Rencana Kementerian Agama menghapus materi tentang “perang” (al-qital) dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) sudah di depan mata. Pada akhir tahun ini, buku ajar SKI baru akan diproduksi dan sekaligus diuji kelayakan di hadapan publik. Problem penghapusan materi perang dalam buku SKI pun perlu dibahas lebih luas.
Pada tahun ajaran baru 2020 nanti, paling tidak penghapusan materi perang sudah dilakukan di semua level madrasah. Demikian penegasan Direktur Kurikulum Sarana Prasarana Kesiswaan dan Kelembagaan (KSKK) Madrasah Kemenag, Ahmad Umar, bulan lalu di Jakarta (13/9).
Hanya untuk meredam gejala radikalisme yang mulai masuk di lingkungan madrasah, Kemenag malah menutupi fakta historis “perang” pada zaman nabi hingga para sahabat. Selain tidak tepat, kebijakan Kemenag ini sebenarnya salah satu bentuk kegagalan dalam proses literasi sejarah.
Konten Sensitif Tentang Jihad
Mata pelajaran adalah salah satu di antara komponen dalam sistem kurikulum pendidikan. Yaitu, satuan materi yang disusun berdasarkan disiplin keilmuan tertentu. Dengan demikian, kegiatan belajar mengajar pada suatu mata pelajaran sebenarnya tidak bisa lepas dari sumber-sumber belajar yang digunakan. Di antara sumber-sumber belajar berupa teks-teks buku atau modul yang telah dipersiapkan.
Kualitas penulis teks-teks buku ajar atau modul sangat menentukan dalam proses pengenalan, pemahaman, dan internalisasi materi pembelajaran. Lebih dari itu, kualitas penulis teks-teks buku ajar akan mempengaruhi bagaimana pola pikir dan pemahaman siswa terhadap isu-isu sensitif dalam ajaran agama—baik dalam konteks normativitas maupun historisitas.
Salah satu doktrin normatif agama Islam yang paling banyak menuai kontroversi dalam penafsirannya adalah perintah jihad. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan tentang jihad selalu disatukan dengan kasus perang (al-qital). Selain sudah out of context, penafsiran yang masih menyatukan antara jihad dengan perang menunjukkan bahwa khazanah al-turats (khazanah peradaban) dalam Islam telah mengalami apa yang penulis sebut dengan istilah ”defisit epistemologi.” Menciptakan problem penghapusan materi perang dalam buku SKI.
Khazanah al-turats yang mengalami defisit epistemologi ini kemudian direproduksi kembali lewat penulisan-penulisan ulang teks-teks buku ajar yang digunakan di madrasah atau sekolah. Sehingga para santri atau siswa tidak mampu membedakan makna jihad dan perang secara subtantif. Penyatuan pembahasan dalam teks-teks buku ajar antara jihad dengan perang seolah-olah keduanya merupakan kesatuan utuh: jihad adalah perang atau perang adalah jihad.
Problem penghapusan materi perang dalam buku SKI
Memang tidak dapat dipungkiri, jihad adalah salah satu doktrin Islam sebagaimana termaktub dalam al-Quran. Kata jihad dengan ragam derivasinya dalam al-Quran disebutkan sebanyak 41 kali (Chirzin, 2006). Wahyu Tuhan tidak turun di ruang kosong. Lewat perantara Nabi SAW pesan-pesan wahyu diterjemahkan ke dalam setting historis-sosiologis-kultural pada masanya.
Latar belakang historis-sosiologis-kultural (asbab an-nuzul) sangat menentukan bagaimana formula penafsiran wahyu tentang jihad menginspirasi sang Nabi SAW—sebagai penafsir pertama—yang kemudian diikuti oleh umat Islam. Otoritas kenabian (ma’shum) telah menutup pintu perdebatan dalam ruang penafsiran wahyu yang telah dijamin oleh Allah SWT.
Namun seiring dinamika zaman, terutama pasca wafat Nabi SAW, fungsi risalah Islamiyah diembankan kepada para ulama (al-’ulama warasat al-anbiya). Hanya saja, para ulama tidak mengemban misi kenabian yang memiliki otoritas penafsiran di bawah bimbingan langsung dari Allah SWT.
Para ulama penafsir wahyu hanya melanjutkan fungsi risalah Islamiyah, sehingga ketika mereka menafsirkan ayat-ayat tentang jihad tidak memiliki otoritas untuk pembenaran secara mutlak. Apabila para penafsir wahyu dianggap memiliki otoritas kenabian, mereka berpotensi memonopoli kebenaran penafsiran. Inilah yang sangat berbahaya karena satu model penafsiran akan diyakini sebagai kebenaran mutlak dan akan terus direproduksi pemahamannya oleh generasi berikutnya.
Asal Usul Perang Dianggap sebagai Jihad
Dengan membatasi fungsi ulama sebagai penerus misi dakwah Islamiyah, maka produk-produk tafsir dari para ulama terdahulu pun bersifat relatif karena temporer. Namun dalam praktiknya, justru para ulama telah melampaui fungsi kenabian dengan mengambil otoritas untuk menentukan dan memonopoli kebenaran produk-produk tafsir mereka. Jika menempuh langkah yang sama, mungkin saja memunculkan problem penghapusan materi perang dalam buku SKI.
Seiring dinamika zaman dalam konteks ruang historis-sosiologis-kultural yang berbeda, progres atas produk-produk tafsir dari para ulama terdahulu mengalami ’ortodoksi ilmiah’—meminjam istilah Arthur Rorsch (2014). Ortodoksi ilmiah disebabkan karena proses reduksi dan simplifikasi. Akibatnya, khazanah al-turats dalam Islam mengalami apa yang penulis sebut sebagai “defisit epistemologi.”
Akibat defisit epistemologi, produk tafsir tentang doktrin jihad sering tidak relevan ketika dipraktikkan. Seperti praktik ‘bom bunuh diri’ yang diyakini sebagai ‘amaliah jihad.’ Model pemahaman tafsir jihad semacam ini jika dilacak literaturnya, sebagai contoh akan bertemu pada model produk tafsir Sayyid Quthb. Latar belakang historis-sosiologis-kultural ketika Quthb menulis tafsir Fi Dzilal al-Quran sangat menentukan dalam membentuk produk tafsirnya tentang jihad.
Namun, keputusan Quthb untuk menjadikan doktrin jihad sebagai praktik al-qital sebagai kewajiban setiap muslim dalam menghadapi musuh adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan dalam merebut otoritas kebenaran tafsir. Para pengikut Sayyid Quthb yang mempraktikkan doktrin jihad dengan cara bom bunuh diri seolah-olah mendapat legitimasi kebenaran. Padahal, produk tafsir yang lahir dari ruang historis-sosiologis-kultural tertentu sangat mungkin tidak relevan ketika diterapkan dalam konteks yang berbeda.
Tidak Perlu Dihapus, Hanya Pemisahan Konten
Jika pemahaman tentang doktrin jihad masih dianggap paralel dengan al-qital, maka yang demikian mengindikasikan suatu bentuk reduksi dan sekaligus simplifikasi. Memahami doktrin secara parsial tanpa mempertimbangkan latar belakang historis-sosiologis-kultural menjadikan formulasi tafsir tidak memiliki pijakan makna dan relevansi yang jelas. Begitu juga penyederhanaan pemahaman terhadap suatu doktrin menjadikan umat Islam mengalami defisit epistemologi.
Jihad itu sendiri adalah spirit dakwah Islamiyah yang bersifat inklusif, terbuka untuk semua strategi dan pendekatan, dan dinamis seiring perubahan sosio-kultural pada masanya. Makna jihad tidak dapat disetarakan dengan ‘amaliah jihad’—istilah para teroris—yang justru sangat eksklusif. Menutup semua strategi dan pendekatan, serta cenderung statis karena model pemahaman sebatas mengadopsi tafsir-tafsir terdahulu.
Sedangkan al-qital adalah syariat yang sebenarnya kontradiktif dengan ajaran pengakuan terhadap hak hidup manusia, seandainya tanpa melibatkan peran otoritas kharismatik sang Nabi SAW. Al-qital itu sendiri adalah mekanisme survive yang harus dipraktikkan secara kolektif dan masif, tidak secara individual dan sporadis.
Dengan demikian, merespon langkah Kemenag yang akan menghapus konten perang dalam mata pelajaran SKI, penulis berpendapat bahwa upaya menghapus konten ini jelas kontra produktif. Selama ini, narasi-narasi historiografi umat Islam sering menjumpai “ruang-ruang gelap” akibat minimnya sumber-sumber sejarah.
Di “ruang-ruang gelap” sejarah itulah seringnya umat Islam terjebak pada tafsir-tafsir reduktif yang dilatarbelakangi kepentingan politik kelompok tertentu. Kondisi seperti ini sering memicu interpretasi yang tidak tepat dalam memahami subtansi sejarah. Khususnya peristiwa “perang” pada zaman Nabi maupun para sahabat.
Jihad Bukan Hanya Perang
Penulis sendiri yakin akan banyak resistensi jika buku ajar baru diuji di hadapan publik pada akhir tahun ini. Bagaimanapun juga, jihad dan qital adalah konten yang bersifat normatif sekaligus historis dalam ajaran Islam, sehingga tidak dapat dihapuskan begitu saja. Dalam pengamatan penulis, pembahasan dalam kitab-kitab klasik tentang doktrin jihad memang sudah semestinya dipisahkan dari konteks al-qital.
Sebab, penyatuan pembahasan jihad dan al-qital seakan-akan membangun pola hubungan parallel antara keduanya: jihad adalah perang atau sebaliknya. Makna jihad lebih luas dan sangat terbuka untuk pengembangan strategi dan pendekatan di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir.
Fokus pengembangan penafsiran doktrin jihad yang relevan untuk saat ini adalah produk tafsir yang bersifat produktif. Dengan meletakkan hubungan paralel antara jihad dan dakwah, maka makna jihad dapat diletakkan sebagai pondasi atau spirit bagi aktivitas dakwah yang cakupannya sangat luas.
Jihad sebagai spirit dakwah Islamiyah lebih bersifat inklusif. Formula tafsir jihad secara inklusif seperti yang digagas Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar-nya. Menurut Rasyid Ridha, definisi jihad adalah segala usaha dan jerih payah yang dilakukan umat Islam dalam menegakkan kebenaran, kebaikan, dan keutamaan serta melawan kebatilan tanpa pemutusan hubungan atau pembuatan garis demarkasi antara masyarakat muslim dan non-muslim (Chirzin, 2006).
***
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang multikultural, spirit jihad tidak boleh direduksi menjadi doktrin eksklusif hanya untuk umat Islam. Apalagi hanya untuk kelompok tertentu, sekalipun sesama umat Islam. Dengan spirit jihad, strategi dan pendekatan dakwah tidak dapat dibenarkan menggunakan cara-cara kekerasan. Apalagi sampai mengancam keselamatan orang lain sekalipun berbeda latar belakang agama, etnis, atau kelompok.
Karena dalam spirit jihad terkandung makna hidup yang produktif, bukan semangat enggan hidup lalu melakukan tindakan-tindakan yang kontra produktif.