K.H. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur merupakan sosok yang cerdas, tegas, dan humoris. Beliau tidak hanya dikenal sebagai tokoh agama, tapi juga sebagai tokoh negara yang pernah menjadi presiden keempat di Indonesia.
Apa Itu Pribumisasi Islam?
Sebagai tokoh agama dan tokoh negara, Gus Dur berupaya agar antara agama dan negara berjalan berdampingan dan tak menghilangkan aspek independensi masing masing. Salah satunya dalam pemikiran Pribumisasi Islam-nya terkait dengan gagasan yang dikenal sebagai Islam Nusantara, yang merupakan upaya untuk menggabungkan Islam dengan tradisi dan budaya lokal di wilayah Nusantara.
Dalam konsep ini, Islam dan tradisi lokal dihormati secara bersamaan, tanpa ada upaya untuk mengurangi atau mengesampingkan salah satu di antaranya. Dengan kata lain, Islam tetap mempertahankan karakternya yang khas, begitu pula dengan budaya lokal yang juga mempertahankan identitas dan karakternya sendiri, sehingga keduanya tidak bersifat dominan satu sama lain.
Gus Dur merumuskan konsep Pribumisasi Islam sebagai respons terhadap fenomena keislaman di Indonesia yang cenderung mengurangi nilai-nilai budaya dan lokalitas dalam upaya untuk menonjolkan identitas Arab baik secara lisan maupun dalam tampilan fisik.
Gus Dur mengamati bahwa beberapa individu bahkan menganggap bahwa Islam secara eksklusif terkait dengan budaya Arab. Namun, Gus Dur berpendapat bahwa sebenarnya lokalitas dan budaya juga turut membentuk dan mempengaruhi Islam.
Dalam pandangan Gus Dur, Islam dan lokalitas saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, pribumisasi Islam menjadi metode penting dalam membentuk Islam Nusantara. Dalam pendekatan ini, budaya dan tradisi lokal tetap diakomodasi, dan seseorang tetap dapat menjadi seorang muslim yang sepenuhnya sambil tetap menjalankan tradisi dan budaya seperti nyadran, sedekah bumi, selametan, serta tradisi-tradisi lokal Nusantara lainnya yang menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Nusantara secara kultural. Sebagaimana yang Gus Dur katakan:
“Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan ‘Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, dimana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk luarnya’” (Wahid, 1999: 108).
***
Memahami Islam melalui tradisi dan budaya lokal melalui Pribumisasi Islam tidaklah tanpa tantangan. Sebagai contoh, kelompok Arab dengan pandangan Wahabi masih meyakini bahwa mencampuradukkan budaya dengan Islam akan mengurangi kemurnian Islam secara teologis. Namun, seperti yang telah dijelaskan oleh Gus Dur sebelumnya, Pribumisasi Islam tidak mengganggu iman seseorang atau ibadah secara formal.
Harap dicatat bahwa dalam konteks Islam Nusantara, Gus Dur hanya membicarakan Pribumisasi Islam sebagai proses dan mekanisme untuk membentuk budaya Islam Nusantara. Dengan demikian, dalam diskusi tentang Islam Nusantara, Gus Dur hanya memberikan metodologi untuk Islam Nusantara, bukan tentang Islam Nusantara itu sendiri.
Namun demikian, pandangan tentang Islam Nusantara dapat ditemukan dalam pemahaman Gus Dur tentang sejarah kedatangan Islam di Nusantara, proses akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara, dan corak kebudayaan dari Islam pesantren, yang menurutnya merupakan hasil akumulasi dari islamisasi di Nusantara.
Dalam konteks ini, karena wilayah Islam Nusantara berada di wilayah Islam dan budaya Nusantara, Pribumisasi Islam menjadi metodologi untuk mengintegrasikan Islam ke dalam budaya tersebut. Hal ini terjadi karena pribumisasi Islam adalah proses penyelesaian ketegangan antara Islam dan budaya.
Islam adalah agama hukum yang mengandung jaringan aturan, sementara budaya adalah kreativitas manusia yang melibatkan proses perubahan. Ketegangan antara aturan yang menuntut ketetapan dan kreativitas yang membutuhkan perubahan seringkali memunculkan kontradiksi, dan akhirnya ketegangan antara agama dan kebudayaan.
Tiga Pemahaman tentang Pribumisasi Islam
Kita bisa memahami bahwa Pribumisasi Islam digerakkan Gus Dur dalam kontekstualisasi Islam. Di dalam maksud ini, terdapat tiga pemahaman, yakni:
- pribumisasi Islam bukanlah ‘Jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab ia hanya proses mempertimbangkan kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. pribumisasi Islam bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqh.
- Akomodasi adat oleh fiqih (al-’adah muhakkamah). Contoh: akomodasi hukum waris Islam atas adat waris lokal seperti adat perpantangan (Banjarmasin) dan gono-gini (Yogyakarta-Solo). Akomodasi ini dilakukan melalui pemilahan harta warisan menjadi dua bagian. Bagian pertama dibagi menurut tradisi gono-gini, bagian separuhnya dibagi melalui waris Islam.
- Pengembangan aplikasi nash. Contoh: Setelah lahir wacana emansipasi wanita (modern), dibutuhkan perubahan cara-pandang keadilan dari keadilan menurut suami, menjadi keadilan menurut istri dalam kasus poligami. Kasus ini merujuk pada AlQur’an Surat An-Nisa ayat 3 yang menjelaskan, “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berbuat adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat dzalim.” Dengan adanya perubahan cara pandang atas keadilan, maka istri mendapat keadilan dengan cara tidak dipoligami, tanpa harus mengganti nash al-Qur’an itu sendiri.
Pribumisasi Islam untuk Muslim Milenial
Bagi generasi Muslim Milenial, Pribumisasi Islam menawarkan beberapa manfaat yang relevan. Pertama, pribumisasi Islam memungkinkan mereka untuk menghargai dan menjaga warisan budaya dan tradisi lokal, sambil tetap setia pada ajaran agama Islam. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengembangkan identitas ganda yang mencakup nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya setempat.
Kedua, Pribumisasi Islam membuka pintu bagi generasi Muslim Milenial untuk berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan beragama yang inklusif dan harmonis. Dengan memahami dan menghargai keberagaman budaya, mereka dapat menjalin dialog antaragama dan membangun hubungan yang baik dengan pemeluk agama lain.
Ketiga, Pribumisasi Islam menawarkan pendekatan yang adaptif terhadap zaman dan tantangan kontemporer. Dalam dunia yang semakin global dan serba terkoneksi, Pribumisasi Islam memungkinkan generasi Muslim Milenial untuk memadukan nilai-nilai universal Islam dengan konteks sosial dan budaya mereka. Dengan demikian, mereka dapat menjadi agen perubahan yang membawa nilai-nilai Islam ke dalam aspek kehidupan yang relevan dan bermakna bagi masyarakat.
Keempat, Pribumisasi Islam menawarkan sebuah wawasan yang menyeluruh tentang Islam sebagai agama yang menghormati dan memuliakan kemanusiaan. Dalam konsep ini, keadilan, kesetaraan, dan pembebasan individu dari penindasan menjadi nilai-nilai sentral yang ditekankan. Generasi Muslim Milenial dapat memanfaatkan konsep ini untuk berkontribusi dalam membangun masyarakat yang inklusif, menghargai perbedaan, dan memperjuangkan hak asasi manusia.
Kesimpulan
Konsep Pribumisasi Islam oleh Gus Dur memberikan panduan yang berharga bagi generasi Muslim Milenial dalam mengembangkan pemahaman dan praktek keislaman yang sesuai dengan budaya lokal, inklusif, adaptif, dan berfokus pada kemanusiaan. Dengan menerapkan konsep ini, generasi Muslim Milenial dapat menjadi agen perubahan yang membawa nilai-nilai Islam yang universal ke dalam realitas kehidupan mereka dan masyarakat sekitar.
Daftar Pustaka
Ahmad, F. (2018, April 4). ISLAM NUSANTARA MENURUT GUS DUR: KAJIAN PRIBUMISASI ISLAM. Mozaic : Islam Nusantara, 4(1), 21 – 40.
Hasan, Abdul Wahid. (2015). Gus Dur Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru Bangsa. Yogyakarta: IRCiSoD
Sa’diyah, H., & Nurhayati, S. (2019). Pendidikan Perdamaian Perspektif Gus Dur: Kajian Filosofis Pemikiran Pendidikan Gus Dur. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 14(2), 175-188.
Editor: Soleh