Pondok Pesantren Ngruki, disebutkan pendidikan di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki ini lebih menekankan pada penanaman jiwa keagamaan. Para murid ditekankan untuk betul-betul memahami Islam serta mempraktikkannya dalam kehidupan mereka. Khittah pendidikan pesantren juga diteka kan pada aspek pentingnya aqidah, syariah dan bahasa Arab.

Lantaran pesantren ini menekankan pemahaman ruh aqidah islamiah, para santri diharapkan mampu melaksanakan syariat Islam secara murni. Segala bentuk yang mengkhawatirkan dan mengaburkan pengertian aqidah islamiah harus disingkirkan. Pola pengajaran dan penanaman seperti ini cukup memberikesan banyak orang bahwa pesantren ini fundamentalis.

Dengan pola ini,Pesantren Al-Mukmin ingin menanamkan Islam sebagai aturan kehidupan secarafundemental. Dengan kecenderungan seperti ini, apa yang ingin dicapai oleh parapemimpin pesantren Al-Mukmin adalah pemurnian pengamalan ajaran Islam. (Lihat Zuly Qodir, Ada Apa Dengan Pesantren Ngruki?, Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003, h. 28).

Pemikiran Islam: Akidah dan Politik

Dalam dakwahnya, Abdullah Sungkar sering mengacu pada dua kitab masalah tauhid, yaitu: (1) al-Tibyān Sharḥ Nawaqiẓ al-Islām li al-Imām Mujaddid Shaikh al-Islām Muḥammad bin Abd al-Wahhāb, karya Sulaiman bin Nashir bin Abdullah al-Ulwan; dan (2) al-Wala’ wa ’l-Bara’ fi ’l-Islām, karya Muhammad Sa’id al-Qahthani.

Baca Juga  Abu Bakar al-Razi: Sisi Lain yang Jarang Diketahui

Kitab pertama menyuguhkan kepada pembaca bagaimana bertauhid yang benar dengan cara memaparkan hal-hal kebalikannya. Kitab kedua, yaitu al-Walā’ wa al-Barā’ fi ’l-Islām, secara garis besar menerangkan, bahwa tauhid seseorang itu baru benar apabila ia memberikan loyalitasnya hanya untuk Allah kemudian berlepas diri dari selain-Nya.

Ketika ketaatan seorang mukmin hanya tertuju kepada Allah semata, maka secara otomatis ia akan bersikap sebaliknya kepada orang atau sekolompok orang yang bersebarangan dengan “kepentingan” Allah.

Dalam berbagai ceramahnya, Abdullah Sungkar jarang membahas secara khusus tema-tema politik tertentu. Ia lebih banyak mengulas seputar persoalan aqidah atau tauhid, sebab persoalan inilah yang menjadi pangkal segala sesuatu. Seseorang akan mengalami keterpurukan ataupun kesuksesan hidup juga berawal dari persoalan ini, karenanya Abdullah Sungkar sangat menekankan kemurnian aqidah dari anasir-anasir syirik.

Dalam rangka menerangkan pemahaman aqidah atau tauhid yang lurus, Abdullah Sungkar banyak mengemukakan pemikiran-pemikiran politiknya, termasuk menyampaikan contoh- contoh atau kasus-kasus politik aktual. Karena itu, pemikiran politik Abdullah Sungkar integrated dengan pemahamannya akan tauhid. Di samping itu, pemikiran-pemikiran politik tersebut tidak diuraikannya secara sistematis, tetapi hanya sporadis pada ceramah-ceramahnya yang berserakan.

Menolak Paham Nasionalisme

Abdullah Sungkar yang menjadi aktivis pergerakan Islam era Orde Baru dalam memahami konsep nasionalisme dengan menghadapkan sebuah pemikiran dengan firman Allah atau Hadis Nabi. Tauhid yang benar menurut Abdullah Sungkar berarti mengesakan Allah dalam segala hal, pengabdian, pencintaan, penghormatan, pengorbanan dan lain-lain.

Meyakini bahwa negara Indonesia adalah milik bangsa Indonesia berarti telah merusak Tauhid Rububiyah seorang Mu’min, sebab pada hakikatnya Allahlah empunya segala makhluk, termasuk negara Indonesia dan penghuninya.

Abdullah Sungkar juga sangat menentang lambang-lambang negara atau nyanyian, yang menjurus kepada kemusyrikan dan dapat merusak tauhid seorang Mu’min. Menurut Abdullah Sungkar, paham Nasionalisme akan merusak tauhid seorang Mu’min.

Meyakini kepemilikan negara Indonesia oleh sekelompok manusia yang bernama bangsa Indonesia, berarti memberi kebebasan pemiliknya untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keinginannya. Inilah sebabnya, hokum Allah, si pemilik yang sebenarnya tidak dipakai untuk mengatur warga negara tersebut.

Di balik penolakan Abdullah Sungkar terhadap faham Nasionalisme, ternyata ia lebih cenderung kepada konsep khilafah islamiyah dalam politik Islam, yaitu sebuah negara universal, ekstrateritorial dan supranasional, yang tidak dibangun berdasarkan loyalitas regional, rasial atau kelompok tertentu. Menurutnya, hanya akan bisa terhormat apabila khilafah Islam dapat ditegakkan, sehingga ia menolak konsep demokrasi.

Baca Juga  Setelah Merah Putih Berkibar: Saat Ibukota Negara Dipindah ke Yogyakarta
***

Baginya, kalau demokrasi itu identik dengan menyerahkanmurusan kepada kehendak kebanyakan orang, secara tegas ditentangnya. Abdullah Sungkar yang menolak konsep kedaulatan rakyat, hukum yang mesti diberlakukan dalam sebuah negara adalah harus hukum Islam.

Karena pada hakikatnya, hanya Allah yang berhak membuat undang-undang, sedangkan manusia, apapun status dan keahliannya tidak ada kewenangan, kecuali pada paraturan yang sifatnya tidak prinsipil, seperti peraturan tentang lalu lintas.

Adapun yang bersifat prinsip manusia yang membuat hukum berarti telah menyamakan dirinya sama kedudukan dengan Allah, dan itu adalah perbuatan syirik. Penegakan hukum Islam dalam sebuah negara tidak lain dalam rangka memenuhi seruan Allah, bahwa umat Islam harus berislam secara totalitas, dalam segala aspek kehidupan termasuk bernegara, kalau tidak berarti seseorang telah beriman kepada sebagian ayat Allah dan mengkafiri sebagian yang lain.

Bagi Abdullah Sungkar, persoalan penegakan Syari’at Islam adalah masalah yang sangat prinsip. Meskipun demikian, sebenarnya ia tidak peduli siapa yang akan melaksanakan agenda penting itu.

Mendirikan Jamaah Islamiyah

Abdullah Sungkar pernah bertemu dengan Kahar Muzakkar, tokoh DI/TII untuk membentuk Republik Persatuan Indonesia, sebuah negara Islam yang melibatkan kekuatan di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan. Sebagai Muslim yang memahami pentingnya al-jamaah, keduanya merintis kelompok Jamaah Islamiyah. Pendirian jamaah ini merupakan langkah Sungkar bersama Ba’asyir setelah keduanya menolak ajakan Abdullah Thufail Saputro untuk bergabung di MTA.

Tahun 1976, ia menggabungkan diri dengan NII di bawah pimpinan Ajengan Masduki dengan pertimbangan sebagai afiliasi Jamaah Islamiyah yang dibentuk sebelum akhirnya memisahkan dan menjadi faksi NII tersendiri.

Pada tahun 1985, Abdullah Sungkar lari ke Malaysia menghindari kejaran tentara keamanan RI yang akan menangkapnya. Sebelum meninggalkan Solo, Abdullah Sungkar sempat menemui dan meminta nasehat Kyai Ali Darokah tentang rencana kepergiannya ke Malaysia.

Pada tahun 1999, ketika era reformasi bergulir dan lengsernya Soeharto dari kursi presiden membawa harapan baru, sehingga Abdullah Sungkar bersama Abu Bakar Ba’asyir memutuskan berkunjung ke Indonesia untuk bersilaturrahim ke beberapa kawan seperjuangan, tetapi mendadak ia terserang gangguan jantung.

Akhirnya, setelah melakukan salat Zuhur dan Ashar yang dijamak, Abdullah Sungkar meninggal dunia dan dimakamkan di Klaten pada hari Ahad, tanggal 24 Oktober 1999.

Selengkapnya: Jurnal Walisongo
Editor: Azaki Kh & Yahya FR
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *