Oleh: Rheza Firmansyah*
Berdasarkan kalender demokrasi Indonesia, pada 23 September 2020 mendatang akan dilaksanakan Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati dan Walikota, Wakil Walikota secara serentak (Pilkada serentak) di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti 269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.
Pilkada serentak 2020 merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015. Dengan pelaksanaan pilkada serentak ini diharapkan masyarakat untuk turut serta memberikan hak pilihnya secara demokratis dalam rangka memilih calon kepala daerah yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan amanat pasal ayat 4 UUD NRI 1945 yang mengamanatkan tentang pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Dinasti Politik di Daerah
Dengan dipilihnya kepala daerah secara langsung dan demokratis setidaknya ada dua implikasi. Pertama, kepala daerah memiliki legitimasi penuh dari masyarakat daerah karena telah memilih secara langsung. Kedua, masyarakat dapat mengawasi secara langsung program pemerintah daerah dan masayarakat dapat menarik mandate yang telah diberikan apabila kepala daerah tersebut terbukti melakukan kesalahan. Selain itu adanya pemilhan langsung kepala daerah ini juga turut mempeerkuat konstruksi otonomi daerah yang selama ini menjadi instrument untuk menyejahterakan masyarakat.
Namun perlu menjadi perhatian bagi kita semua adalah munculnya berbagai dinasti politik pasca reformasi yang tumbuh subur di berbagai daerah. Dinasti politik ini tidak sekedar terkait dominasi kekuasaan oleh seorang aktor politik yang mewariskan dan mereproduksi kekuasaannya kepada keluarganya, tetapi juga bagaimana konstruksi sosial masyarakat didesain dalam sebuah relasi sosial yang berkeadilan dan lebih humanis. Kekuasaan hanyalah sebagai pintu masuk bagaimana alat- alat kekuasaan ekonomi politik dikuasai oleh keluarga aktor tersebut.
Kemudian yang menjadi permasalahan akut adalah kekuasaan tersebut tidak mampu membawa perubahan sosial ekonomi kepada masyarakat. Praktis kekuasaan hanya menjadi tameng bagi keluarganya untuk menguasai hajat hidup orang banyak dan dilakukan hanya untuk memakmurkan kesuksesan ekonomi politik keluarganya.
Publik tentu masih mengingat bagaimana sosok keluarga Atut yang melakukan monopoli kekuasaan di Provinsi Banten. Monopoli yang dilakukan oleh keluarga Atut berdampak parah terhadap kondisi sosial masyarakat Banten. Kue pembangunan tidak dapat disebar secara merata kepada seluruh masyarakat Banten karena dikuasai oleh keluarganya. Saluran politik nyaris tersumbat oleh keluarga (suami, ibu tiri, adik kandung, kakak ipar, anak) yang terlibat secara dominan dalam setiap kontestasi politik. Fenomena keluarga Atut adalah sebagai contoh bagaimana dinasti politik yang lahir diera reformasi.
Perdebatan
Fenomena dinasti politik ini bukan hanya terjadi pada Provinsi Banten saja. Melainkan juga terjadi di berbagai daerah lain seperti Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Kediri, Kabupaten Kendal, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bantul, dan beberapa daerah lain.
Fenomena dinasti politik ini tidak hanya terjadi di negara berkembang. Di Amerika yang notabene adalah negara maju secara demokrasi pun juga terjadi fenomena demikian. Kita tentu masih ingat dinasti John F Kennedy dan dinasti George W Bush. Kemudian hal tersebut juga terjadi di negara tetangga Filipina di mana dinasti Aquino berkuasa. Juga dinasti politik Gandhi yang tumbuh subur di India.
Kaitanya dengan fenomena dinasti politik ini terjadi perdebatan di kalangan sarjana Ilmu sosiologi dan Ilmu Politik. Dinasti politik bukanlah gejala yang menghkawatirkan. Argumen ini dibangun berdasarkan pengalaman India di mana dinasti politik terus muncul, akan tetapi demokrasi nya tetap stabil dan bermutu (Robertus Robert: 2010). Selain itu dinasti politik juga dapat dijadikan sebagai wahana mentorship ketika tokoh politik menularkan pengalaman dan proses pembelajaran secara langsung kepada anggota keluarganya.
Namun, di sisi lain ada pendapat yang berbeda, Burhanuddin Muhtadi mengutarakan secara politik, dinasti juga memakan ongkos yang mahal. Praktik dinasti sebagai pihak yang bertanggungjawab atas maraknya gejala personalisasi politik. Gejala ini berimplikasi pada proses pengambilan keputusan tidak lagi berdasarkan rasionalitas dan kepentingan masyarakat. Melainkan didasarkan pada keputusan individual aktor dinasti yang berkuasa (Hedman&Sidel: 2000).
Tiga Upaya
Untuk mecegah terjadinya dinasti politik yang semakin predatoris setidaknya ada tiga upaya besar. Pertama, reformasi dari sisi supply-side. Partai politik sebagai produsen pejabat publik harus bertindak adil dalam mencalonkan pejabat publik. Partai tidak boleh sekedar melirik faktor popularitas dan finansial calon tersebut, akan tetapi juga harus mempertimbangkan kapasitas dan integritas dari calon tersebut.
Kedua, adanya pembatasan terhadap dana kampanye yang harus ditegakkan agar tercipta playing field yang adil antara calon yang berkantong cekak dan calon dari dinasti yang berkantong tebal. Akses dinasti untuk menggunakan cara cara yang tercela harus ditutup rapat- rapat. Ketiga, dari reformasi demand-side. Pemilih harus mendapatkan pendidikan dari kalangan civil society dan media agar bisa memilih berdasarkan kualitas pilihan terbaik bukan semata- mata karena uang.
Prinsip reward dan punishment harus dipegang teguh oleh pemilih. Kalau ada petahana maju sebagai calon daerah dinilai buruk (gagal membenahi masalah) maka jangan dipilih sekalipun dari kalangan dinasti. Namun apabila petahana tersebut terbukti berkualitas dan berhasil dari kalangan dinasti maka sudah selayaknya dia dipilih.
*) Peneliti PSHK FH UII & Tim Asistensi Bawaslu DIY
Editor: Nabhan