Oleh: Daffa Salsabila Putra*
Poligami tidak pernah usai diperbincangkan. Ia bisa dilihat dari berbagai perspektif, mulai dari perspektif sosial-budaya hingga dari perspektif teologi-tafsir. Penulis fokus pada bagaimana ulama dan para pemikir Islam memaknai soal poligami.
Dimulai dengan tafsir terhadap QS. al-Nisâ’ [4]:3 yang secara tekstual menyebut soal poligami. Menarik, setelah ditelusuri, ternyata tidak ada pandangan tunggal tentang kebolehan poligami dalam konteks sekarang. Ada yang pro tanpa syarat, bahkan boleh bagi seorang suami untuk berpoligami hingga dengan sembilan istri secara sekaligus seperti dilakukan Nabi Muhammad Saw.
Sebelum memaknai mengenai poligami lebih lanjut hendaknya terlebih dahulu mempelajari sejarah poligami. Dalam memahaminya paling tidak akan ditemukan dua polemik yang menjadi perhatian.
Pertama, yakni dengan wajah eksterior. Melihat secara eksterior peristiwa poligami berarti berhadapan dengan ruang dan waktu. Garis besarnya mengenai kapan Nabi berpoligami serta situasi bagaimana sehingga Nabi berpoligami.
Kedua, dengan wajah internal. Hal ini terkait dari sisi kejiwaan Nabi melakukan poligami yang berlandaskan atas apa Nabi berlaku demikian. Tentunya memahami persoalan ini merupakan suatu hal yang penting, sebab sebagian umat berpandangan bahwa poligami merupakan suatu ibadah ritual yang dilakukan Nabi di masa lampau.
Sejarah Poligami Nabi
Menilik sejarah Nabi berpoligami, sebenarnya beliau berbuat demikian setelah istri pertamanya, yakni Khadijah r.a wafat pada usia 65 tahun sedang Nabi berusia 50 tahun. Selang tiga atau empat tahun setelah kematian Khadijah barulah Nabi menikah lagi.
Selain Aisyah, para istri yang telah dinikahi Nabi berstatus janda. Nabi pun memiliki alasan tertentu untuk menikahi mereka. Seperti; Saudah binti Zam‘ah Hindun atau Ummu Salama Ramlah dan Huriyah binti Al-Haris adalah tawanan pasukan Islam. Hafsah, putri Umar bin Khattab, adalah seorang janda, seperti halnya Shafiyah binti Huyay, dan yang lainnya. Fakta ini tidak diketahui oleh sebagian pendukung poligami. Bahkan sebagian mereka tidak mau tahu atau enggan mengetahui latarbelakang pernikahan tersebut.
Ada yang setuju dengan poligami dengan mempertimbangkat berbagai aspek. Dikatakan, tidak setiap orang boleh berpoligami. Hanya dalam kondisi daruratlah poligami bisa ditoleransi. Artinya, dalam suasana normal, poligami tidak bisa dilakukan.
Karena kondisi darurat itu bisa bias dan subyektif, maka muncul kelompok berikutnya yang kontra poligami. Bagi kelompok terakhir ini jelas, zaman Nabi memang zaman poligami, tapi zaman sekarang seharusnya adalah zaman monogami. Menurut kelompok ini, yang dituju dari pembatasan poligami oleh Alquran adalah monogami.
Banyak ulama yang menoleransi praktik poligami dalam kondisi darurat. Darurat yang dimaksud, di antaranya, adalah: istri mandul sehingga tidak bisa melahirkan keturunan, istri mengidap penyakit permanen yang menyebabkan istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri. Menurut Abduh dan Qâsim Amîn, dua darurat itu bisa menjadi alasan suami untuk berpoligami.
Sementara al-Marâghî dan Shihab menambahkan daftar darurat tersebut, seperti libido suami tinggi sementara libido istri rendah, istri menopause sementara suami masih “segar”, jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki. Namun, ulama ini tidak berpikir jika kondisi sebaliknya yang terjadi; suami mandul, suami mengidap sakit permanen, suami mengalami andropause, jumlah laki-laki lebih banyak dari jumlah perempuan.
Praktik Poligami dalam Alquran
Sebaliknya dengan para ulama, para pemikir Islam yang hanya menoleransi poligami pada zaman Nabi. Toleransi ini diberikan bukan karena kondisi saat itu adalah darurat melainkan karena ketidakmungkinan Alquran untuk menghapuskan praktik poligami secara sekaligus. Poligami telah menjadi tradisi di berbagai belahan dunia. Yang paling strategis dilakukan Alquran melalui Nabi bukan menghapus poligami sampai tuntas melainkan membatasi jumlah poligami dengan syarat-syarat yang sulit untuk dijalankan
Di samping itu, ada tujuan yang mulia terkandung di dalam Pratik poligami saat zaman Nabi. Ketika para istri sahabat wafat maka timbul rasa sedih yang dikhawatirkan akan berlarut-larut. Di sinilah peran perempuan yang kemudian telah dinikahinya saling menghibur di antara keduanya sekaligus mendukung perjalanan dakwah mensyi‘arkan agama Islam. Pratik poligami yang banyak dituduh sebagai pelampiasan nafsu birahi dan berbuat semena-mena terhadap lawan jenisnya, namun pada kenyataannya hal itu untuk menjaga suami berbuat menyimpang dengan perempuan lain.
Praktik poligami juga bisa dilakukan bilamana timbul akibat dari bencana alam, kelaparan, dan hal lainnya. Hal itu sebagai salah satu wujud tanggungjawab untuk mengentaskan problem-problem sosial yang terjadi dalam masyarakat dengan syarat dapat berbuat ma’ruf bagi mereka maka dari hal tersebut Manfaat Poligami bisa dirasakan.
***
Akhir kata penulis menyampaikan bila memang akan timbul adanya hal-hal negatif ketika suami melakukan poligami.maka poligami itu menjadi suatu praktik yang harus dihindari karena syarat mutlak poligami adalah bisa dan mampu berbuat adil.
*) Ketua Bidang Tabligh IMM Al Farabi UIN Sunan Ampel, Surabaya